“Saya meriwayatkan hadis dari 1000 syeikh bahkan lebih. Tidak satu pun hadis yang saya riwayatkan kecuali saya sebutkan sanadnya.”
Ungkapan di atas adalah kata-kata Imam Bukhari. Sebuah ungkapan yang menggambarkan betapa banyaknya guru yang ia temui dan datangi untuk menimba ilmu dari mereka. Guru-guru yang sebenarnya tentu saja, lebih dari 1000 orang dan mereka semua tinggal di seluruh Jazirah Arab. Imam Bukhari pernah berguru pada Ibrahim bin Hamzah az Zubaidi, Ibrahim bin Mundzir al Khuzami, Ahmad bin Hambal, Ahmad bin Thayyib al Marwazi, Abun Nashr Ishaq bin Ibrahim al Faradisi, Ishaq bin Rahawaih, Ali bin al Madini. Nama-nama di atas baru sebahagian kecil guru dan ulama yang pernah mendidik dan mewariskan hadis pada Imam Bukhari.

Bukhari menjadi dewasa sebagai seorang anak yatim. Tapi dengan tegas ia menjelaskan siapa dirinya, “Aku memang anak yatim, tapi dunia akan tahu siapakah aku.”

Dalam usianya yang sangat muda, iaitu 16 tahun, ia telah memiliki tujuan hidup yang jelas dan cita-cita yang khusus dan luhur. Bukhari ingin merealisasikan harapan gurunya yang ingin agar orang-orang Muslim menghimpun hadis-hadis sahih. Ia bertekad menjadikan harapan ini sebagai sebuah kenyataan.

Pada suatu hari Bukhari mendengar gurunya, Ishak bin Rahawaih, mendorong muridnya dengan berkata, “Mengapa kalian tidak menghimpun ringkasan kitab hadis Rasulullah?”

Mendengar saran itu Bukhari berjanji, “Aku pun bertekad untuk menghimpun hadis al- Jami’ al-Sahih.” Dia menghabiskan waktu mengumpulkan, meneliti, menapis, dan mentashih serta menghimpunkannya selama 16 tahun.

Dalam masa yang sama Imam Bukhari adalah seorang pemuda yang berwatak periang dan dilimpahi kebaikan hati. Pada usianya yang sangat muda, cita-cita dan sikap hidupnya tergambar dalam syair yang digubahnya:
Manfaatkanlah keutamaan rukuk (solat) Kerana boleh jadi kematianmu mendadak Berapa banyak orang sihat yang kau lihat sakit Jiwanya yang sihat pergi tanpa pulang

Sejak muda, Bukhari sering mengembara untuk menuntut ilmu. Ia sangat berhati-hati dengan semua ilmu yang dipelajarinya. Satu ilmu, ia mempelajari semalam sebanyak 20 kali. “Aku menulis hadis dari 1080 orang ulama. Dari Hijaz, Iraq, Syam hingga Mesir. Semuaya ahli hadis. Aku tidak akan menulis hadis kecuali dari orang yang mengatakan bahawa iman adalah ucapan dan perbuatan. Ketika aku menulis hadis dari seseorang, aku selalu menanyakan namanya, kuniyahnya, nisbahnya dan caranya mendapatkan hadis tersebut. Jika orang tersebut mengerti, aku mengambil hadisnya. Jika tidak,aku memintanya kembali merujuk kepada sumber aslinya dan naskhah di mana hadis itu ditulis,” kata Bukhari.

Dia menegaskan, “Aku hanya memasukkan hadis-hadis sahih ke dalam kitab ini. Dan aku meninggalkan beberapa hadis sahih agar kitab ini tidak terlalu panjang. Aku memilih-milih hadis yang ada di dalam kitab ini dari 600,000 hadis. Aku menyusunnya selama 16 tahun, dan aku akan menjadikannya hujjah antara aku dan Allah s.w.t. Dulu aku mengumpulkan dan mencatat hadis ini dari berbagai tempat, sampai ketika aku tiba di Makkah al-Mukarramah.

Aku menulis hadis-hadis sahih yang aku pilih di Baitullah yang suci. Dan setiap kali aku meletakkan hadis dalam kitab ini, terlebih dulu aku mandi, beristikharah kepada Allah, solat dua rakaat sehingga aku merasa yakin. Aku benar-benar hafal kitab ini, dan tidak ada sedikit pun isinya yang luput dari pengamatanku.”

Kalimat di atas dituliskan Bukhari ketika usianya menginjak 32 tahun. Tahun yang benar-benar berat. Tidak saja dari sudut beban perjalanannya, tapi juga dari sudut tanggungjawabnya di hadapan Allah sw.t. Bukhari menghimpun hadis-hadis sahih dari lima tingkat ulama hadis yang terkemuka dan terpercaya.

