PERDAMAIAN antara gereja Katholik dan Protestan memerlukan waktu 5 abad, sedangkan hubungan Islam dan agama Kristian memberlukan waktu 13 abad untuk memulai suatu kehidupan yang baru, demikian tulis Dr. TH. Sumartana, seorang Doktor Sosiologi dan Sejarah Gereja. Bagi saya peribadi, sosok satu ini bukan sosok baru, sebab kalau bapak saya membeli majalah Tempo, saya sering ketemu opini (pendapat) beliau, yang entah faham atau tidak saya baca, maklum anak usia SMP.

Gaya bahasanya lugas dan tidak berbelit, kerana beliau orang Banjarnegara, ora ngapak ora penak. Watak egaliter kaum ngapak (subbudaya di Jawa Tengah) ini memang lebih tinggi, termasuk bahasanya yang lebih terus terang, berbeza dengan kultur dekat kraton (istana) yang penuh eufimisme (bahasa halus).

Pak TH. Sumartana, menghitung angka 13 abad itu dari Konsili Vatikan II, di mana akhirnya dunia Kristian, yang diwakili Gereja Katholik mengakui eksistensi Islami. Ia memasukkannya ke dalam barisan agama monoteistik bahkan memiliki Tuhan yang sama sekalipun dengan penyebutan yang berbeza.

Saya tidak hendak membahas konsekuensi teologis yang akhirnya jadi perdebatan panjang dan sampai sekarang belum juga ketemu, atas tafsir relasi (hubungan) agama Islam – Kristian dalam Konsili Vatikan II, kerana memang itu bukan bidang saya, dan Konsili itu muncul dari sistem keagamaan Kristian.

Bukan hanya kesimpulan tersebut, pengantar yang membawa kepada kesimpulan tersebut menjadi sangat penting, sebab, akhirnya dengan Konsili Vatikan II menolak untuk mengakui adanya hubungan, baik teologis (keagamaan) mahupun historis (pensejarahan) antara wahyu alkitabiah dengan kelahiran Islam dan juga tempat Ismail (Nabi Ismail AS) yang khusus dalam sejarah Islam. Islam adalah kerja dari Roh Kudus dari sanad yang terpisah.

Bagi saya, penjelasan pak TH. Sumartana ini memberikan gambaran yang jelas, tentang bagaimana salah kaprah (haluan) dunia Kistian dalam memandang Islam selama ini. Pandangan kelasik dunia Kristian Barat ini dapat dilihat dari pendapat  Southern dalam bukunya Western Views of Islam in the Middle Ages, menulis bahwa “Orang Kristian ingin agar Timur dan Barat Eropah bersepakat bahawa Islam adalah Kristian yang sesat.

Bahkan tidak sedikit yang menulis bahawa Muhammad (Nabi Muhammad SAW) adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku sodomi (semburit) dan sebagainya yang kesemua itu diambil dari doktrin keagamaan yang dibawanya.

Selama berabad-abad pandangan dunia Kristian terhadap Islam, sebagaimana yang dikemukakan Shoutern di atas. Sebagai konsekuensi dari pandangan tersebut, maka al- Qur’an dan Nabi Muhammad SAW menjadi bahan hinaan dan cacian selama berabad-abad, dari satu generasi ke generasi lainnya.

Puncak kebencian pada sosok Muhammad itu nampak dari karya Dante (1285 – 1321 M) The Divine Comedy. Maometto –Muhammad- oleh Dante ditempatkan pada lapisan kesembilan dan sepuluh lapisan Bogias of Maleboge, gugusan parit kelam yang mengelilingi kubu syaitan di Neraka.

Dalam pandangan Dante, Muhammad dikategorikan penyebar skandal dan perpecahan, dengan hukuman tubuhnya terus menerus dibelah dua dari dagu hingga ke anus (kemaluan), bagaikan, kata Dante, sepotong kayu yang papan-papannya dirobek-robek.

Kebencian Dante terhadap sosok Muhammad memang tidak muncul begitu saja, ia bahkan muncul semenjak Nabi Muhammad belum lahir. Kalau saja Abrahah berhasil menghancurkan Ka’bah, mungkin sejarah dunia akan berjalan lain. Abrahah sudah membangun Qullays yang megah (Qullays ini kemungkinan sebutan orang Arab untuk menyebut Ecclesia/Gereja) untuk menggantinya.

