NALURIAH manusia sebagai makhluk yang serba ingin tahu dan mau tahu. Berbagai upaya dilakukan agar rasa keingintahuannya dapat terpenuhi. Secara formal, keingintahuan diraih melalui transformasi ilmu. Secara ideal, para penuntut ilmu berupaya untuk memenuhi keingintahuan-nya.

Di antara upaya dilakukan dengan memperbanyak membaca, berinteraksi dengan kaum cendekia, merenung alam ciptaan-Nya, dan lain sebagainya. Semua dilakukan tanpa mengenal lelah dan pertimbangan biaya. Semua dilakukan untuk memenuhi keingintahuannya. Meski masih tersisa para penuntut ilmu yang hanya termotivasi sekadar untuk prestise semata. Mereka tak pernah memiliki keingintahuan.

Tak peduli profesionalisme dan adab. Semua akibat visi materialisme. Tak peduli pertanggungjawaban ilmiah dan sisi transendental, tapi lebih mengedepankan gengsi atau status yang diperoleh. Tak tersisa rasa malu, kecuali asa untuk meraih apa yang dimau, meski harus “mencuri” karya produk yang telah jadi. Hanya tersisa keinginan untuk dikatakan hebat dan memperoleh tanda berilmu (ijazah). Semua jalan ditempuh asalkan prestise diperoleh.

Bila ada yang meng-halangi, maka akan dicari “kambing hitam” agar keinginannya diperoleh. Bahkan, ada pula segelintirnya yang hanya mengandal-kan tumpukan materi dengan “kelincahan” retorikanya berargumentasi. Kelincahan lidah yang didukung oleh hilangnya harga diri, rasa malu, dan adab yang harusnya dikedepankan. Fenomena yang aneh tersebut menjadi sempurna tatkala disambut oleh penyedia atau fasilitator serakah yang tak bermoral bekerjasama agar tanda prestise berilmu dapat disandang dan rasa kehebatan diri dapat diraih. Namun, semuanya tentu nyaris tanpa tahu dan adab.

Padahal, Syekh Abdul Qadir al-Jailani pernah berpesan: “aku lebih menghargai orang yang beradab daripada orang yang berilmu (tanpa adab *pen). Kalau hanya berilmu, Iblis lebih tinggi ilmunya daripada manusia”. Nasihat di atas menunjukan bahwa ilmu tanpa adab merupakan cerminan sifat iblis. Sebab, iblis enggan melaksanakan perintah Allah agar memuliakan (takrim) pada nabi Adam AS (QS. al-Baqarah: 34).

Padahal, ilmu iblis sangat tinggi. Tapi, bila manusia yang hanya berilmu pas-pasan atau tak berilmu justru tak beradab (sombong). Sifat ini disamakan layaknya iblis, bahkan lebih nista lagi. Terlepas dari fenomena di atas, bila dianalisa secara cermat, ada beberapa tingkatan tau dan sekaligus menunjukkan tipikal manusia atas sifat keingintahuan-nya.

Tingkatan tersebut antara lain: Pertama, Ada yang tau, senantiasa mencari tahu, dan selalu memberi tahu (pemilik ilmu atau pendidik) jalan kebenaran. Pakaian ilmunya selalu terbungkus oleh adab mulia. Mereka adalah tipikal para ulama beradab. Mereka berilmu (luas), senantiasa menyebarkan ilmu (lisan dan tulisan), mencari ilmu tiada henti, dan mengamalkan semua ilmu yang dimiliki secara konsisten.

Seluruh hidupnya diwakafkan untuk mencari ilmu dan kebenaran, tanpa melihat status atau strata pemilik ilmu. Sikap ini diingatkan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib, bahwa: “Lebih baik mendengar-kan musuh yang bijak (berilmu *pen) dari-pada meminta nasihat dari teman yang bodoh (jahil).” Namun, di era 5.0, eksistensi kelompok ini semakin sulit ditemukan dan mampu mempertahankan idealisme ilmu yang dimiliki.

Serangan gaya hidup materialistik telah menyudutkan pemilik tipikal ilmuan (ulama) yang tafaqquh fi ad-din ke sudut wilayah yang kurang diperhatikan. Eksistensinya kurang dihargai dan tidak diminati, bahkan oleh pemilik ilmu pada level yang sama. Akibatnya, segelintir mereka melakukan lompatan idealisme untuk memperoleh posisi yang diharap-kan. Semua bertujuan memperoleh posisi dan pundi-pundi. Akibatnya, antara ilmu dan prilakunya berada pada 2 (dua) kutub yang berseberangan, bak langit dan bumi. Kedua, ada yang tak tahu dan berupaya mencari tahu. Mereka adalah tipikal para penuntut ilmu. Ia sadar atas ketidaktahuannya dan berupaya mencari sumber ilmu yang benar dan tepat untuk membimbing-nya menjadi tau jalan kebenaran.

