Oleh: Alwi Alatas

Hidayatullah.com | DUNIA sudah beberapa kali mengalami pandemi pes, yaitu wabah pes dalam skala yang sangat besar. Wabah pes disebabkan oleh penyebaran bakteri Yersinia pestis (Y. pestis) yang dibawa oleh kutu tikus dan kemudian menginfeksi manusia.

Menurut Menurut Departemen Pelayanan Kesehatan Negara (bagian) Texas, setidaknya pandemi pes sudah terjadi tiga kali di sepanjang sejarah. Yang pertama adalah pandemi di era Yustinian, terutama antara tahun 541 dan 544 di Byzantium. Ia kemudian menyebar dari Asia Kecil ke Afrika dan pesisir Laut Tengah hingga ke era-era berikutnya. Diperkirakan 100 juta penduduk Eropa menjadi korban wabah ini.

Yang kedua adalah yang paling dikenal dunia, the Black Death, terjadi pada tahun 1340-an. Bermula dari Asia dan kemungkinan tersebar melalui jalur sutera: China, India, Mesir, Asia Minor. Saat wabah mencapai Konstantinopel, sekitar 25 juta penduduk Asia sudah menjadi korban. Dalam beberapa tahun penyebarannya, penduduk Eropa mengalami penyusutan lebih dari 30% disebabkan penyebaran wabah tersebut. Wabah ini bertahan hingga abad ke-17.

Pandemi ketiga terjadi pada tahun 1894-1959, bermula di Kanton, Cina, kemudian menyebar ke Hong Kong, Bombay, Jawa, Jepang, dan kemudian ke Afrika Selatan, benua Amerika, dan beberapa negara Eropa. Diperkirakan total korban mencapai 12 juta, yang terbanyak di India.

Wabah ꜥAmwās di Era ꜥUmar

Ada yang berpendapat bahwa wabah ꜥAmwās – atau ꜥAmawās – yang terjadi di al-Sham (Suriah-Palestina) pada tahun 18/639 merupakan bagian dari rangkaian wabah pandemik era Yustinian yang berlangsung selama dua abad (Shoshan, 2002: 3). Orang-orang Arab ketika itu menyebut wabah penyakit mematikan dengan sebutan ṭāꜥūn yang merupakan sebutan yang bersifat umum. Adapun ꜥAmwās yang merupakan daerah asal penyebaran wabah itu memiliki nama kuno Emmaus dan berjarak 19 mil dari al-Quds atau Jerusalem (Sourdel-Thomine, 1986: 460).

Wabah di al-Sham terjadi juga sebelum dan setelah wabah ꜥAmwās di atas, masing-masing dengan rentang waktu 7-10 tahun. Dugaan bahwa wabah ꜥAmwās merupakan wabah pes dikaitkan dengan laporan Yakob dari Edessa yang mencatat terjadinya wabah pes di Suriah pada tahun tersebut (Kaadan & Angrini, 2-4).

Tampaknya wabah ini sempat terjadi di al-Sham pada awal tahun 17H, tepatnya pada bulan Muharram dan bulan Safar. Tetapi penyakit ini tidak tersebar luas dan menghilang setelah itu. Baru pada tahun berikutnya wabah kembali terjadi dan menimbulkan korban yang besar (Ibn Kathir, 1998: 10/40).

Wabah ini terjadi tak lama setelah selesainya proses penaklukkan al-Sham (Suriah-Palestina atau Syam) oleh kaum Muslimin. Pada tahun 17/638, seluruh wilayah al-Sham, termasuk Yerusalem dan Antioch, berhasil dikuasai oleh kaum Muslimin (Ibn Kathir, 1998: 10/37; Burns, 2007: 104). Berbagai pertempuran melawan Byzantium di kawasan itu, yang telah memakan banyak korban, mungkin ikut menjadi pemicu terjadinya wabah.

Pada tahun yang sama juga terjadi kekeringan dan kelaparan di Hijaz, yang dikenal sebagai tahun al-ramādah. Kemudian ꜥUmar keluar untuk melakukan solat istisqa’ dengan membawa al-Abbas bin Abdul Muthalib. Kemudian beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya kami sebelum ini bertawasul kepada-Mu dengan Nabi kami, maka Engkau pun menurunkan hujan bagi kami. Kini kami bertawasul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan bagi kami.” Maka hujan pun turun setelah itu (Ibn Kathir, 1998: 10/74).

