RAMADAN merupakan bulan istimewa. Keistimewaannya melebihi bulan-bulan yang lain. Bulan Ramadan memiliki beberapa nama, antara lain: syahrul mubarak, syahrul qiyam, syahrul Quran, syahrul ibadah, syahrul ghufran, syahrul sabr, syahrul jud (dermawan), syahrul maghfirah, dan syahrul al-tarbiyah.

Semua sebutan lain atas bulan Ramadan merupakan bentuk keistimewaannya sebagai sayyidusy syuhur (penghulu semua bulan). Hal ini dinyatakan Rasulullah melalui sabdanya: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, peng-hulu segala bulan. Maka selamat datang-lah kepadanya. Telah datang bulan shaum membawa segala rupa keberkahan. Maka alangkah mulianya tamu yang datang itu” (HR. Thabrani)

Adapun perintah dan tujuan manusia untuk berpuasa dinyatakan Allah melalui firman-Nya: “Hai hamba-Ku yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. al-Baqarah : 183).

Melalui ayat di atas, ada beberapa nilai yang menghadirkan kerinduan terhadap hadirnya bulan ramadhan. Adapun nilai tersebut antara lain :

Pertama, Panggilan istimewa pada hamba-Nya sebagai hamba beriman. Dalam Al-Qur’an, Allah memanggil manusia secara umum (hai manusia atau hai Bani Adam) dan khusus (hai hamba yang beriman). Panggilan khusus antara lain ditujukan pada hamba yang melaksanakan puasa.

Panggilan yang sangat istimewa dan mulia, yaitu “hai hamba-Ku yang beriman”. Panggilan kemuliaan yang disampaikan oleh Allah pada hamba-Nya ini bersifat khusus. Untuk itu, Ibnu Katsir menafsirkan QS. al-Baqarah: 183 di atas  sebagai “perintah Allah yang khusus ditujukan kepada orang-orang yang beriman”. Panggilan khusus yang hanya diterima pada pemilik keimanan secara totalitas. Bekas kesempurnaan iman terbangun sebelum, bertambah kokoh selama, dan berbekas selepas melaksanakan ibadah (puasa) di bulan Ramadan.

Panggilan khusus yang membangunkan sisi kebahagiaan bagi hamba. Sebab, bila hamba menyahuti panggilan-Nya dengan melaksanakan puasa secara totalitas (kaffah), berarti pertanda ia memiliki keimanan yang diharapkan-Nya. Bila hal ini dilaksanakan dengan keikhlasan dan penuh kerinduan, maka berbahagialah diri. Sebab, sikap tersebut pertanda ber-semayam iman dalam dirinya. Tapi, bila panggilan kemuliaan tersebut disahuti dengan keingkaran, meninggalkan puasa (tanpa rukhsah), mempermainkan puasa, atau berpuasa sebatas menutupi kelicikan-nya, maka berarti ia bukan pemilik keimanan yang sejati.

Bila hal ini yang terjadi, maka derita dan malulah diri. Hamba yang demikian berarti tak memperoleh panggilan-Nya. Sebab, hal tersebut pertanda rendahnya iman dalam dirinya. Perilaku ini dapat dilihat pada beberapa tipikal, yaitu : (1) berpuasa sebatas lahiriyah, tapi jiwa dan imannya tak tersentuh oleh ramadhan. (2) keengganan melaksanakan puasa, namun masih malu memperlihatkannya dihadapan manusia. (3) keengganan melaksanakan puasa dan bangga (tanpa malu) memperlihatkannya dihadapan manusia. Ketiga tipikal ini hadir dalam ruang nyata. Bila hadirnya dan selama ramadhan tak pernah membuatnya malu dan bersedih, maka berarti telah sirna iman dalam dirinya. Mungkin manusia boleh dibohongi, tapi Allah dan Rasul-Nya tak pernah boleh ditipu.

Untuk itu, bukan berarti “beriman” dan bila melaksanakan puasa telah meraih predikat ketakwaan. Apatahlagi bila menyatakan dan mempublikasikan adalah pengakuan diri sebagai manusia beriman. Sebab, kualiti iman dan ketaqwaan hamba yang berpuasa hanya Allah yang tahu.

Kedua, Media memperkuat rasa kemanusiaan, kecerdasan sosial dan solidaritas pada sesama. Selama melaksanakan ibadah puasa, semua manusia merasakan haus dan lapar. Tak ada yang membedakan strata social manusia, baik si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat, masyarakat kota dan desa, atau varian lainnya. Semua merasakan perasaan yang sama tanpa terkecuali.