Thomas Right, penulis buku Early Christianity in Arabia menangisi kekalahan pasukan Abrahah ini. Menurutnya, kalau saja misi Abrahah berhasil maka kemungkinan seluruh Jazirah Arab akan berada di tangan Kristian, akan ada salib yang terpampang di Ka’bah dan Muhammad pun mungkin mati sebagai pendeta.

Misi dan Zending di era kolonial

Politik etis bukan hanya soal pendidikan, ia membawa membawa pesan pengkerdilan Islam, demikian kesimpulan Natsir muda. Salah satu bukti nyata adalah ceramah pendeta Christoffels yang didengarnya sendiri pada tanggal 5 dan 12 September 1928.

Di depan murid-murid Algemere Midlebare School (AMS), AC Christoffels mengangkat tema ‘Muhammad als Profeet’ (Muhammad Sebagai Nabi), sebuah judul yang simpatik sebenarnya. Hanya saja, kesimpulan sang pendeta itu keliru, sebab katanya Muhammad itu hanya sebagai jalan pembuka bagi kebenaran Kristus yang sebenarnya.

Christoffels juga menyampaikan hinaan khas kaum Kristian Barat kepada Nabi, dengan menyebutnya sebagai sosok dengan nafsu syahwat besar. Rangkuman ceramah itu juga disebarkan lewat surat khabar berbahasa Belanda, Algemeen Indisch Dagblad (AID).

Setelah berbincang dengan gurunya, tuan Hassan, Natsir muda diminta untuk mengirimkan bantahan dengan menggunakan bahasa Belanda. Permintaan tuan Hassan itu ditindaklanjut Pak. Natsir melalui artikel dengan judul yang sama ‘Muhammad als Profeet’ (Muhammad Sebagai Nabi) dan “Al-Qur’an en Evangelie” (Al-Quran dan Injil).

Jawaban Natsir atas pidato pendeta Cristoffels ini dibantah oleh sang pendeta dalam edisi selanjutnya. Natsir kembali membuat bantahan yang kedua, tapi sayang, kali itu Algemeen Indisch Dagblad (AID) tak berkenan memuatnya.

Bagi yang ingin membaca artikel jawaban dari seorang Natsir yang waktu itu usianya masih 18 tahun, dapat dilihat di buku Kumpulan Tulisan Pak  Natsir Tentang Islam dan Kebudayaan yang diterbitkan oleh Girimukti Pusaka, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah.

Natsir muda menunjukkan bahawa Christoffels tidak menguasai materi (bahan) yang dipidatokan, seperti mengatakan bahawa Ali (Ali bin Abi Talib) adalah anak dari Nabi, kemudian Nabi mengambil isteri Ali. Bahawa fitnah yang menimpa Ummul Mukminin Aisyah, haditsul ifk, terjadi sebelum pernikahannya dengan Nabi Muhammad SAW. Natsir juga menunjukkan kekeliruan Christoffels yang mengatakan bahawa Rasulullah (Muhhamad SAW) ikut berhijrah ke Abessinia.

Tuduhan Christoffels bahawa isi al-Qur’an hanya campuran salinan dari al-Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang ditambah dengan pendapat Muhammad sendiri juga dibantah Natsir. Dengan piawai, Natsir muda menyajikan sejarah turunnya wahyu dan penghimpunan al-Qur’an.

Lemahnya pendapat Christoffels ini nampak dalam paragraf terakhir Natsir dalam artikel bantahannya, yang menampakkan kepercayaan diri yang tinggi dari kaum Muslimin.

Selanjutnya, kami yang beragama Islam, tidak mempunyai alasan untuk merasa kehilangan keseimbangan setelah menerima serangan-serangan seperti itu. Malahan sebaliknya, kami berhasrat sekali untuk dapat berhadapan langsung dengan para pendeta, penyebar agama atau Doktor Theologi, yang ingin mengikuti langkah pendeta Christoffels, iaitu “menyoroti Islam dengan fakta-fakta”, secara “ilmiah” atau “falsafiah”, dengan “objektif” serta “tanpa prasangka”, seperti yang mereka bangga-banggakan selama ini. Semakin gencar serangan yang datang, semakin banyak kesalahfahaman dan kekeliruan yang dapat disingkirkan dan akan semakin bertambah terang benderang seluruh kebenaran dan keindahan yang ada dalam Islam

Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah tiada membenarkannya. Ia menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang yang ingkar tidak menyukainya (QS At Taubah (9) : 32).

