TARI zapin merupakan salah satu peradaban Melayu yang memiliki nilai filosofis-religius yang tinggi. Secara historis, tarian zapin merupakan hasil akumulasi dua kebudayaan, yaitu budaya rumpun Melayu dan budaya Arab pada masa lalu.

Tarian ini pada awalnya dibawa oleh para pedagang Arab saat berdagang di kawasan Selat Malaka di awal abad ke-16. Seiring berjalannya waktu, tarian ini mengalami akulturasi dengan budaya lokal (Melayu) dan menjadi bentuk budaya baru. Akulturasi budaya yang saling mengisi sebagai simbol inklusivitas masyarakat Melayu terhadap budaya luar (Arab). Akulturasi ini terlihat begitu kental dan mewarnai setiap gerak, irama, dan syair yang mengiringi tarian zapin.

Meski awalnya berfungsi sebagai tarian hiburan di lingkung-an istana, namun dalam perkembangannya tarian zapin dipentaskan di lingkungan masyarakat luas dan menjadi media menyampaikan pesan adat dan ajaran agama (Islam). Untuk itu, tarian zapin bukan sebatas hiburan, tapi mengan-dung pesan edukatif dan digunakan sebagai media dakwah Islamiyah, baik melalui gerak, asesoris, maupun bait syair lagu yang didendangkan.

Setiap gerakan tari zapin mempunyai makna dan filosofis-religius yang berkaitan dengan kehidupan sosial setempat dan ajaran Islam. Untuk itu, wajar bila setiap bait syair lagu dan rentak tarian zapin sangat sarat kandungan nilai agama dan budaya lokal. Tarian ini mempertontonkan gerakan kaki yang cepat mengikuti irama gendang (marwas) dan diiringi syair yang sarat nasihat.

Setidaknya, sebelum tahun 1960, tarian zapin hanya dilaku-kan penari laki-laki. Namun seiring perkembangan zaman, kini tarian zapin dilakukan juga penari perempuan Melayu dengan tetap menampilkan pakaian yang sopan dan menutup aurat.

Setiap gerakan tari zapin merupakan internalisasi kegiatan manusia dengan alam atau lingkungan dan diberi ruh ajaran agama (Islam). Paling tidak, ada sekitar 92 jenis tarian zapin rumpun Melayu, antara lain : Titi Batang, Anak Ayam, Siku Keluang, Pusing Tengah, Alif, Arab, Bedana, Bujang, dan sebagainya. Setiap gerakan zapin mengandung makna dan dilakukan secara berirama dan terpola (terstruktur).

Meski jenis zapin berbeda-beda, namun secara substansial, gerakan zapin memiliki nilai filosofis sebagai pedoman manusia untuk mengenal ajaran Islam dan kearifan budaya Melayu yang patut dijadikan pelajaran, antara lain :

Pertama, Kelembutan gerak. Rentak irama dan gerak tarian lembut (tak menghentak alam) menginsyaratkan karakter Melayu yang membawa persahabatan, bukan pertikaian apalagi permusuhan yang menghancurkan atau menginjak-injak sisi kemanusiaan dan alam semesta. Demikian sifat asli budaya Melayu. Tak ingin diinjak martabatnya dan tak pernah pula mau menginjak sesama. Demikian pula kelembutan atas alam tanpa merusak semesta. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah SAW : “Siapa yang tidak dikaruniai kelembutan, niscaya dia tidak akan dikaruniai kebaikan” (HR. Muslim).

Nilai kelembutan pada setiap gerak zapin merupakan manifestasi ajaran Islam yang mewarnai budaya Melayu. Kelembutan yang terlihat pada seluruh aspek kehidupan, sikap keterbukaan (inklusivitas) dan sikap bijaksana masyarakat Melayu atas komunitas atau budaya lain. Tampilan kelembutan sikap dan nilai-nilai ajaran Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah kepada umatnya, baik terhadap sesama maupun alam semesta.

Kedua, Kearifan, kebijaksanaan, dan kewaspadaan. Gerak tarian maju dan mundur merupakan bentuk gerak penuh perhitungan, baik akal, hati, budaya, dan agama. Bergerak dinamis dan maju, namun tak pernah menendang yang di belakang atau di depannya. Ketika maju dan hidup mapan, jangan lupa asal diri dan “perhatikan” nasib sesama yang berada dibelakang. Bila hidup menjadi pemimpin, jangan lupa pada rakyat. Ketika posisi sebagai rakyat, tak pula menyusahkan dan “menendang” pemimpin yang ada di depannya. Sebab, pada waktunya pemimpin akan kembali menjadi rakyat dan rakyat akan melanjutkan estafet menjadi pemimpin. Demikian sunnatullah yang ditetapkan Allah, seiring putaran roda alam yang terus berputar. Semua kebijakan perlu memperhatikan dan mengakomodir seluruh elemen bangsa secara berkeadilan dan berperadaban.