Demikian manusia di hadapan Allah SWT. Kesamaan rasa yang seyogyanya terbangun rasa kemanusiaan (kepekaan sosial) dan solidaritas untuk saling membantu pada sesama. Hamba yang bertakwa menghadirkan kebahagia-an batin untuk boleh membantu, bukan bahagia boleh mempersulit sesama. Namun, semua hanya pada tataran ungbila kata dan teoritis belaka. Pada tataran realita justru tak terlihat nyata. Seakan, tak terlihat tanda (belas) hamba pernah melalui bulan Ramadan dan tak ada tanda pemilik iman. Seiring semakin kokohnya kesombongan, pengkhianatan, fitnah, adu domba, kemunafikan, kebohongan, keserakahan, tipu daya, kezaliman, hati membeku bak “pembunuh berdarah dingin”, penindasan, melihat manusia atas ukuran strata penuh kepentingan, dan perilaku keji lainnya.

Padahal, puasa mengajarkan perasaan dan rasa yang sama. Sebab, bila berada pada posisi yang sama, semua akan merasakannya. Tapi, puasa hanya mampu dilalui tanpa bekas pada perilaku diri. Sungguh, puasa bukan sebatas perubahan waktu makan, tapi perubahan karakter menjadi lebih mulia. Namun, pada tataran realiti justeru yang terjadi secara terbalik. Padahal, semua akan berakhir pada masanya dan kembali sebagaimana asalnya. Tapi semua ayat-Nya tak pernah dipedulikan. Seakan ia akan hidup dan kuat selamanya. Demikian pemilik karakter Firaun dan Namrudz yang pada akhirnya pasti hancur dalam kehinaan.

Ketiga, Bulan diturunkannya Al-Qur’an dan media menuzulkan Al-Qur’an dalam diri. Aktiviti membaca Al-Qur’’an selama Ramadan merupakan ibadah mulia. Namun, aktiviti tersebut perlu diiringi memahami dan menjadikan Al-Qur’an sebagai suluh kehidupan. Hal ini membuka peluang menuzulkan Al-Qur’an dalam diri dan terpancar pada perilaku.

Al-Qur’an bukan sebatas dibaca, tapi dipelajari, dipahami, dan diamalkan. Hamba yang mampu berdialog dengan Al-Qur’an akan mampu mengimplementasi-kannya dalam kehidupan. Tapi, bila hamba hanya sekedar membaca, mempelajari, dan (segelintirnya) memahami tanpa mampu berdialog bersama Al-Qur’an, sangat mudah Iblis menggelincirkannya untuk “memperjualbelikan kebenaran Al-Qur’an”. Tipikal manusia yang demikian diingatkan Allah melalui firman-Nya: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab : Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja. Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman” (QS. at-Taubah : 65-66).

Keempat, Bulan seribu kebaikan (lailatul qadar). Misteri lailatul qadar hanya Allah yang tau bila hadirnya. Untuk itu, hamba yang bijak senantiasa menjaga amaliahnya selama ramadhan secara konsisten agar menemukannya.

Tatkala, selama puasa sisi kezaliman, kebohongan, atau kenistaan tetap terjaga, maka tak ada lagi harapan adanya perubahan kearah yang lebih baik. Bila Ramadan menghadirkan sejuta kebaikan,  namun keburukan yang tetap disebarkan dan dipertahankan, tak ada lagi harapan hadirnya sisi kemanusiaan yang rahmatan lil ‘aalamiin. Bila ayat Allah menghadirkan Ramadan agar manusia meraih ketakwaan, tapi perilaku manusia semakin memperlihatkan kedurhakaan. Bahkan, bila pesan Rasulullah agar umat mampu meraih derajat mulia, tapi umat justru memilih kehinaan dan saling menghina. Andai pilihan ini yang diambil, maka manusia telah melumuri dirinya dengan minyak. Akibatnya, wajar bila “air syurga” yang dibawa Ramadan tak mampu membersihkan manusia meski ia berpuasa.

Kelima, Ramadan sekolah yang aman. Sebab, Ramadan merupakan bulan tarbiyah (sekolah). Tak ada dalam sejarah, manusia mati atau dibuli karena melak-sanakan puasa. Tapi banyak yang mati karena kelebihan makan tanpa puasa.

Bahkan, meski ada sebagian yang tak melaksanakan puasa, tapi tak ada yang dicaci dan disiksa secara fizikal. Padahal, puasa berkaitan pelarangan hajat hidup utama manusia (makan dan minum). Tak ada perundungan dalam puasa. Sebab, perintahnya berakar pada iman, bahasa yang lembut, dan janji pahala bagi yang melaksanakan.