Kaum Muslimin, mari bela Islam, kebenaran pasti menang. ”

Pelecehan Terancang

Natsir melihat, gencarnya aksi missi dan zending bukanlah sebuah kebetulan. Ia adalah sebuah gerak yang terencana dan terorganisir secara rapi.

Tidak begitu lama dari ceramah pendeta Protestan Christoffels yang menghebohkan itu, seorang Pastor Jesuit di Muntilan yang bernama Jan Ten Berge, pada bulan April dan Juni 1931 menerbitkan dua artikel tentang Al Qur’an dalam Jurnal Studien yang dipublikasikan di Belanda. Pada akhir artikel kedua terdapat kata-kata sarkastik yang penuh kedengkian.

“Seorang dapat memahami bahawa menurut Muhammad, pemahaman umat Kristian tentang ayah, ibu dan anak ada dalam erti seksual. Bagaimana mungkin baginya, seorang anthropomorfis, orang Arab yang bodoh, bernafsu besar dan mempunyai kebiasaan tidur dengan wanita-wanita dapat memahami suatu konsepsi yang berbeda dan lebih tinggi tentang hubungan keayahan.”

Secara satira, Natsir mengkritik sikap netral terhadap semua agama yang didengungkan pemerintah kolonial, tetapi diskriminatif dalam pelaksanaannya.

Masih belum ada jalan rupanya buat pihak kekuasaan melarang penistaan itu. Memberi nasihatpun tidak. Satu bukti yang terang dan kuat bagi kaum Muslim Indonesia, bagaimana keteguhannya pemerintah mempertahankan kenetralannya dalam segala urusan agama. Majalah Studen yang memuat karangan Pastur Ten Berge masuk Indonesia yang berpenduduk 90 % dari orang muslim. Tak ada stopan (halangan) masuk, tak ada larangan sebar. Lebih dari cukup bukti yang teguh dan terang kepada orang Islam, bagaimana kuatnya kenetralan pihak kekuasaan itu dalam semua urusan agama.

Pada tanggal 7 Agustus 1931, Wiwoho Poerbohadidjojo, seorang anggota Jong Islamieten Bond menyampaikan protesnya di dalam Voksraad.

Pelecehan publik terhadap kaum Muslim secara diam-diam didukung dan aksi-aksi protes menentang pelecehan ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima oleh pemerintah. Hal ini hanya akan memperlihatkan cara untuk kian meningkatnya pelecehan-pelecehan semacam itu, dan semestinya dipandang sebagai hal yang tidak Kristiani bahawa pemerintah dari sebuah bangsa yang Kristian menerima kelanjutan pelecehan ini. Saya sungguh-sungguh berharap agar pemerintah akan mengambil langkah guna mencegah tindakan-tindakan seperti ini terjadi lagi di masa yang akan datang.”

Secara apologetik, protes Wiwoho di Majelis Volksraad dijawab oleh Kiewiet d Jonge pada tanggal 17 Agustus 1931, yang menyatakan bahawa tidak mungkin ada penindakan terhadap Ten Berge karena artikel tersebut diterbitkan di Belanda. Artikel tersebut sebenarnya lebih pada sikap pembelaan terhadap agama Kristian, meski menurutnya ada kata-kata yang memang tidak patut sehingga menyebabkan ketersinggungan umat Islam.

Pada umumnya artikel itu ditulis dalam gaya akademis dan harus dipandang sebagai pembelaan terhadap agama Kristen, alih-alih serangan terhadap Islam. Namun dalam tulisan ini terdapat beberapa ungkapan yang tidak menyenangkan dan satu kalimat yang harus dicela dengan tegas. Pemerintah telah meminta Direktur Pendidikan dan Agama untuk bertindak selaku mediator guna menyampaikan kepada penulis artikel ini apa yang patut dicela dari perbuatannya dan menekankan agar tidak ada satupun salinan, ketikan atau terjemahan dari artikel itu yang boleh disebarluaskan. Pemerintah yakin bahawa permintaan semacam itu, berdasarkan rasa cinta yang umum akan umat manusia dan toleransi dari imam yang bersangkutan, sudah dianggap cukup untuk mencegah kemungkinan penyebaran artikel itu di negeri ini.

