DALAM Islam, salat adalah tiang agama. Hal ini dinukilkan Rasulullah melalui sabdanya: “Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Bak sebuah rumah, bila tanpa tiang, maka rumah akan roboh. Demikian pula dengan agama. Bila salat tak ditegakkan (bukan hanya sekadar melaksanakan), maka robohlah agama pada diri seorang hamba. Sebab, salat merupakan aktivitas zahir yang telah disyariatkan dan dicontohkan oleh Rasulullah. Hal ini disabdakannya : “Salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku (melakukan) salat” (HR. Bukhari).

Pada sisi lain, shalat hakiki merupakan aktivitas batin yang menjadi media interaksi dan komunikasi antara hamba deng-an Khaliq. Interaksi batin hamba yang mampu menikmati mi’raj diri dan menemukan kenikmatan bersama-Nya. Kenik-matan yang tidak mampu dibahasakan, tak mampu dilukis-kan, tak mampu dilogikan, dan tak mampu untuk diceritakan. Kenikmatan yang hanya mampu dinikmati oleh hamba yang berusaha untuk meraih cinta-Nya dan hamba yang diinginkan-Nya. Sungguh, dhalat merupakan integrasi aktivitas zahir dan batin yang menyatu dalam kerinduan pada-Nya.

Sungguh, bagi hamba yang menikmati shalat, seluruh gerak mengingatkan unsur kejadiannya, antara lain :

Pertama, Berdiri lambang sifat api yang panas membara. Untuk itu, tenangkan gelora api dalam diri agar tak membakar ibadah akibat kesombongan dan riya’ atas keshalehan yang dilakukan. Pada dimensi kekhalifahan, berdiri ketika shalat adalah bukti ketegaran seorang hamba menuju Yang Maha Esa dan manifestasi (tajalli) atas perintah Allah untuk melaksanakan amanah kekhalifahan dan penghambaan. Hal ini dinukilkan dalam firman-Nya: “Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk” (QS. al-Baqarah : 283).

Kedua, Takbir unsur mengagungkan kebesaran Allah dan mengingat perjanjian diri. Allah mengingatkan: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang bela-kang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah meng-ambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini” (QS. al-A’raf : 172).

Netralkan diri dari sifat api dengan istighfar. Hadirkan diri pada posisi hamba yang harap pengampunan dihadapan Sang Pencipta. Begitu kecilnya diri terasa ketika takbir dibaca. Semua hanya terlihat kebesaran-Nya semata.

Ketiga, Ruku’ lambang sifat angin yang bergerak aktif, maka netralkan dan gerakkan angin untuk menuju cinta Ilahi. Sebab, gerak angin yang mampu dikendalikan akan menjaga marwah manusia sebagai hamba-Nya. Marwah yang istiqomah atas semua ajaran-Nya. Namun, tatkala manusia tak mampu mengawal angin pada dirinya, maka diri akan terombang-ambing bagai baling-baling ditiup angin.

Keempat, Sujud lambang sifat air, maka alirkan seluruh dimensi ibadah dengan memberikan kedamaian dan kesejukan pada seluruh alam. Sifat air yang selalu tunduk kearah yang lebih rendah. Sebab, sujud merupakan pengikraran penghambaan dihadapan Allah dan merasakan kecil dan hinanya diri di atas hamparan kasih sayang dan kuasa-Nya.

Kelima, Duduk lambang sifat tanah, maka ingat diri pada akhirnya akan kembali (mati) pada asal kejadian (tanah). Ketika duduk, hantarkan kesadaran bahwa diri begitu dekat dengan asal diri dan tempat kembali menjelang kehidupan akhirat yang abadi. Hadirkan dimensi tanah dan posisinya (di bawah) agar muncul sifat tawadhu’ untuk selalu menyebar-kan kebajikan pada seluruh alam. Ingatkan diri atas asal, tugas, dan akhir kejadian. Bukan menjadi makhluk lupa diri serasa berasal dari langit.

Keenam, gerak salam merupakan lambang hamba yang se-lalu membawa misi rahmatan lil ‘aalamin. Allah berfirman: “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud…” (QS. al-Fath : 29).