Sementara, di luar “sekolah Ramadan” tak menjanjikan keamanan dan perlindungan. Maraknya perundungan yang terjadi merupakan indikator kegagalan penanam-an adab (kecerdasan spritual) dan miskin-nya reward  bagi pelaku kebaikan, tapi justeru pelaku kegagalan mendapat tempat mulia. Bahkan anehnya, andai hadir funishment acapkali “tebang pilih” dan tak mampu memberikan efek jera. Perundungan bukan hanya dilakukan antar remaja, tapi pendidik terhadap peserta didik. Perundungan bukan sebatas aspek fizikal, tapi terkadang dalam bentuk psikologi (verbal dan sikap). Bila perun-dungan verbal ditenggarai  dilakukan oleh oknum pendidik, acapkali “dilindungi” dan berujung damai. Akibatnya, perilaku serupa terus terjadi dan dilakukan oleh oknum kolegial pendidiknya yang lain.

Perundungan saat ini merambah pada semua tingkatan dan jenis lembaga pendidikan. Pelakunya pun lintas status dan usia. Padahal, hal ini dilarang dalam Islam. Rasulullah bersabda: “Orang yang kuat bukanlah orang yang pandai bergulat. Orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan dirinya di saat marah” (HR. Ahmad).

Meski hadis begitu jelas, tapi semakin terang pula pengingkaran dilakukan. Sejarah membuktikan bahwa kehancuran suatu bangsa disebabkan keruntuhan karakter dan mentalitas generasinya. Hanya bangsa berkarakter religius yang mampu menjaga keutuhan suatu negara. Mereka pemilik akhlak (adab) mulia dan berkarakter pejuang, bukan berprilaku munafik dan berkarakter pecundang.

Demikian Allah hadirkan bulan Ramadan agar seluruh panca indera dan organ tubuh manusia terlatih untuk dikendalikan. Tampilan karakter ini terlihat pada kisah “pemuda dan sebuah epal”. Mendapati seorang wanita yang buta, tuli, bisu, tanpa tangan dan kaki. Kesemua anggota tubuhnya ia latih untuk meraih hakikat puasa. Latihan yang berulangkali dihadirkan Allah sebagai wujud cinta-Nya.

Tujuan yang demikian dinyatakan Rasulullah melalui sabdanya: “Puasa itu bukan hanya menahan diri dari makan dan minum saja, tetapi puasa itu juga menahan diri dari kata-kata yang tidak bermanfaat dan kata-kata kasar. Oleh karena itu bila ada yang mencacimu atau menjahilimu, maka katakanlah kepadanya, sesungguhnya aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa” (HR. Ibnu Majah dan Hakim).

Hamba yang meraih hakikat Ramadan akan menghadirkan kesalehan ekologi, bukan mengembangkan kesalahan ekologi yang sistematis. Sungguh, kehadiran ramadhan bagi hamba yang menjaga iman dan harga diri, ia bagai buah yang segar dan puasa akan semakin menyegarkan adabnya. Tapi, bagi hamba yang  “menggadaikan iman dan harga diri”, ia bagai buah busuk. Wajar bila puasa tak memberi pengaruh apa-apa. Tanpa perlu disentuh, buah busuk akan jatuh sendiri dan hancur ke tanah bersama ulat yang menggerogotinya. Ia akan terbuang dan dibuang tak bermanfaat. Demikian janji Allah atas semua ciptaan-Nya.

Sungguh aneh dan tak beradab bila pang-gilan istimewa yang disampaikan Allah ternyata tak pernah dijawab oleh hamba sebagaimana semestinya. Seyogyanya, panggilan Allah dijawab oleh hamba dengan ketundukan secara kaffah, bukan mempertonton perilaku bak “tumpukan sampah”. Seyogyanya puasa jalan meraih taqwa, bukan menghalalkan segala cara dan bahan permainan canda tawa. Seyogyanya puasa menyadarkan peng-hambaan, bukan menonjolkan keangkuh-an. Sungguh, seyogyanya berbeda pada nyatanya. Untuk itu, jadilah hamba yang merindu ramadhan sepanjang masa, bukan manusia yang menipu ramadhan setiap kali ia tiba. Sebab, ramadhan adalah bulan ibadah khusus hamba untuk Allah semata. Wujud karakter manusia merupa-kan gambaran kualiti puasanya. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)

Translate »