Ide dari tulisan ini muncul setelah membaca sebuah artikel tentang perdebatan agama dan sains beberapa waktu lalu. Atas dasar perkembangan teori penciptaan modern, penulisnya membangun pendapat tentang hubungan agama dan sains.

Adalah Stephen Hawking yang memunculkan teori baru tentang keberadaan alam semesta dan sekaligus mengoreksi teori dentuman besar (big bang) Albert Einstein. Berbeda dengan Einstein, Hawking dalam penelitian terbarunya malah membuktikan bahwa alam ini tidak berawal dari sebuah dentuman besar, serta tidak pula memiliki permulaan dan akhir.

Pertentangan teori sains dan agama seperti ini membuat penulisnya berpendapat bahwa sains dan agama berada dalam dua wilayah berbeda yang sama sekali tidak bisa dihubungkan. Yang menarik perhatian saya adalah kesimpulan sang ilmuan tentang penegasian eksistensi Tuhan dan kesimpulan penulis tentang hubungan antara sains dan agama.

Diskursus teori penciptaan di atas mengingatkan saya pada perdebatan lintas generasi dalam sejarah pemikiran Islam, yaitu antara Ibn Sînâ (890-1037 M) dan al-Ghazâlî (1058-1111 M). Perdebatan ini terkait persoalan apakah alam semesta ini kekal (qadim) atau baru (hudȗts).

Al-Ghazâlî dalam Tahâfut al-Falâsifah membantah argumen Ibn Sînâ yang menyatakan bahwa alam semesta ini bersifat kekal (qadim). Menurutnya, alam semesta ini bersifat baru (hudȗts), karena ia diciptakan oleh Tuhan. Kata “diciptakan” mengandung makna bahwa pada awalnya alam ini tidak ada dan kemudian di-ada-kan oleh Tuhan (creatio ex nihilo).

Sedangkan Ibn Sînâ meyakini teori yang berbeda, bahwa ketiadaan hanya bisa menghasilkan ketiadaan (ex nihilo nihil fit). Maksudnya, segala sesuatu yang ada tidaklah bisa berawal dari ketiadaan, sehingga hanya “ada” yang bisa menjadi “ada”. Hal ini berkonsekuensi pada pandangan terhadap kekalnya alam ini.

Tentu perdebatan Ibn Sînâ dan al-Ghazâlî ini mirip dengan perdebatan Einstein dan Hawking, walaupun dalam kondisi yang terbalik. Ibn Sînâ meyakini kekalnya alam ini dan al-Ghazâlî kemudian hadir dan membantahnya dengan keyakinan kebaruan alam semesta. Begitu juga dengan Einstein yang mengakui alam ini memiliki permulaan dengan teori dentuman besarnya (big bang) dan kemudian hadir Hawking yang menyatakan teori bahwa alam ini tidak memiliki awal dan akhir.
Namun, hal menarik yang perlu dicermati adalah perbedaan kesimpulan akhir dari kedua perdebatan lintas generasi tersebut. Kesimpulan Hawking akhirnya menegasikan eksistensi Tuhan. Sedangkan pedebatan antara Ibn Sînâ dan al-Ghazâlî sama-sama diperuntukkan untuk mengagungkan Tuhan.

Kesimpulan Hawking tentang alam semesta yang kekal menyebabkan penegasian eksistensi Tuhan. Ketidakberawalan alam semesta ini menunjukkan bahwa ia tidak pernah tidak ada dan selalu ada, sehingga tidak diperlukan sesosok agen (Tuhan) untuk memproses dirinya dari ketiadaan menuju keberadaan.

Namun, akan menjadi menarik apabila kita menilik pemikiran Ibn Sînâ. Bagaimana bisa dari sebuah premis awal yang sama tentang kekekalan alam ini, ia menghasilkan sebuah kesimpulan yang berbeda dengan Hawking?

Ibn Sînâ lebih cenderung menggunakan dalil filosofis dalam membangun argumentasi hubungan alam dan Tuhan. Ada dua dalil filosofis yang melandasi argumen Ibn Sînâ, yaitu bahwa segala sesuatu membutuhkan sebab, dan sebuah sebab tidak bisa menghasilkan akibat yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan sebabnya.

Jika dalil-dalil ini diterapkan pada alam semesta ini, maka akan memunculkan pertanyaan: “apakah sebab dari alam semesta ini?” Saya tidak tahu persis bagaimana Hawking akan menjawab pertanyaan ini.