Pertama, adalah para tabi’it tabi’in seperti Muhammad bin Abdillah al-Anshari, Makki bin Ibrahim, Abu Ashim an-Nabil, dan tokoh-tokoh lain. Kedua, adalah orang-orang yang hidup sezaman tapi belum pernah mendengar hadis dari para tabi’in seperti Adam bin Abi Iyas, Abu Mashar Abdul A’la bin Mashar, dan lainnya. Ketiga, adalah guru-guru senior yang mengambil hadis dari para tabi’it tabi’in senior yang mengambil hadis langsung dari para tabi’in. Keempat,adalah teman sezaman atau orang-orang yang lebih dulu mendengar. Kelima, adalah mereka yang terhitung murid Bukhari sendiri. “Seseorang tidak dianggap sebagai ahli hadis yang sempurna sehingga ia menulis hadis dari generasi di atasnya, generasi sejajarnya dan generasi di bawahnya,” ungkap Bukhari tentang hal ini.

Kelima tingkat sumber hadis Bukhari ini tersebar di segala penjuru. Lima tahun di Baghdad ia habiskan berkelana ke segala penjuru ibu kota Iraq. Dalam kurun waktu itu, Bukhari berguru pada seluruh ulama di kota-kota besar seperti Kufah, Basrah dan Baghdad. Di kota-kota ini, Bukhari tidak hanya menjadi murid, tapi sekaligus menjadi guru. Di manapun ia berada, umat Islam Iraq selalu mengelilingi dan menyediakan segala keperluannya. Kerana di mana pun Bukhari berada, kaum muslimin selalu menimba dari sumur pengetahuan yang ada dalam dirinya.
Di Baghdad, ketika Bukhari mengadakan halaqah ilmu, tidak kurang dari 20,000 orang datang untuk mendengar kuliah dan ceramahnya. Mereka terdiri dari para ulama, ahli fiqh, pelajar dan orang-orang awam. Oleh kerana terlalu ramainya hadirin yang datang, maka suara Bukhari tidak sampai ke telinga semua orang. Untuk men gatasi kesulitan ini, terpaksa diperlukan tiga orang lain untuk melaung, mengulangi, dan meneruskan kata-kata yang disampaikan Bukhari.

Rakyat Baghdad sangat mencintainya. Malah ada yang menulis surat menyanjung Bukhari dan menulis kepadanya , “Kaum Muslimin akan baik-baik saja selama engkau ada. Sebaliknya tdak ada lagi kebaikan jika engkau tiada.”

Di Basrah, Bukhari menetap selama lima tahun lamanya. Dan tiap tahun selama ia menetap di Basrah, ia selalu menunaikan ibadah haji dan berdoa di depan Ka’abah agar Allah memberikan dan melimpahkan berkah pada ilmu dan kitab-kitab yang ditulisnya.

Tapi perjalanan dan pengembaraan ilmu yang dia tempuh, jauh dari selesai. Betapa pun nyaman hidup di Iraq, negeri ini harus ditinggalkannya. Bukhari berangkat menuju Mesir melalui jalur Syam, Jazirah, dan Hijaz. Tugas mencari dan menghimpunkan hadis, bukanlah suatu tugas yang ringan. Mimpinya bertemu dengan Rasulullah menjadi semangat yang terus menyalurkan tenaga pada diri Bukhari.

Pada suatu malam, ia bermimpi duduk di hadapan Rasulullah. Dalam mimpi itu, Bukhari sedang memegang kipas dan mengipasi Rasulullah s.a.w. Dari seorang ahli ta’bir mimpi, Bukhari mendapatkan penjelasan tentang mimpinya. “Engkau sedang menjauhkan fitnah daripada baginda (Rasulullah),” ujar ahli ta’bir itu. Maka perjalanan Bukhari pun, sekali lagi dimulai.

Pedihnya Perjalanan
Untuk memenuhi keperluan hidupnya, Bukhari biasa menanam saham secara mudharabah di kota-kota yang disinggahinya. Lalu dari hasil dagang, keuntungan yang didapatkan dibahagi dengan adil untuk membiayai keperluannya.

Tapi tidak jarang, Bukhari mengalami kesulitan ekonomi dalam perjalanannya. “Suatu ketika, aku mendapat keuntungan sebesar 500 dirham sebulan. Lalu aku menggunakannya demi menuntut ilmu. Apa yang di sisi Allah, jauh lebih baik dan jauh lebih kekal. Suatu ketika yang lain pula, dana itu terlambat datang kepadaku sehingga aku terpaksa makan rerumputan selama beberapa hari. Sampai pada hari ketiga, datang seorang laki-laki yang tidak kukenal dan memberiku sebuah kantung wang berisi beberapa dinar,” tuturnya.