Ketiga, Sikap tawadhu’ dan kualitas adab. Gerak awal dan penutup tarian zapin dengan posisi setengah duduk sebagai bentuk ta’zim dan penghormatan. Ketika tarian dilakukan, gerak menampilkan posisi badan sedikit membungkuk dan kepala sedikit tertunduk. Demikian. Posisi dan gerak ini sebagai simbol adab budaya Melayu yang tinggi. Gerak ini merepresentasikan sikap tawadhu’ dan menghargai sesama, tanpa tersisa kesombongan. Adapun sikap menunduk ke bawah mencerminkan penghambaan dan ketundukan pada Zat Yang Maha Pencipta. Tunduk ke bawah, mengingatkan asal (kehidupan) dan akhir kejadian (kematian). Pesan agar manusia senantiasa menyebar kebajikan selama hidup sebelum kematian menjemput. Hal ini merupakan manifes-tasi atas firman-Nya : “… Barangsiapa yang menundukkan wajahnya (menyerahkan diri) kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia men-dapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati” (QS. al-Baqarah : 112).

Ibnul Qayyim menjelaskan, “bila engkau mencintai Allah tapi engkau tidak tunduk kepada-Nya, maka engkau bukanlah hamba-Nya. Jika engkau tunduk kepada-Nya tapi engkau tidak mencintai-Nya, maka engkau bukanlah hamba-Nya. Engkau baru seorang hamba yang benar bila mencintai-Nya dan tunduk kepada-Nya”.

Sungguh, setiap gerak ada pesan dan setiap pesan ada “geraknya”. Meski terkadang manusia luput dengan begitu banyak melakukan aktivitas (gerak), namun tanpa pesan. Atau terlalu banyak berpesan, namun tanpa pembuktian atas aktivitas prilaku nyata (wujud gerak).

Keempat, Syair yang mengiringi tarian zapin berisi kata untai-an nasehat berasaskan agama. Syair sarat pesan nasehat yang kadang berisi kritik dan kritik yang penuh berisi (nilai) pesan nasehat. Syairnya indah dan berulang-ulang tanpa menyakiti, tapi menyentuh kalbu. Bagi pemilik adab dan menjunjung tinggi budaya, setiap kritik membangun pasti hadir dari mereka yang pernah membangun (berbuat). Sementara kritik pedas hanya dilancarkan mereka yang tak pernah berbuat apa pun jua. Demikian budaya Melayu menanamkan adab yang tinggi. Pesan yang disampaikan melalui untaian bait syair lagu mengiringi tarian zapin penuh nasehat. Setiap bait terkan-dung pesan. Sedangkan setiap pesan bersumber pada al-Quran dan hadis.

Kelima, Pesan rahmatan lil ‘aalamiin. Gerakan Siku Keluang merupakan gerak “sapu mata angin”. Seluruh gerakan zapin begitu dinamis dan menyapu seluruh penjuru mata angin dengan senyuman yang diiringi lantunan syair mengagung-kan Allah dan shalawat pada Rasulullah. Lantunan syair ini mengiringi setiap langkah tarian zapin. Gerak penari yang menjangkau seluruh penjuru angin membawa pesan rahmatan lil ‘aalamiin. Hal ini merupakan manifestasi atas misi Rasulullah SAW yang dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melain-kan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. al-Anbiya’ : 107).

Pesan rahmatan lil ‘aalamiin terlihat pada budaya Melayu yang ramah lingkungan. Tak ada lingkungan yang diinjak, apatahlagi dirusak. Sebab, ruh seluruh budayanya sarat nilai ajaran Islam. Keluasan jangkaun pada seluruh penjuru mata angin, tapi tak melampaui ruang yang luas menginsyaratkan kepedulian masyarakat Melayu atas lingkungan tanpa memonopoli atau “menjajah” wilayah di luar miliknya. Hal ini tercermin dari ruang yang diperlukan tarian zapin yang tak memerlukan ruang yang besar, apatahlagi “mencaplok” atau merampas wilayah sesamanya. Meski hanya pada wilayah terbatas, tapi mampu memberi manfaat bagi sesama.

Keenam, Pola tarian zapin sangat sederhana dengan peng-ulangan yang teratur (terpola). Demikian kehidupan bagaikan tarian zapin. Kehidupan sebenarnya sederhana, dinamis, dan pengulangan yang berkesinambungan. Semua gerak terpola oleh struktur yang tertata. Kedinamisan yang berperadaban, tanpa menambrak aturan (hukum), adat istiadat, dan agama. Kedinamisan yang demikian akan melahirkan gerak dinamis yang menuntun agar jangan pernah berhenti untuk senantiasa menginspirasi. Bukan gerak pasif tanpa ikhtiar, apatahlagi mengintimidasi.

