PEPATAH mengingatkan, “gajah di pelupuk mata tak terlihat, tapi semut di seberang laut kelihatan jelas”. Pepatah ini pada umumnya berpesan bahwa kesalahan diri (atau kroni) yang begitu besar di depan mata tak terlihat, namun kesalahan orang (di luar kroni) yang demikian kecil terlihat jelas dan dibesar-besarkan. Akibatnya, kesalahan diri yang demikian nyata tak pernah terlihat, sementara kesalahan orang lain jelas terpampang.

Menurut hemat penulis, pepatah di atas dapat pula dipahami dalam makna “pelajaran besar yang ada pada diri tak pernah dilihat, tapi pelajaran yang jauh diseberang lautan justeru yang dikejar”. Padahal, diri sendiri tak pernah dikaji dan dimengerti, tapi hanya sibuk mencari dan mengkaji ilmu di luar diri. Akibatnya, ilmu dicari dan dimiliki membuat diri menjadi sosok manusia yang tak tau diri dan lupa diri. Hal ini diingatkan ulama sufi bahwa “barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Rabnya.”

Sungguh pesan yang sarat nilai dan mengingatkan manusia untuk lebih mengkaji dan mengenal diri. Sebab, pada diri terdapat demikian banyak ilmu yang ditampilkan Allah untuk difikirkan dan diamalkan. Di antara sedemikian banyak ayat Allah pada diri adalah perangkat tubuh manusia.

Pada konteks di atas, perangkat tubuh manusia ada yang diciptakan berpasangan dan ada pula yang tungggal. Bila dikaji secara cermat, kesemuanya mengisyaratkan persatuan dan kerja sama seluruh komponen tubuh agar manusia bisa mencapai tujuan hidupnya, baik sebagai hamba-Nya maupun khalifah di muka bumi. Semua komponen diri manusia berinteraksi secaran harmonis. Semua manunggal dalam aturan Allah SWT (sunnatullah). Bila ada komponen yang rusak dan tak mengikut aturan Allah, maka akan berdampak pada kesehatan dan fungsi manusia.

Dengan mengkaji diri dan organ tubuh, manusia disuguhkan beberapa pelajaran makna persatuan, antara lain :

Pertama, Organ tubuh yang berpasangan. Adapun organ yang diciptakan berpasangan meliputi sepasang mata, telinga, lobang hidung, tangan, dan kaki. Semua bertujuan agar manusia mengambil i’tibar dan melihat kebesaran-Nya. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah)” (QS. az-Zariyat : 49).

Merujuk ayat di atas, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa bukan hanya organ pada diri manusia, tapi Allah SWT juga menciptakan makhluk lain secara berpasang-pasangan. Hal ini bisa dilihat pada penciptaan bumi dan langit, matahari dan rembulan, terang dan gelap, iman dan kafir, hidup dan mati, muda dan tua, surga dan neraka, serta varian pasangan makhluk lainnya. Bila dilihat secara cermat, setiap makhluk yang diciptakan-Nya berpasangan berada pada posisi yang berseberangan. Demikian pula terhadap ciptaan-Nya yang berpasangan pada tubuh manusia.

Namun uniknya, semua organ manusia yang berpasangan berada pada posisi yang berseberangan. Namun, kesemuanya justru saling melengkapi dan berinteraksi secara harmonis, tanpa saling menyakiti, apalagi saling menzhalimi.

Posisi tangan kanan dan kiri yang berbeda, tapi saling memahami dan membantu. Tak ada iri dan ego atas posisinya. Kaki kiri dan kanan yang berbeda, tapi saling mengerti ketika kaki kanan ke depan, maka kaki kiri ikhlas di belakang. Demikian sebaliknya. Harmonisasi kedua kaki bertujuan agar manusia bisa bergerak dinamis sebagai khalifah di muka bumi. Sepasang mata dan telinga bekerja sesuai fungsinya agar manusia bisa mendengar dan melihat semua sisi. Tak ada yang berpangku tangan dan disembunyi-kan oleh masing-masing organ. Begitu pula dengan lobang hidung, berfungsi sebagai media manusia bisa bernafas dan mencium berbagai aroma. Begitu harmonisnya organ yang pasangan. Tak ada yang berburuk sangka atau mencari keburukan sesama, tak ada yang iri dan saling mencari kelemahan, dan tak ada yang khianat dan saling mengancur-kan. Meski beda posisi, tapi memiliki kesamaan tujuan.

Keindahan posisi dan keharmonisan organ tubuh manusia dan alam semesta begitu jelas terpampang di depan mata. Namun, keserasian tersebut tak mampu terwujud secara komprehensif dalam tataran realitas kehidupan manusia. Justeru “perbedaan posisi” acapkali menjadi pemicu perpecahan, saling curiga, dan saling “menghabisi”.