Pernahkah kita melakukan perjalanan sehingga mengharuskan kita memakan rumput kerana kehabisan bekal? Tentu tidak pernah. Bahkan perjalanan para ulama hari ini, jauh lebih nyaman dan jauh lebih ringan.

Tidak hanya bergelut dengan kekurangan dalam perjalanannya, Bukhari juga berperang melawan dirinya sendiri. Dilawannya rasa mengantuk, malas,lapar dan dahaga. Dilawannya rasa lelah.

Dalam semalam, Bukhari bangun dari tidurnya dan menyalakan lampu untuk kemudian menuliskan hadis berulang-ulang sampai 20 kali. Ketika hendak meletakkan kepala, dia teringat hadis dalam lintasan fikirannya. Lalu ia bangun dan memulai ritualnya, sampai menyalakan pelita dan menuliskan hadis yang diingatnya.

Salah seorang teman, sekaligus muridnya pernah menuturkan kisah Bukhari. “Aku pernah bermalam di rumah Muhammad bin Ismail (Bukhari), lalu aku menghitung ia bangun dan menyalakan lampunya dan mngingat-ingat sesuatu sampai 18 kali dalam semalam.”
Pemuda Dari Kota Bukhara

Kota Bukhara adalah sebuah daerah yang kini termasuk wilayah barat Uzbekistan, Asia Selatan. Bukhara adalah kota paling terkenal di wilayah seberang sungai Turkistan. Dulu, kota ini dikuasai oleh bangsa Cina sampai pada masa Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Dinasti Umawiyah. Sejak itu, Bukhara dikenal sebagai kota yang menghasilkan ulama dan sasterawan yang melakukan pengembaraan ke kota-kota yang jauh. Lewat merekalah nama Bukhara menjadi terkenal dan harum.

Nama kota ini diambil dari kata bukhar yang memiliki erti kata ilmu yang banyak. Salah satu sebab yang menjadikan kota ini memiliki erti demikian adalah ulama-ulama besar yang dihasilkannya.

Salah seorang penduduk kota ini bernama Ismail bin Ibrahim al Ju’fi, yang pernah berguru kepada Imam Malik. Suatu ketika dalam perjalanannya menunaikan ibadah solat Jumaat, ia teringat akan isterinya yang ketika ditinggalkan dalam keadaan hampir melahirkan. Lalu ia berdoa dan memohon kepada Allah agar senantiasa melindungi dan menjaganya di samping menganugerahkannya keturunan yang baik dan mulia.

Sesampainya di rumah, Ismail bin Ibrahim al-Ju’fi mendapati isterinya telah melahirkan soerang anak lelaki. Ulama yang juga dikenal sebagai ahli hadis terpercaya ini lantas mengucapkan tahmid dan takbir. Kecintaannya kepada Rasulullah menyebabkan dia memberi nama bayi laki-laki itu dengan nama Muhammad, dengan doa agar anaknya meneladani pemilik risalah mulia.

Tapi Ismail bin Ibrahim al-Ju’fi tak lama mengawal dan mendidik anaknya. Oleh sebab itu, tanggungjawab pendidikan anaknya, Ibnu Muhammad bin Ismail (Bukhari kecil) diserahkan kepada isterinya. Sejak kecil, si ibu mengirim anaknya ke tempat blejar menghafal al-Quran dan hadis Rasulullah s.a.w. Namun, dalam proses belajarnya Bukhari kecil mengalami penyakit rabun. Ibu dan kakak-kakaknya dirundung kesedihan yang sangat dalam. Mereka menangis dan berdoa, tak henti mengharapkan kesembuhan Bukhari. Sampai suatu malam, sang ibu bermimpi bertemu dengan Nabi Ibrahim yang berkata, “Hai kamu, Allah telah mengembalikan penglihatan anakmu kerana banyaknya tangis dan doamu.”

Rasa syukur yang sempurna ditunjukkan oleh keluarga ini kepada Allah Azza Wajalla. Pada usianya yang ke 15 tahun, Bukhari telah mampu menghafal 70,000 hadis Rasulullah. Sehingga gurunya sendiri memberikan kepercayaan kepadanya untuk menyeleksi seluruh kitab yang dimilikinya. “Jika kau temukan di antara kitab-kitabku ada yang salah, maka buanglah,” kata gurunya.

Pada usia 16 tahun, bersama ibunda tercinta, Bukhari meninggalkan Kota Bukhara menuju Kota Suci Makkah. Setelah menunaikan ibadah haji, Bukhari tidak langsung pulang, tapi sebaliknya pergi menimba ilmu dari para ulama yang ada di Masjidil Haram. Setelah mengumpulkan cukup banyak hadis dan bermukim cukup lama di Masjidil Haram, Bukhari meneruskan perjalanan menuju Syam. Setelah Syam, Bukhari menetap di Madinah dan menuliskan kitabnya Qadhaya ash Shahabah wat Tabi’in wa Aqwalihim.

