MASALAH Palestin adalah umat. Ia erat kaitannya dengan akidah Islam. Jadi, ia bukan sekadar konflik biasa. Sejak sebelum negara ‘Israel’ (Medinet Y’Israel’) didirikan pada 14 Mei 1948 Yahudi memang sudah jauh-jauh hari ingin merampas negeri Palestin dan al-Masjid al-Aqsha.

Sekilas tentang al-Aqsha

Sebelum Yahudi merampas negeri Palestin itu, dalam pelukan Islam namanya Bait al-Maqdis atau al-Quds. Disebut pula sebagai al-Ardh al-Muqaddasah (Tanah Suci atau Negeri yang Disucikan). Ia merupakan salah satu negeri tertua di muka bumi. Karena ia lebih tua dari Babylonia dan Ninoi. Yang lebih tua darinya adalah Aun atau Ayutu, ibu kota pertama Mesir pada masa klasik, dan Menef atau Menpis yang merupakan ibu kota kedua Mesir yang dibangun pada 3400 SM. (Dr. Fathi Zaghrut, Bencana-Bencana Besar dalam Sejarah Islam, Terj. Masturi Irham & Malik Supar (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), hal. 194, 195).

Adapun al-Masjid al-Aqsha dengan bentuk bangunannya sekarang, dibangun pada masa Bani Umayyah. Permulaan pembangunannya dimulai oleh Khalifah Abdul Malik ibn Marwan, yang menjadi Khalifah tahun 65 H/683 M. Kemudian dilanjutkan oleh putranya, Khalifah al-Walid ibn Abdil Malik, yang menjadi Khalifah tahun 705 M.

Dalam pembangunan lanjutan ini, al-Walid ibn Abdil Malik menambahkan sejumlah ornamen dalam al-Masjid al-Aqsha. Bangunannya sangat megah dan inovatif, panjangnya mencapai 80 meter, lebarnya 55 meter, ditopang 53 tiang yang terbuat dari marmar dan 49 pagar persegi empat yang terbuat dari bebatuan dari al-Quds yang indah. Bangunan ini memiliki 50 pintu dan 7 mihrab.

Para pakar sejarah menyebut al-Masjid al-Aqsha adalah sebuah tempat yang dikelilingi pagar, termasuk di dalamnya beberapa pintu gerbang yang populer ketika Isra’-Mi‘raj, mencakup masjid yang sekarang terkenal dengan Masjid as-Shakhrahbal-Musyarrafah, dan halaman yang mengelilinginya. (Dr. Fathi Zahgrut, Bencana-Bencana Besar dalam Sejarah Islam, hal. 197).

Itulah sekilas tentang sejarah al-Aqsha. Oleh Allah disebut sebagai al-Masjid al-Aqsha (Masjid Terjauh dari Makkah al-Mukarramah), sebagai destinasi Isra’ (perjalanan malam Rasulullah SAW) sekaligus Mi‘raj (naiknya Rasulullah SAW untuk bertemu dengan Allah SWT) (Qs. 17: 1). Maka, al-Aqsha memang tak dapat dilepaskan dari aqidah umat Islam, sejarahnya, dan perjuangan dalam mempertahankannya hingga akhir masa. Apalagi ia memiliki ikatan kuat dengan para nabi sebelum Rasulullah SAW: mulai nabi Ibrahim, Yusya’ ibn Nun, nabi Dawud, nabi Sulaiman, masa Yahudi (597 SM-135 M), masa serangan Romawi (63 SM), nabi Zakariya ibn Yahya, nabi Isa ibn Maryam, hingga masa Islam.

Dalam naungan Islam, Baitul Maqdis menjadi tempat paling nyaman bagi kaum Yahudi dan Nasrani. Sehingga ada yang menyebut bahwa Palestina itu adalah “satu negeri untuk tiga agama”.

Umat Islam Melemah

Lambat laun kekuatan umat Islam pun melemah. Salah satu sebabnya yang paling asasi adalah: perpecahan internal. Semua penguasa negeri-negeri ingin menjadi penguasa tunggal. Ukhuwah dikesampingkan, bahkan ada yang kerja sama dengan musuh, seperti yang dilakukan oleh Dinasti Bani Fatimiyah di Mesir. Maka, dalam Perang Salib I pada 1099 Baitul Maqdis pun jatuh.