Adapun pengulangan gerakan tarian zapin merupakan cermin kesabaran dan kepatuhan atas aturan adat dan agama. Sabar atas semua ikhtiar yang dilakukan dan menerima atas keputusan yang ditetapkan Allah (takdir). Ketika aturan dipedomani, maka keadilan akan tercipta. Prilaku yang berkeadilan hanya akan hadir tatkala kepatuhan pada aturan selalu dijalankan. Bila aturan dilanggar dan tak dipatuhi, maka semua gerak akan sumbang, irama dan marwas tak seirama, sirna keadilan, dan hilang keserasian hidup. Demikian Allah mengingatkan melalui firman-Nya : “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata” (QS. al-Ahzab : 36).

Nilai kedinamisan dalam gerak tari zapin yang teratur dan mengulang menyadarkan bahwa dinamika peradaban manusia merupakan kontinuitas. Kedinamisan alam semesta yang berotasi teratur sesuai hukum Allah. Tak ada yang menganggap diri paling hebat dan besar, apatahlagi melawan aturan yang ditetapkan. Semua thawaf pada tata aturan masing-masing yang ditetapkan-Nya. Ketika aturan dipatuhi, alam semesta tertata tanpa berbenturan yang membuat kegaduhan dan petaka alam semesta.

Sementara pengulangan gerak mengedukasi agar manusia lebih memahami. Tatkala pengulangan gerak teratur dijalankan, maka akan terlihat keindahan setiap gerak yang “dipentaskan”. Namun, bila pengulangan gerak yang melanggar aturan, maka akan terlihat pula kekacauan gerak yang “dipentaskan” dan mengakibatkan “penonton” akan meninggalkan “sang penari”. Bila setelah ketaatan aturan yang diulang tak juga diperhatikan dan menyadarkan, maka kesalahan tertimpa pada diri yang tak mampu diedukasi karena kejahilan yang mengakar.

Ketujuh, Riasan penari zapin cermin bangsa berperadaban tinggi. Atribut logam yang digunakan menjadi indikator budaya yang tinggi. Sedangkan pakaian yang dikenakan simbol pemeluk agama yang taat dengan menutup aurat zahir dan batin. Hal ini merupakan perintah yang dinyatakan melalui firman-Nya : “Wahai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang muk-min, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. al-Ahzab : 59).

Dalam budaya Melayu, aurat merupakan martabat dan harga diri. Bila aurat terbuka dengan sengaja, pertanda diri tak lagi beradat. Bila adat ditinggalkan dan dilanggar, maka pertanda menjadi makhkuk tak beradab. Demikian nilai adat pada pakaian yang digunakan pada penari zapin. Sebab, melalui pakaian menunjukkan kualitas peradaban manusia.

Sungguh aneh bila peradaban “menutup aurat” yang menunjukkan ketinggian kualitas peradaban manusia, justeru terkoyak oleh “peradaban hewan”. Aurat dengan bangga dipertontonkan dan menjadi komoditas yang dijadikan indikator peradaban modern. Padahal, tontonan aurat telah dilakukan spesies hewan sejak sebelum manusia tercipta. Sungguh pengulangan peradaban yang bertolak belakang dengan sejarah peradaban manusia yang berakal.

Sungguh, tarian zapin mengandung nilai filosifis religius yang demikian tinggi. Hanya saja, tersisa pemahaman tarian zapin sebatas tontonan tanpa dipahami nilai tuntunan yang ada. Sebab, seluruh sisi tarian zapin alpa dikaji dan dijelas-kan sebagai tuntunan. Apatahlagi, dewasa ini eksistensi zapin semakin ditinggalkan dan tergerus oleh peradaban modern yang tak beraturan dan hanya mempertontonkan aurat bak hewan. Mungkin rotasi hidup bagaikan perputaran jarum jam. Ketinggian peradaban manusia hadir pada era pra modern menunjukkan arah jarum jam di atas. Sementara, mungkin saat ini (era modern) jarum jam sedang berada di bawah, seiring kualitas budaya manusia yang juga berada di bawah. Apakah telah hilang kebanggaan diri sebagai manusia dan justeru ingin masuk pada era bangga menjadi makhluk yang tanpa peradaban (hewan). Semua jawaban tergantung pada kualitas diri untuk melakukan pilihan yang akan dipilih. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis)

Sumber: www.riaupos.jawapos.com > Filosofi Tarian Zapin

 

 

 

Translate »