Wabah kekeringan ini kemungkinan terjadi beberapa waktu sebelum berlakunya wabah yang memakan banyak korban di al-Sham.

Pada saat wabah mulai merebak di al-Sham, Khalifah ꜥUmar dan beberapa sahabat Nabi tengah menuju ke negeri itu dan sudah tiba di Sargh di perbatasan Hijaz dan Suriah.

Di tempat itu mereka bertemu dengan ꜥAbu ꜥUbaydah bin al-Jarrah dan beberapa pemimpin pasukan Muslim dari al-Sham. Di Sargh, beliau mendapat kabar tentang mulai tersebarnya wabah di al-Sham.

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (2007: 6/70-72, hadits No. 5784; lihat juga Ibn Kathir, 1998: 10/38-39), disebutkan bahwa ꜥUmar melakukan musyawarah dengan para sahabat untuk memutuskan apakah mereka tetap melanjutkan perjalanan ke al-Sham atau kembali ke Madinah. Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat, sebagian menyarankan agar perjalanan diteruskan sementara sebagian lainnya menganjurkan agar ꜥUmar dan rombongan kembali ke Madinah. ꜥUmar kemudian memutuskan untuk kembali ke Madinah, walaupun masih ada sahabat yang kurang setuju dengan keputusan itu.

Segera setelah itu, ꜥAbdul Rahman bin ꜥAuf yang tak hadir saat musyawarah karena satu keperluan menyampaikan kepada ꜥUmar sebuah hadits yang ia dengar dari Rasulullah ﷺ: “Kalau kalian mendengarnya (wabah) ada di suatu negeri, jangan datang ke sana, dan jika ia tersebar di negeri yang kamu ada di dalamnya, maka jangan keluar melarikan diri darinya.” ꜥUmar pun bersyukur karena keputusannya sesuai dengan hadits Nabi tersebut.

Yang menarik adalah setelah ꜥUmar mengambil keputusan dan sebelum ꜥAbdul Rahman bin ꜥAuf menyampaikan hadits di atas, ꜥAbu ꜥUbaydah masih tidak setuju dengan keputusan Khalifah dan bertanya, “Apakah Anda hendak melarikan diri dari ketetapan Allah?” ꜥUmar memberikan jawaban atas pertanyaan ini, “”Ya, kita melarikan diri dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.” Ia kemudian memberi permisalan bahwa jika seseorang membawa sekumpulan unta ke sebuah lembah yang memiliki dua sisi, yang satu subur dan yang satu tandus. Jika ia memutuskan untuk membawa unta-unta itu ke sisi yang subur, maka itu merupakan takdir Allah dan begitu pula jika ia membawanya ke tempat yang tandus, itu juga merupakan takdir Allah. Maksudnya adalah tidak salah bagi seseorang untuk memilih dan berusaha, karena ia belum mengetahui apa yang akan menjadi takdirnya.

Hadits Nabi di atas mengisyaratkan untuk dilakukannya karantina saat terjadi wabah.

Menurut as-Sallabi (1/433-435), para ulama sepakat bahwa mereka yang berada di luar daerah wabah dilarang untuk memasuki daerah wabah. Namun, mereka berbeda pendapat tentang apakah boleh bagi mereka yang berada di dalam daerah wabah untuk keluar dari daerah tersebut. Sebagian ulama membolehkan yang terakhir ini.

Saat sudah kembali ke Madinah, ꜥUmar sempat menyurati ꜥAbu ꜥUbaydah yang merupakan gubernur di Suriah dan memintanya untuk datang ke Madinah (karena ia tak mau ꜥAbu ꜥUbaydah wafat terkena wabah), padahal wabah sudah tersebar di al-Sham.

Namun, ꜥAbu ꜥUbaydah menolak baik-baik permintaan Khalifah, karena ia tak ingin meninggalkan pasukan Muslim di bawahnya. ꜥUmar kemudian kembali menyurati ꜥAbu ꜥUbaydah dan memintanya agar memindahkan kaum Muslimin ke kawasan yang lebih tinggi dan berudara segar di kawasan itu. Namun, sebelum ꜥAbu ꜥUbaydah sempat mengambil langkah itu, wabah sudah mulai mengenai keluarga sebagian sahabat yang berada di sana, termasuk ꜥAbu ꜥUbaydah sendiri.