Kemudian menyusul Perang Salib II pada 1147 dan berakhir pada 1149. Di sini Dinasti Seljuk berhasil mengalahkan kaum Salibis. Dan dalam Perang Hithin pada 4 Juli 1187 aksi Sultan Shalahuddin al-Ayyubi sangat luar biasa. Ia berhasil membebaskan al-Masjid al-Aqsha pada 2 Oktober 1187 M. Tapi, Paus Gregorius VIII kemudian menyerukan Perang Salib kembali.

Perang Salib III pecah pada 1187, tapi gagal. Pada 12 Juni 1191 M mereka menyerah. Kemudian Richard the Lion Heart menjalin perjanjian damai dengan Shalahuddin pada 1192.

Dilanjutkan Perang Salib IV, diserukan oleh Paus Innocentius III, pada 1202. Tujuan utamanya menyerang Baitul Maqdis lewat Mesir. Lalu, disusul Perang Salib V pada 1213, menuju Akka. Gelombang ini didukung Jerman dan Belanda.

Tujuan utama adalah menyerang Manshura (Mansoura), Mesir. Tapi, sungai meluap. Banyak tentara Salib tenggelam karena diblokade umat Islam. Ekspedisi Salibis gagal. Raja Louis IX ditawan di rumah Ibnu Luqman, Mansoura. Lalu mereka minta damai dengan umat Islam dan melepaskan Raja Louis. Dan, mereka harus meninggalkan kota Dimyath.

Tak berhenti. Perang Salib VI meletus di bawah komando Kaisar Frederick II dari Jerman. Namun Vatikan tak merestui hanya karena Kaisar terlamat mengenakan salib. Hanya saja, Raja Frederick melakukan perjanjian dengan Sultan Kamil al-Ayyubi selama 10 tahun (pada 1229). Sedihnya, Sultan Kamil harus melepaskan Baitul Maqdis, kecuali wilayah al-Haram, Bethlehem, an-Nashirah (Nazaret), sebagian wilayah Shaida, dan Thurun (sekarang Tabnin).

Kerugian pasukan salib tahun 1244 mendorong mereka melakukan Perang Salib VII. Kali ini dipimpin oleh Raja Perancis,  Louis IX, yang bergerak dari Mesir (berlangsung 1348). Mereka menguasai Dimyath lalu Mansoura. Tapi, umat Islam di bawah komando Thuran Shah berhasil menghancurkan kaum Salibis. Mereka menyerah dan Raja Louis ditawan hingga ditebus pada 1250 dan kembali ke Prancis secara diam-diam.

Perang Salib belum berhenti. Dilanjutkan ekspedisi kedelapan pada 1270. Dipimpin oleh Louis IX. Kali ini hanya diikuti beberapa bangsawan dan kesatria Perancis.

 

Di tahun yang sama kaum Salibis berdamai dengan Walikota Tunisia, al-Mustanshir yang memaksanya membayar ufti yang besar kepada dua penguasai Sicilia. Tujuh belas hari kemudian pasukan Salib mengharungi samudera dengan kapal-kapal mereka meninggalkan Tunisia. (Dr FathiZaghrut, ibid, hal. 298-304).

Dari Perang Salib yang berjilid-jilid dapat disimpulkan bahwa musuh-musuh Islam tidak pernah berhenti memerangi umat ini, bila perlu sampai mereka murtad dari agamanya (sesuai dengan Qs. 2: 217).

Akhirnya, kekuatan umat Islam terus melemah dan dikuasai oleh kaum penjajah seperti yang terjadi pada rakyat Palestin. Bahkan, sampai saat ini. Minimal, dijajah secara halus lewat budaya, politik, hingga wang (hutang luar negeri).

Urgensi Persatuan untuk Palestina

Upaya untuk memisahkan Palestin dari memori umat Islam terus berlangsung. Mungkin wujudnya tidak lagi seperti Perang Salib, tapi perang lain. Dan yang paling dahsyat adalah diplomasi tingkat internasional. Inilah yang dilakukan oleh negara-negara Eropa dan Barat untuk melegitimasi ‘Israel’ sebagai sebuah negara sejak 1948.