Persatuan seluruh organ tubuh manusia yang diciptakan berpasangan merupakan simbol persatuan hakiki. Semua melaksanakan tugas dan fungsinya secara terintegrasi dan harmonis. Tak ada yang merasa paling hebat dan mulia. Semua saling membantu dengan ikhlas tanpa pamrih. Sementara segelintir manusia justeru menjadikan perbedaan sebagai pemicu perpecahan dan saling menyakiti. Meski awalnya harmonis sebagai kawan, namun seiring kepentingan justru menjadi lawan. Awalnya penuh sanjungan dan puji, berubah cercaan dan caci maki. Awalnya penuh harapan dengan berbagai janji, tapi setelah asa diperoleh atau gagal dimiliki, berubah lupa dan semuanya diingkari. Untuk itu, Rasulullah SAW mengingatkan melalui sabdanya :”Cintailah orang yang kau cinta dengan sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah kepada orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia yang kau benci menjadi orang yang kau cintai” (HR. Tirmidzi).

Demikian alam dan organ tubuh yang diciptakan berpasang-an hadir dalam bingkai persatuan, bukan kegaduhan. Persatuan yang saling menghargai, bukan mengkhianati dan menyakiti. Kebersamaan yang hakiki, bukan ingkar janji.

Kedua, Organ tubuh yang tunggal. Adapun organ yang dicipta-kan tunggal meliputi kepala, mulut, kelamin, hati, jantung, perut, dan organ tubuh dalam lainnya. Semua diciptakan tunggal agar fokus bekerja sesuai aturan dan senantiasa hanya mengingat Allah SWT. Dengan demikian, organ tunggal perlu terjaga dan terhindar dari hal yang mungkar. Sebab, dampak organ tunggal lebih masif dan berbahaya. Di antara rahasia diciptakan demikian ini dinukilkan Rasulullah melalui sabdanya : Dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sungguh semua hati manusia berada dalam kekuasaan Allah yang Maha Pengasih, seperti satu hati. Dia menggerakkan hati sesuai kehendak-Nya. Kemudian Rasulullah SAW berdoa : “Ya Allah Yang Maha Menggerakkan hati. Gerakkan hati kami untuk beribadah kepada-Mu” (HR. Muslim).

Bila dilihat dari paparan di atas, ternyata semua organ yang diciptakan berpasangan tak pernah merasa lebih hebat dibanding organ yang diciptakan tunggal. Sedangkan organ yang diciptakan tunggal, tak pula merasa lebih rendah dan iri terhadap organ yang diciptakan berpasangan. Sebab, organ yang diciptakan tak berpasangan bisa menghadirkan dampak (positif atau negatif) yang lebih besar di banding organ yang diciptakan berpasangan. Semuanya bersatu membangun kesatuan wujud manusia untuk tercapai tujuan penghambaan dan kekhalifahan.

Ternyata, begitu jauh manusia mencari teori dan belajar di luar diri terhadap makna persatuan. Padahal, seluruh komponen tubuh yang ada pada setiap diri mengajarkan makna persatuan yang hakiki. Namun semua terlewatkan tatkala manusia belum mampu mengenal dirinya, tapi lebih mengenal di luar dirinya. Hal ini berakibat manusia terlempar dalam ruang yang gelap gulita atas diri dan Rabbnya. Untuk itu, manusia hidup tanpa cahaya dan tersesat dalam ruang terbuka. Akibatnya, wajar bila manusia yang demikian tak mampu menghargai sesama. Hal ini disebabkan ketidak-mampuannya menghargai diri sendiri dan Rabbnya.

Bila manusia tak bersatu, secara tak langsung menunjukkan ia tak pernah mengerti hakikat dir dan mendustai seluruh komponen yang ada pada dirinya. Bila hal ini terjadi, secara tidak sadar ia telah melukai “sisi dalam diri” yang berakibat hadirnya berbagai penyakit dan dorongan melukai orang lain. Bagaimana mungkin ia mampu berteriak persatuan bila ia tak pernah menyadari dan berterimakasih atas persatuan seluruh organ tubuhnya. Apatahlagi bila hadir sosok manusia penyebab hancurnya persatuan, maka ia sendiri mengingkari bersatunya seluruh organ tubuhnya. Bila hal ini terjadi, maka hanya akan tampil sosok yang tak dapat dipercaya dan tak layak diberi kepercayaan (amanah) padanya. Sebab, ia telah mendustakan dan menafikan persatuan seluruh organ tubuh-nya. Tatkala dimensi ini tak dipahami, maka wujud dan cita-cita persatuan akan kehilangan ruh.