ꜥAbu ꜥUbaydah dan para pemimpin Muslim di al-Sham sama sekali tidak menganggap wabah ꜥAmwās sebagai sesuatu yang buruk dan mereka siap untuk menghadapi kematian.

Dalam salah satu khutbahnya di depan orang banyak, ꜥAbu ꜥUbaydah berkata, “Wahai manusia, penyakit ini adalah rahmat dari Tuhan-mu, doa dari Nabi-mu, dan merupakan cara wafatnya orang-orang soleh sebelum kalian.” (Ibn al-Athir, 1987: 2/399-400; as-Sallabi, 425).

Menurut Ibn al-Athir (1987: 2/401), yang dimaksud dengan “doa dari Nabi-mu” adalah ketika Jibril datang dan berkata kepada beliau, “Wafatnya umatmu adalah dengan tikaman (al-ṭaꜥn) [terbunuh dengan tikaman tombak] atau dengan wabah (al-ṭāꜥūn).” Maka Nabi ﷺ bersabda, “Dengan wabah (al-ṭāꜥūn).” Tampaknya para sahabat memaknai pemenuhan hadits ini pada peristiwa wabah ꜥAmwās . Wallahu a’lam.

Penyebaran wabah telah menyebabkan wafatnya beberapa sahabat Nabi, seperti ꜥAbu ꜥUbaydah bin al-Jarrah, Muꜥadz bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan, al-Harits bin Hisyam, Suhail bin ꜥAmr, ꜥUtaibah bin Suhail, dan Syurahbil bin Hasanah radhiallahu ‘anhum ajma’in (Ibn al-Athir, 1987: 2/399; Khalifah ibn Khayyat, 1985: 138).

Wabah ꜥAmwās menyebabkan kematian 25.000 Muslim. Keadaan baru reda setelah gubernur yang ditunjuk selepas wafatnya ꜥAbu ꜥUbaydah dan Muꜥadz bin Jabal, yaitu ꜥAmr bin al-ꜥAsh, memutuskan untuk memindahkan kaum Muslimin ke gunung-gunung hingga keadaan membaik.

“Mereka [kaum Muslimin, pen.] meminta izin pada saya untuk pindah ke kawasan yang terbuka,” tulis ꜥAmr dalam bagian suratnya kepada Khalifah ꜥUmar. “Saya tahu bahwa tinggal di tempat yang sekarang tidak akan membuat kematian lebih dekat dan melarikan diri tidak akan membuat kematian menjadi lebih jauh atau menghalangi ketetapan Allah [tetapi kami hanya melakukan upaya yang dibolehkan oleh agama, pen.]” ꜥUmar tidak menyalahkan kebijakan ꜥAmr tersebut (Ibn al-Athir, 1987: 2/400-401; as-Sallabi, 1/423-431).

Setelah berakhirnya wabah ꜥAmwās , ꜥUmar berangkat ke al-Sham. Urusan kota Madinah diserahkannya kepada ꜥAli bin Abi Thalib.

Di al-Sham, ꜥUmar membantu pembagian waris bagi keluarga korban wabah, mengatur penempatan tentara dan beberapa hal lainnya.

Saat masuk waktu shalat, orang-orang mengusulkan agar ꜥUmar meminta Bilal untuk adzan. ꜥUmar pun meminta Bilal adzan. Saat adzan dikumandangkan, semua orang yang pernah mendapati adzan Bilal di era Nabi menangis hingga janggut mereka basah, sementara ꜥUmar adalah yang paling keras tangisannya.

Dan mereka yang belum pernah berjumpa Nabi ikut menangis disebabkan tangisan para sahabat itu dan karena kenangan akan Nabi ﷺ (Ibn Kathir, 1998: 10/45; as-Sallabi, 1/432).

Berimannya masyarakat kepada Allah tidak bermakna mereka akan terbebas dari musibah, karena dunia adalah tempatnya ujian, baik ujian nikmat maupun ujian kesusahan.

Bagaimanapun, yang membedakan mereka dari orang-orang yang tak beriman adalah penyikapan mereka atas musibah. Peristiwa wabah ꜥAmwās memperlihatkan betapa para sahabat bersabar dalam menghadapi musibah. Mereka sama sekali tidak meninggalkan ikhtiar, tetapi pada saat yang sama mereka juga sepenuhnya siap dalam menghadapi kematian.*

Dosen Sejarah pada International Islamic University Malaysia (IIUM)

Translate »