“Saya menyusun kitab ini di antara makam dan mimbar Nabi, ar-Raudhah. Aku menulisnya di malam hari ketika bulan bersinar terang. Aku mengetahui hampir setiap nama yang ada dalam sejarah. Hanya aku tidak ingin kitab ini terlalu panjang,” ungkapnya. Dalam kitab tarikhnya, Imam Bukhari setidaknya menuliskan 40,000 nama sekaligus dengan kisah hidupnya.

Selepas Madinah, kota Basrah menjadi tujuannya. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, di kota ini Imam Bukhari menjadi sangat terkenal dan menjadi acuan ilmu pengetahuan, terutama tentang hadis. “Aku menghafal 100,000 hadis sahih dan 200,000 hadis yang tidak sahih,” terangnya.
Imam Bukhari memiliki tiga sifat menonjol yang menjadi ciri khasnya. Pertama, ia sangat sedikit bicara. Kedua, ia tidak mengharapkan sesuatu dari orang lain. Ketiga, ia tidak menyibukkan diri dengan urusan orang lain.

Imam Bukhari pernah tinggal di sebuah kota bernama Far-Far dan pernah menetap di kota Khawarizm. Ia mendatangi setiap kota yang pernah didengarnya menyimpan ahli hadis untuk dipelajari. “Aku telah bertemu dengan 1000 ulama dari Hijaz, Makkah, Madinah, Kuffah, Basrah, Wasith, Baghdad, Syam hingga Mesir. Aku bertemu dengan mereka berkali-kali masa ke masa. Aku mendapati hidup mereka lebih dari 46 tahun. Aku bertemu dengan penduduk Syam, Mesir, dan Jazirah sebanyak empat kali dalam beberapa tahun. Aku di Hijaz selama enam tahun. Dan aku tidak dapat menghitung berapa kali aku mengunjungi Kufah dan Baghdad,” tuturnya.

Kitab Sahih Bukhari tulisan Imam Bukhari adalah sebuah kitab agung yang sangat dihargai dalam Islam setelah al-Quran. “Jika ada orang yang bersusah payah datang untuk menelaahnya dari jarak seribu farsakh pun, maka tidaklah sia-sia kedatangannya,” kata Zahabi.

Kitab Sahih Bukhari telah disorot , disyarahkan, diterjemahkan dan diringkas oleh banyak penulis dalam sejarah. Syarah Sahih Bukhari saja mencapai 80 versi seperti yang ditegaskan oleh penulis kitab Kasyfuz Zunun. Di antara empat syarah hadis Bukhari yang terkenal ialah syarah Imam Badruddin al-Zarkasyi yang dipanggil al-Tanqih, Syaikh al- Islam bin Hajar (wafat pada 852 H) dengan syarah bernama Fathul Bari dan ini adalah yang paling masyhur. Syarah al-Allamah al-Aini al-Hanafi (meninggal pada tahun 855H) bernama Ummadatul Qari dan syarah al-Jalal as-Sayuthi (meninggal pada tahun 911H) yang dikenal dengan al-Tausyih.

Betapa pun jauhnya Bukhari merantau, tetapi di hujung usianya dia memutuskan untuk beristirahat di kampung halamannya, di Bukhara. Pada usia yang ke 57 tahun, Imam Bukhari memutuskan untuk kembali ke tempatnya dilahirkan. Berita kembalinya Bukhari didengar oleh banyak orang. Ketika ia sampai kota Najsabur, Imam Bukhari disambut oleh 4000 orang yang menunggang keldai dan mereka yang berjalan kaki. Seorang sultan pun belum pernah mendapatkan sambutan sedemikian rupa.

Di tanah kelahirannya ini ia berhadapan dengan fitnah yang luar biasa. Dia digugat oleh ulama lain yang merasa iri hati. Imam Bukhari dituduh dengan tuduhan keji. Dia disebut telah menganggap al-Quran sebagai salah satu makhluk Allah. Bukan hanya ulama, malah walikota dan penguasa juga menaburkan fitnah yang sama.

Imam Bukhari akhirnya meninggalkan Bukhara, menuju Khartank yang dekat dengan Samarkand dengan menanggung kesedihan dalam hati. Imam Bukhari meninggal ketika berusia 62 tahun kurang 13 hari. Tepat di malam takbir menjelang Idul Fitri tahun 256 Hijriah. Sepeninggalannya, semua orang yang pernah memfitnahnya mendapat balasan dan kehinaan dari Allah s.w.t.

Catatan : Faridah Fariz

Translate »