Secara historis, lahirnya Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 hadir bagai wujud interaksi organ tubuh manusia. Perbedaan semua elemen justru menjadi kekuatan perekat yang mampu membangun perasaan kebersamaan yang harmonis. Tujuan bersama lebih dominan di banding tujuan personal. Bangunan semangat idealisme pemuda era ini patut dipertahankan dan menjadi row model bagi pemuda saat ini. Semua lebur dalam satu tujuan, tanpa melihat status, dan tanpa pamrih. Dalam Islam, tipikal sosok ruh persatuan pemuda yang ideal ini ditampilkan dalam sejarah pemuda ashabul kahfi. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk” (QS. al-Kahfi : 13).

Mereka bersatu dengan ikatan iman dan kebenaran, bukan penuh siasat kepentingan dan kelicikan. Idealisme dan semangat Sumpah Pemuda seakan terkoyak seiring kokohnya bangunan “aji mumpung”, gaya hidup materialistik, punah rasa malu, dan ikrar penuh pamrih. Untuk itu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berpesan, “Bukanlah seorang pemuda bila ia berkata, ‘Inilah Bapakku’, tetapi yang dikatakan pemuda adalah yang berkata, ‘Inilah aku’ (karyaku *pen) !”. Demikian jelas semua ayat-ayat Allah hadir nyata dipelupuk mata. Masihkah mata telah buta, akal telah linglung, dan hati telah tertutup untuk bisa menghadirkan persatuan dalam makna yang sebenarnya.

Sejarah dan semangat Sumpah Pemuda yang diikrarkan untuk mempersatukan NKRI 95 tahun lalu perlu dihidupkan, dipupuk, dan dipertahankan. Bukan sebatas memperingati tapi tanpa arti atau dihadirkan tapi tanpa ruh. Semangat Sumpah Pemuda bukan dipahami pada makna usia. Sebab, tak sedikit yang mengikrarkannya kala itu tergolong tua bila dilihat pada aspek usia. Pemuda dalam konteks ini dimaknai pada semangat, dinamis, mandiri, tak berpangku tangan, pantang menyerah, kritis, pemilik cita-cita, pemilik rasa malu dan harga diri, serta varian sikap positif dinamis lainnya. Sikap dan semangat ini yang harus dimiliki generasi saat ini untuk membangun peradaban NKRI lebih baik dan beradab. Sungguh malu bila peringatan Sumpah Pemuda hanya sebatas mengingat kenangan lama, meneriakkan diri sebagai pemuda namun tanpa kualitas dan semangat membangun bangsa. Apalagi bila yang terbangun justeru sikap apatis atau keinginan berkuasa melalui jalan pintas, menginjak moralitas, penerus kesalahan bukan memperbaiki kesalahan, dan hanya mengumpulkan tumpukan kekayaan atas derita anak negeri lainnya.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 merupakan citra sosok pemuda yang berkepribadian yang bersumpah untuk merebut kemerdekaan dan mengisi peradaban bangsa RI yang bermarwah. Mereka wakafkan dirinya untuk harga diri NKRI. Kata Bung Karno, “serahkan aku 10 orang pemuda, maka akan ku guncang dunia”. Apatahlagi bila semangat ini dimiliki setiap pemuda yang berkarakter amanah dan mengalir ruh Sumpah Pemuda yang hakiki, maka dunia akan mampu “digenggamnya”.

Sungguh, kepercayaan (amanah) yang perlu dijaga sebagai marwah setiap komponen generasi penerus negeri ini. Jangan buat mereka kecewa, menangis, dan terlukai oleh prilaku anak negeri yang terpecah belah. Jangan gadaikan negeri ini hanya untuk meraih kepentingan pribadi dan kroni. Buat para pejuang negeri ini tersenyum bangga melalui karya nyata bagi membangun dan memajukan peradaban NKRI. Jadilah seperti organ tubuh. Perbedaan bentuk, posisi, dan fungsi bukan saling iri, mencaci, atau hanya peduli pada diri dan kroni. Justeru perbedaan yang ada menjadi kekuatan untuk membangun totalitas tubuh untuk saling berinteraksi tanpa tendensi, berbagi tanpa iri, mengisi dan saling peduli, serta berkolaborasi tanpa menyakiti. Begitu indah makna Sumpah Pemuda membangun persatuan karena cinta NKRI dan mengikuti aturan Ilahi. Aturan yang menghantarkan sosok generasi cerdas, karakter yang teduh, bermoral, beradab, komunikatif, solutif, dan tawadhu’. Sebait pantun dihadirkan sebagai kado bagi para pejuang dan para pemuda generasi bangsa:

Hampir seabad ikrar dikumandangkan

Dipelopori pemuda penuh amanah

Sumpah pengikat tali persatuan

Tak kenal mundur walau selangkah

Wa Allahua’lam bi al-Shawwab***

Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis)

Sumber: www.riaupos.jawapos.com

Translate »