Sungguh, tak ada batasan umur yang menjadi penghambat untuk mencari pengetahuan. Meski secara kuntitatif kelompok berilmu mengalami peningkatan seiring persyarat-an meraih status dan pekerjaan. Namun secara kualitas substansial tak sesuai deret ukur dengan peningkatan jumlah strata pendidikan yang ada.

Sebab, konsistensi untuk mencari, melaksanakan, dan memperoleh ilmu mengalami erosi yang menggerus wilayah ilmu yang benar dan beradab. Segelintirnya hanya sekedar memperoleh “status” dengan menghalal-kan segala cara. Manusia berkarakter ini sangat sulit untuk diingatkan, dinasehati, atau disadarkan. Bahkan, beberapa di antaranya melakukan pelanggaran, namun terkesan “dibiarkan”.

Untuk itu, terhadap pemilik tipikal ini, Sayidina Ali bin Abi Thalib mengingatkan melalui nasihatnya: “Jangan menasihati orang bodoh, karena dia akan membencimu. Nasihatilah orang yang berakal, karena dia akan mencintaimu.”

Sebuah nasihat yang tajam dan lugas. Pedoman pencari kebenaran dan sindiran bagi pemilik ilmu terhadap pencari ilmu yang berkarakter angkuh. Ketika bekal “selembar keterangan” diperoleh, rasa angkuh dan tak memerlukan nasehat muncul kepermukaan. Semua tertutup oleh kesombongan iblis dan takjub diri yang begitu keras menggunung.

Akibatnya, keingintahuan berubah hanya sebatas asa memperoleh selembar keterangan status tanda manusia yang tahu. Begitu mudah “keterangan status” diperoleh. Begitu mudah manusia tertipu oleh dominasi kepentingan dan keperluan “status” yang tak terbendung. Mereka yang tak tahu –seakan– mencari tahu (cara tak beradab) begitu mudah terangkat statusnya. Ia tampil sebagai sosok yang seakan tahu (berilmu), mengaku tahu, bahkan merasa serbatahu. Ia bangga atas prestisenya, meski melalui jalan pintas atau serba pantas. Padahal, proses mencari tahu (ilmu) demikian panjang, berliku, dan tak berpengujung.

Sebab, hal tersebut merupakan kewajiban. Hal ini dinyatakan Rasulullah melalui sabdanya: “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah). Namun, semua seakan terhenti tatkala diperoleh “selembar keterangan”. Pencari-an ilmu dipangkas dengan singkat, dan terkesan mudah. Bila sejarah pencari ilmu harus serius dan fokus menemukan ilmu, seiring waktu berubah hanya sebatas aktivitas “sambilan” belaka. Akibatnya, ia tetap tidak tahu meski beratribut seakan tahu. Ketiga, Ada yang tahu, tapi tak mau tahu (masa bodoh). Tipikal ini hadir pada komunitas jahiliyah. Ia lebih mementing-kan keuntungan dirinya sendiri. Pemilik sifat ini merupakan manusia yang acapkali melanggar aturan, adab, dan nilai-nilai kemanusiaan. Pengetahuan yang ada tak menjadikannya lebih baik. Ia tau bila yang dilakukan salah, tapi tak mau tau dan tetap kukuh melakukan kesalahan dan kezalim-an secara permanen. Bahkan, meski jelas Allah dan Rasul-Nya menerangkan, namun acapkali dicari dalil logika lainnya untuk membenarkan dirinya. Tipikal ini sulit disadarkan dan dinasehati.

Sebab, ilmunya tak berkorelasi dengan perilakunya yang tetap membatu sebagaimana sifat kaum jahiliyah atau Yahudi. Keempat, Ada yang tahu, tapi tak mau memberi tahu. Tipikal ini merupakan manusia yang pelit atas ilmu yang dimiliki. Ia tak ingin berbagi karena takut disaingi dan tersaingi. Ia akan membiarkan kesalahan dan kejahilan berlangsung, meski terjadi di depan matanya. Ia hanya ingin tampil “pintar” dengan membiarkan kebodohan. Ia tak ingin ada yang pintar agar mudah dibodohi. Ia tak ingin berbagi dan hanya ingin menguasai sendiri. Hal ini menjadikannya sebagai sosok “penguasa” semua ruang dan menciptakan ketergantungan pada dirinya. Parahnya, tatkala ada yang tau, maka akan dikucilkan agar yang tau hanya dirinya. Kelima, Ada yang tak tahu, tapi seakan-akan tahu (sok tahu).