Kandungan makna pada lafadz atsar (bekas sujud) pada ayat di atas tidak harus secara fisik. Sebab, makna lafadz atsar lebih pada prilaku (akhlak) terpuji yang ditampilkan dalam kehidupan. Tatkala salat berjamaah, makna ajakan (perintah) imam untuk “rapat dan lurus” bukan sebatas makna syariat (zahir), tapi memiliki makna yang sangat dalam bagi pedoman kehidupan, antara lain :

Pertama, rapat memberi makna untuk terbangunnya persatuan (ukhuwwah). Persatuan yang diikat oleh rasa persaudaraan keimanan dan kemanusiaan. Tak ada rasa permusuhan dan dendam kesumat. Allah ingatkan melalui firman-Nya: “Sesungguh-nya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah antara kedua saudara-mu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” (QS. al-Hujurat : 10).

Andai salat mengajarkan untuk rapat sebagai bentuk persatuan, namun hanya terjadi pada saat salat (berjemaah), maka makna “rapat” yang dilakukan tak mampu membekas. Masih kokoh permusuhan, masih terpatri dendam, masih subur perseteruan, masih tegak kezaliman, masih terbiasa menyebar fitnah, masih mentradisi rasa paling benar, dan varian serupa lainnya. Dalam perspektif tasauf, hal ini justru merusak iman dan makna salat. Sebab, menjadi hamba yang taat bukan sebatas ketika salat. Bila bekas salat tak mampu dipertahankan, maka merugilah. Sebab, yang akan terlihat hanya sifat aslinya.

Ketika salat, perbedaan suku, adat, ras, dan faham semua lebur dalam takbir yang diserukan imam. Semua mengikuti gerak imam, tanpa terkecuali. Tatkala imam keliru dalam salat, makmum menyadarkan dengan aturan dan kesantunan. Tak ada yang mencari-cari kesalahan imam. Semua mengoreksi agar imam mengantar jemaah pada salat yang sempurna. Bila imam merasa batal, secara jujur dan sportif akan keluar dari posisinya sebagai imam. Jemaah yang di belakang imam maju untuk menggantikan posisinya agar salat berjemaah dapat dilanjutkan tanpa merusak dan terjadi perseteruan. Demikian indah adab yang diajarkan Islam pada manusia melalui salat berjemaah.

Kedua, luruskan (shaf) memberi makna luruskan niat untuk menyembah Allah dengan gerak dan lafaz yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Hal ini sebagaimana yang dikatakan dalam sabdanya: “Salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melakukan salat” (HR. Bukhari).

Demikian jelas pedoman diberikan Rasulullah agar umat selamat. Bila makna lurus (saf) dalam shalat dilakukan secara benar, bukan untuk pamer dan ingin memperoleh pujian manusia semata, maka bekasnya akan terlihat dalam kehidupan di luar shalat. Semua gerak hidup sebagai wujud ikrar iftitah yang dibaca hanya untuk Allah semata. Tatkala hal ini teraktualisasi secara baik, maka tak ada pengkhianatan, tak ada kezaliman, tak ada fitnah dan dendam, tak ada saling membuka aib, tak ada kesombongan dan merasa paling benar, dan varian sikap negatif lainnya. Ketika semua ini diperoleh, maka berarti salat telah membentuk karakter dan benteng diri. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Bacalah Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Ankabut : 45).

Ketiga, taati komando imam, mulai takbir sampai salam. Tak ada yang mengumpat dan membangkang. Andai imam keliru, makmum mengingatkan dengan santun dan tidak mengadili atau membodohi. Imam perlu bijak dalam melak-sanakan tugasnya dengan mempertimbangkan kondisi dan mau menerima “teguran” makmum tatkala ia keliru atau lupa. Imam yang berilmu akan sadar atas tanggungjawabnya dan makmum yang berilmu sadar pula atas posisinya. Imam dan makmum yang beradab, pasti berilmu. Demikian indah Allah mendidik manusia dan begitu jelas adab yang ditunjukan oleh Rasulullah. Proses tarbiyah yang diajarkan agar manusia terbiasa menjalankan shalat di luar shalat. Di sini akan terlihat kualitas min atsar sujud (bekas sujud) yang sebenarnya. Bak ukiran penghambaan di atas batu, bukan sebatas ukiran di atas air atau awan.

Bila imam dan makmum tak mengindahkan aturan yang ditetapkan oleh Allah dan adab yang dicontohkan oleh Rasulullah, maka salat berjemaah akan rusak (batal) dan hanya sebatas aktivitas lahiriyah belaka. Sebab, masih kokoh kesombongan, iri, dengki, fitnah, merasa paling benar dan saleh, atau varian lainnya. Seyogyanya hal ini tidak terjadi bila makna salat mampu dipahami dan terpatri dalam diri.