Jika seandainya ia menjawab bahwa alam semesta ini tidak memerlukan sebab, tentu ini akan bertentangan dalil filosofis pertama. Padahal dari dalil filosofis tersebutlah seluruh bangunan ilmu pengetahuan bersandar. Seluruh penelitian ilmiah bertujuan untuk mencari sebab dari fenomena tertentu.

Hilangnya prinsip filosofis tersebut akan menghancurkan seluruh bangunan ilmu pengetahuan manusia. Namun, jika ia menjawab bahwa sebab dari alam ini adalah dirinya sendiri, hal ini sama halnya dengan mengatakan bahwa materi merupakan sebab bagi dirinya. Pernyataan itu tentu bertentangan dengan prinsip filosofis kedua.

Secara sederhana bisa dianalogikan bagaimana mungkin seseorang yang tidak bisa berbahasa Inggris sukses melatih orang lain untuk fasih berbahasa Inggris. Prinsip filosofis di atas mengakibatkan bahwa haruslah ada sesuatu yang lebih tinggi dari keberadaan materi tersebut yang berlaku sebagai sebabnya.

Di sisi lain, prinsip kausalitas itu sendiri harus berakhir pada causa prima, yaitu suatu sebab yang tidak memiliki sebab. Ketidakberakhiran sebab-akibat secara tidak terbatas (tasalsul) merupakan hal yang tertolak.

Alam semesta itu sendiri tidak bisa kita jadikan sebagai causa prima dengan alasan yang sudah dipaparkan di atas. Sesuatu yang derajatnya melampaui materilah yang dapat dijadikan causa prima. Dalam terma kaum agamawan, istilah causa prima ini diidentikkan dengan Tuhan.

Melalui prinsip-prinsip tersebut, Ibn Sînâ menjelaskan hubungan antara alam semesta dan Tuhan melalui teori emanasinya. Bahwa alam semesta ini merupakan pancaran dari zat Tuhan. Hal ini secara sederhana dianalogikan dengan matahari dan sinarnya.

Akan sangat tidak mungkin kita bisa memisahkan eksistensi matahari dan eksistensi sinarnya. Adanya matahari meniscayakan keberadaan sinarnya.

Begitu pula dengan Tuhan dan alam semesta. Kita tidak bisa mengatakan bahwa alam semesta ini bermula dari ketiadaan. Mengatakan alam ini pernah tiada, sama tertolaknya dengan pernyataan pernahnya kondisi matahari tanpa sinarnya.

Lalu apakah dengan kekalnya alam berarti kita menyamakan alam semesta dengan Tuhan? Di sinilah letak solusi cerdik Ibn Sînâ. Ia membagi konsep kekal (qadim) menjadi dua, yaitu kekal dari segi masa atau waktu dan kekal dari segi zat.

Kekal dari segi masa bermakna sesuatu yang tidak memiliki permulaan waktu. Sedangkan kekal dari segi zat adalah sesuatu yang tidak tergantung kepada yang lain.

Jadi, alam semesta ini bersifat kekal dari segi waktu, sedangkan Tuhan kekal dari segi zatnya. Hal ini juga diperkuat dengan pembagian Ibn Sînâ tentang wajib al-wujȗd menjadi dua, yaitu wajib al-wujȗd bi dzatihi dan wajib al-wujȗd li ghairihi.

Wajib al-wujȗd bi dzatihi bermakna wujud yang wajib adanya dikarenakan oleh zatnya sendiri, yaitu Tuhan. Sedangkankan wajib al-wujȗd li ghairihi adalah wujud yang wajib ada karena bersandar pada sesuatu yang lain, inilah alam semesta. Maka kekalnya alam semesta ini tetap bersandar pada kekalnya zat Tuhan.

Tentu keduanya berbeda dalam hal kualitas kekekalannya. Dengan demikian, penerimaan kekekalan alam semesta ini tidak selalu dianggap sebagai menduakan Tuhan atau bahkan menegasikan Tuhan.

Demikianlah kiranya perbedaan kesimpulan antara Hawking dan Ibn Sînâ, walau berangkat dari premis awal yang sama. Dengan ini pun sesungguhnya bisa dikatakan bahwa sains dan agama itu tidak benar-benar terpisah.

Bahwa keduanya pun terkadang bisa saling mendukung satu sama lain. Tinggal bagaimana kita memilih cara berpikir dan sudut pandang dalam menyikapinya.

Sumber : qureta.com

Translate »