Mereka bahu-membahu untuk meyakinkan dunia bahwa Yahudi-zionis bukan penjajah. Dan mereka berkah menguasai negeri Palestin. Maka, dibuatlah tiga langkah utama, yakni: (1) klaim teologis dan historis bangsa Yahudi terhadap Palestin, (2) Deklarasi Balfour tahun 1917, dan (3) Pembagian wilayah Palestin oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1947. (Lihat, Dr. Adian Husaini, Mau Menang Sendiri; ‘Israel’ Sang Teroris yang Pragmatis? (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), hal. 44).

Dan, pada tahun 1948, mereka sepakat mendirikan negara ‘Israel’. Semua berlangsung lewat jalur diplomatik dan lobi tingkat tinggi. Dan, pada 1948 itu seluruh negara Islam merespon biasa saja. Paling hebat mereka hanya mampu mengirim “kutukan” yang dicibir oleh penjajah, Yahudi-zionis. Padahal, bahaya dibukanya tanah Palestin untuk Yahudi oleh Sultan Abd Hamid II (menjadi Khalifah Ottoman 1876-1909). Dan pada 1882, pemerintah Ottoman mengeluarkan dekrit yang melarang didirikannya pemukiman permanen Yahudi di Palestin.

Umat Yahudi amat serius, untuk membangun negara di Palestin via Theodore Herzyl vs. Sultan Abdul Hamid. Pada tahun 1902, Herzyl yang memimpin delegasi Yahudi membujuk Sultan Abdul Hamid dengan beberapa iming-iming, iaitu: (1) memberikan hadiah sebesar 150 juta Poundsterling untuk pribadi Sultan, (2) membayar semua hutang pemerintah Turki Utsmani yang mencapai 33 juta pound sterling, (3) membangun kapal induk untuk menjaga pertahanan pemerintahan Utsmani yang bernilai 120 juta frank, (4) memberikan pinjaman tanpa bunga sebesar 35 juta pound sterling, dan (5) membangun sebuah universtias Utsmani di Palestin. Tapi, semuanya ditolak mentah-mentah oleh Sultan Abdul Hamid. (Dr. Adian Husaini, Mau Menang Sendiri?, hal. 54-55). Sikap ksatria yang langka dan hampir punah dari jiwa banyak penguasa Muslim hari ini.

Yahudi-zionis tidak berhenti. Puncaknya, Turki Utsmani dihancurkan. Pada 1924 khilafah Ottoman runtuh. Para penulis menyimpulkan bahwa runtuhnya khilafah Ottoman karena hasil kerja-sama, diplomasi, dan lobi Yahudi dengan negara-negara Eropa, utamanya Inggeris. Karena Ottoman dalam pandangan Inggeris adalah batu-sandung bagi misi imperialisnya. Dan, secara internal Yahudi bekerjasama dengan Mustafa Kemal Attaturk.

Penting dicatat bahwa kesuksesan misi zionis untuk menghancurkan Kekhalifahan Utsmani sebagaimana dicita-citakan Herzyl tidak lepas dari “dendam Perang Salib” yang sejak lama terpendam dalam dada bangsa Eropa. Perang Salib yang berlangsung dalam kurun waktu 1097-1187 berakhir dengan kekalahan Pasukan Salib Eropa, sehingga mereka harus meninggalkan tanah Palestin, setelah sebelumnya berhasil menduduki wilayah itu selama sekitar 90 tahun. (Dr. Adian Husaini, Mau Menang Sendiri; hal. 56).

Ini butuh kerjasama. Lebih dari itu, butuh perjuangan serta sinergis dan simultan. Karena membebaskan Palestin bukan tugas rakyat Palestin sahaja, melainkan tugas umat Islam seluruhnya. Untuk itu, diperlukan visi dan misi yang sama dalam membebaskannya, sebagaimana Yahudi-zionis plus negara-negara Barat dan Eropa juga bahu-membahu merebutnya dari tangan umat Islam.

Sedihnya, suara umat Islam masih belum satu. Para pemimpin negara-negara Arab belum satu suara. Begitu halnya dengan negara-negara yang majoriti penduduknya Muslim. Kepala negaranya rata-rata tak memiliki wibawa di tingkat dunia. Inilah “PR” besar umat Islam, jika ingin Palestin, al-Quds, dan al-Masjid al-Aqsha segera kembali ke pangkuan umat Islam. Insya Allah.

Sumber: Qosim Nurseha Dzulhadi, https://www.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2021/06/02/209315/masalah-palestina-dan-problem-persatuan-umat.html

Translate »