Tanpa ilmu dan pemahaman yang benar, salat (termasuk berjemaah) seakan-akan sebatas amal yang tak memberi makna dan membekas dalam kehidupan. Indikasinya dapat terlihat pada karakter dan tampilan hamba setelah salat, antara lain masih kokoh tradisi saling menyalahkan dan mencari kesalahan (kambing hitam) bagai “makanan lezat” yang disenangi. Padahal, salat berjemaah mengajarkan adab kesopanan. Jangan saling menyalahkan bila belum mampu berbuat kebenaran dan membangun peradaban.

Ketika manusia tak mampu memahami makna salat dalam unsur dirinya, maka salat hanya sebatas aktivitas jasmani yang belum menyentuh aspek rohani. Akibatnya, kedua dimensi tidak berkorelasi dalam pembentukan karakter diri. Padahal, salat merupakan gabungan aktivitas jasmani (syariat) dan rohani (hakikat). Hanya salat yang menyentuh aspek syariat dan hakikat yang benar dan membekas akan mengantarkan hamba menikmati manisnya komunikasi antara dirinya dengan Allah Yang Maha Besar (makrifat). Bila hal ini diperoleh, bekasnya akan menyeruak dalam kehidupan kemanusiaan di luar salat (kehidupan) dan membawa rahmat bagi seluruh alam.

Keempat, bacaan iftitah merupakan ikrar ketundukan. Ikrar (janji) yang harus dilaksanakan. Setiap kata yang diikrarkan seyoyanya menjadi “kompas” dalam menjalani kehidupan. Sebab, setiap kata yang diikrarkan merupakan hakikat “pakaian hamba” yang akan dilihat oleh Allah Yang Maha Melihat. Bila pakaian indah, bersih, dan harum yang akan dibawa menghadap Allah, maka kemuliaan akan diraih. Namun, bila pakaian kotor, jelek, compang-camping, dan bau yang akan dipakai menghadap Allah, maka cermin adab yang rendah. Demikian sakral kata ikrar yang diucap untuk dihadir-kan dalam seluruh aktivitas kehidupan.

Kelima, Bacaan salat (al-fatihah) merupakan untaian komunikasi dan munajat hamba kepada Allah Yang Maha Agung. Munajat yang harus seiring amaliah yang diwujudkan untuk meraih cinta-Nya. Ikrar dan munajat yang terjaga dan mewarnai seluruh aktivitas dan karakter setiap diri hamba. Eksistensinya bukan sekedar bacaan tanpa makna. Bila bacaan salat sebatas kata, maka burung beo juga bisa melafazkannya. Bila bacaan hanya ukuran merdu, maka kicauan burung bahkan lebih merdu. Bila ikrar tak dilaksanakan, berarti ciri kemunafikan telah menghampiri. Bila munajat tak dipahami, berarti ciri manusia yang sekedar “membeo” yang tak faham atas apa yang sedang dikomunikasikannya.

Sungguh, demikian dalam dan luas makna yang terkandung pada rangkaian salat. Dengan keterbatasan ilmu, penulis hanya mengupas “sebutir debu” atas keluasan mutiara rahasia shalat yang tak bertepi. Andai seluruh makna shalat diperlihatkan oleh Allah, maka seluruh alam ini akan hancur berlomba-lomba untuk meraihnya. Merugilah manusia yang tak mampu memahami dan menjadikan shalat (sendiri atau berjemaah) sebagai pakaian diri. Kerugian tersebut diingatka Allah melalui firman-Nya : “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya” (QS. al-Ma’un : 4-5).

Kata lalai pada ayat di atas dapat dipahami pada 2 (dua) makna, yaitu (1) kelalaian material bagi hamba yang enggan atau menunda-nunda untuk melaksanakan salat. Atau (2) kelalaian immaterial bagi hamba yang melaksanakan salat tapi tak mampu menjaga dan mengimplementasikan seluruh nilai dan hakikat salat dalam dirinya (ketika dan setelah salat). Sungguh, salat menyediakan pakaian bagi hamba. Bila keindahan rohani terletak pada kedalaman ilmu dan adab yang terpancar. Keindahan ini selalu ditunggu penduduk langit, meski penduduk bumi tak peduli. Sementara keindahan jasmani terletak pada kualitas pakaian yang melekat pada tubuh. Ia akan menyilaukan mata penduduk bumi, tapi tak pernah mampu membutakan penduduk langit. Hanya bagi hamba pemilik harga diri dan menikmati salat yang benar akan merasakan kehangatan cinta-Nya untuk memilih jawaban yang tepat. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Oleh : Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis

Sumber: www.riaupos.jawapos.com > Salat dan Unsur Manusia

Translate »