Namun ternyata, protes-protes yang dilakukan oleh umat Islam secara damai itu tidak menyurutkan gerakan misi dan zending. Berbagai pelecehan terhadap agama Islam terus dilakukan, bukan hanya melalui tulisan yang berkedok (bercorak) ilmiah akan tetapi juga melalui tindakan yang di luar nalar (reasoning) sihat umat beragama.

Pada tahun 1938, di Pesako Sulawesi Utara, pasukan Bala Keselamatan masuk ke dalam masjid dengan memakai sepatu dan alat-alat muzik. Mereka kemudian memperdengarkan lagu-lagu Kristian di dalam Masjid. Di Solo, buku-buku Kristian yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab pegun disebarkan gratis (percuma) di Masjid Mangkunegaran ketika umat Islam sedang melaksanakan sholat Jum’at. Di Tasikmalaya, seekor anjing dibawa masuk ke musholla.

Di Manado, seorang opsir (pegawai) Bala Keselamatan, Ernst Brand, pada tanggal 13 April 1938 dengan terang-terangan menghina Nabi Muhammad SAW di depan umum. Dia mengatakan, “Muhammad seorang miskin dan penggembala. Ia menikah dengan Khadijah janda kaya dan menghabiskan hartanya. Muhammad mempunyai 14 isteri, perampas isteri orang dan menuruti hawa nafsunya. Mana mungkin ada kesucian dari orang begitu. Siapa saja yang tidak mengikuti agamanya, ditusuknya dengan pedang terhunus.”

Wiwoho, perwakilan Jong Islamitien Bond di Volksraad menyebut rangkaian pelecehan dan penghinaan ini sebagai sebuah tindakan yang brutal. “Keberanian propagandis – propagandis dari orang-orang yang beragama lain (maksudnya Kristian) di negeri Islam ini lama kelamaan berubah menjadi kebrutalan atau tidak tahu malu. Perkataan yang lebih halus tidak boleh lagi saya pakai,” tegas Wiwoho.

Beberapa tulisan lain mengenai hubungan Islam dan Kristen dapat terlihat dalam buku M. Natsir, “Islam dan Kristen di Indonesia” yang merupakan kumpulan karangan Natsir dalam Panji Islam dan Pembela Islam selama lebih kurang empat puluh tahun, sejak tahun 1930 hingga 1969.

Judul tulisan “Kristen di Belakang Pemerintah” (1930) yang diterbitkan oleh Pembela Islam No. 30 halaman 16 sehingga 18 merupakan reaksi akan gambaran Volksraad (Dewan Pemerintah) bahawa orang Kristian Indonesia akan berdiri di belakang pemerintah yang beragama Kristian. Hal ini ditangkap oleh M. Natsir dari keterangan yang disampaikan oleh Notosusastro (Indonesier Kristen). kerana itu berdirinya partai baru (Parti Masehi Indonesia) akan mengukuhkan satu bangsa yang beragama Kristian.

Karya tulis lainnya sebagai tanggapan dari aksi Kristianisasi (diambil dari buku La Conquete Du Monde Musulman (artinya : Penaklukan Dunia Islam). M.Natsir menjelaskan pula bahawa dakwah umat Islam yang merupakan respon terhadap aksi Kristianisasi disebabkan bukan semata-mata kerana ada masalah inti dari ajaran agama masing-masing (Islam dan Kristian) atau kerana hak-hak asasi manusia, melainkan kerana adanya resep (ramuan) lama dari misi dan zending (Kristianisasi) yang kembali menjelma di tanah air ini, iaitu resepi penaklukan dunia Islam. Penaklukan ini menjelma dalam tindakan Misi dan Zending yang menjadikan umat Islam sebagai sasarannya penyebaran agama.

Rujukan :

  • TH. Sumartana, Konsili Vatikan II dan Dialog Antar Agama di Indonesia,
  • Erdward Said, Orientalisme,
  • Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, Mengkritisi Kajian Islam Orientalis, tulisan pengantar pada Jurnal Islamia, Vol. II No. 3 Disember 2005,
  • Natsir, Islam dan Kebudayaan,
  • Isa Anshory, Mengkristenkan Jawa,
  • Arif Wibowo, Berebut Indonesia, dan beberapa buku lain

Sumber: Oleh: Arif Wibowo, https://www.hidayatullah.com/

Translate »