Tipikal ini sangat berbahaya. Sebab, dari mulutnya akan subur fitnah pada sesama. Lidahnya menari-nari seakan tau semua, bahkan paling hebat. Padahal, tak ada sedikitpun bukti nyata atas apa yang diucapkan, kecuali hanya sebatas kata-kata. Bahkan, meski kata-katanya ternyata salah, ia tak akan pernah mengakui kesalahan dan meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan. Ia akan terus mencari tema obrolan yang mampu menonjolkan dirinya dengan menyalahkan orang lain, terutama yang dianggapnya sebagai “lawan”.

Ia tahu jika ia tak tahu, tapi gengsi dirinya membuat ia tak mau tahu untuk mengakui ketidaktahuannya. Tipikal ini bak kata peribahasa “muka seperti kulit badak” (keras dan kejam), “seperti katak bawah tempurung”, tidak berperasaan dan tidak tahu malu atas ketidakmampuannya. Demikian bahaya manusia tipikal di atas. Sebab, ia akan menjadi penyebab timbulnya kehancuran peradaban yang ada.

Padahal, Allah SWT sudah ingatkan melalui firman-Nya : “Dan janganlah kamu meng-ikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabanya” (QS. Al-Isra’ : 36). Malalui ayat di atas, Allah melarang manusia berbicara ataupun bertindak tanpa pengetahuan atau sok tahu. Sebab, akan berdampak negatif. Anehnya, sosok seperti ini acapkali dipercayakan memikul amanah.

Akibatnya, hanya akan memetik kehancuran atas apa yang dilakukan. Padahal, setiap kata dan amanah kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Meski ayat ini demikian jelas, namun manusia acapkali mendustakan atas firman Allah. Padahal, tak sedikit dari mereka adalah kaum yang mengerti Al-Qur’an. Mungkin ini yang dimaksud Allah sebagai pendusta agama dalam lingkup yang lebih luas (QS. al-Ma’un : 1-7). Keenam, Ada yang tak tahu dan tak mau tahu. Tipikal ini merupakan sifat hewan. Geraknya hanya didominasi dorongan nafsu, tanpa akal dan hati. Wajar bila aktivitasnya tanpa ada pertimbangan baik dan buruk. Ia hanya berbuat sebatas pemenuhan keinginan nafsunya. Ia tak peduli aturan, etika, adab, atau perasaan makhluk lainnya.

Baginya, ia hanya tahu atas apa yang diinginkan dapat diperoleh dan “dikuasai”. Selama hasratnya tercapai, semua tak dipedulikan. Sungguh, posisi tipikal pertama diperoleh, maka diperlukan ilmu dan pengetahuan yang dibimbing oleh ajaran agama. Sebab, ilmu merupakan petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya.

Eksistensinya menjadi petunjuk untuk diamalkan dan disampaikan pada sesama. Melalui ilmu, manusia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana perintah dan mana larangan, serta mana yang halal dan mana yang haram. Semakin berilmu seorang hamba, semakin tawadhu’ dalam hidup dan mulia di akhirat, bukan memperkeruh persaudaraan, menyebar kezaliman, dan menghancurkan peradaban.

Sebab, pengetahuan hakikatnya merupakan kemampuan manusia mengenal dan mengamati seluruh ciptaan Allah untuk melihat kebesaran dan keagungan-Nya. Semakin ia memperhati-kan ciptaan Allah, semakin tunduk pada aturan-Nya. Hanya dengan adab, manusia akan memahami hakikat ilmu dan menikmati kebenaran yang diwahyukan-Nya. Hamba yang demikian akan memperoleh keselamatan hidup sebagai khalifah di muka bumi dan sebagai hamba yang bertakwa.

Sungguh, manusia yang tahu (berilmu) dan beradab bagaikan sebatang pohon rindang yang berbuah lebat. Pohonnya yang kokoh tempat bersandar, daunnya rindang tempat berteduh, dan buahnya lebat manis nan harum lezat dimakan. Sementara, manusia tanpa adab bagai pohon yang dimakan ulat. Pohonnya tak ada yang mau bersandar, daunnya menguning tak bisa berteduh, dan tak akan mampu menghasilkan buah (karya) sedikit jua.

Eksistensinya hidup bak “kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau”. Kehadirannya hanya akan menjadi benalu bagi alam semesta. Tak mampu membangun peradaban, tapi hanya pintar tampil bak “pahlawan kesiangan”.

Padahal, sosoknya hanya sebagai pecundang yang mengkhianati peradaban dan menghancur-kan tatanan keharmonisan silaturrahim yang telah terbangun. Dengan hilangnya adab, maka berkembang virus kesombongan, kelicikan, dan pengkhianatan. Akibatnya, manusia hanya akan menciptakan permusuhan, kebencian, adu domba, dan perpecahan. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)

Translate »