Hijrah Habasya

Pada bulan Rejab, tahun ke lima dari masa kenabian, sekelompok sahabat sepakat melakukan perjalanan jauh. Seramai 12 orang sahabat lelaki dan empat sahabat wanita, pergi ke Habasya yang kini bernama Ethiopia untuk menyelamatkan akidah. Utsman bin Affan, diamanahkan sebagai pemimpin perjalanan. Ruqayyah binti Muhammad, salah seorang puteri Rasulullah turut sama dalam perjalanan.

Bahang di kota Makkah amat terasa bagi orang-orang yang mempertahankan akidah. Siksa dan cerca menjadi perkara yang biasa diterima. Maka ketika Allah menurunkan wahyu-Nya, “Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [QS az-Zumar : 10]

Wahyu tentang bumi Allah yang luas adalah isyarat. Satu isyarat untuk mencari negeri yang lebih baik, demi perjuangan panjang menyelamatkan akidah Islam. Rasulullah mengisyaratkan, di negeri nun jauh, di seberang lautan, hidup seorang raja yang adil. Tidak teraniaya orang di sampingnya Tidak terzalimi orang yang di negerinya. Namanya Ashamah an Najasyi.

Ketika rombongan Utsman bin Affan bertolak dari Makkah dan menuju pelabuhan Syaibah. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Mereka berdua adalah penduduk Baitul Haram pertama yang berhijrah di jalan Allah setelah Ibrahim dan Luth.”

Rombongan ini dikejar oleh kalangan kafir Quraisy. Namun terlambat, sauh telah diangkat, layar telah terkembang. Rombongan pengembara hijrah pertama telah mengharungi samudera untuk menyelamatkan akidah.

Untuk sekian lama, rombongan ini hidup dengan tenang di tanah seberang.

Sampai tersiar kisah tentang orang-orang Quraisy bersujud ketika dibacakan wahyu Allah. Satu hari di bulan Ramadhan, kaum Quraisy sedang berkumpul di sekitar Ka’abah lalu datang Rasulullah membacakan wahyu Allah. Tiba-tiba, seluruh kaum Quraisy yang mendengar, sujud tersungkur setelah ayat selesai dibacakan.

Kafilah-kafilah hijrah terus menyusul keluar dari Makkah. Salah satu di antaranya adalah rombongan Ja’far bin Abi Thalib. Di dalam rombongan ini, tersebut pula seorang sahabat bernama Hathib bersama keluarganya. Anaknya menuturkan kisah tentang sang ayah. “Maka berangkatlah Hathib dan Ja’far bin Abi Thalib ke Habasya dengan perahunya. Aku, dilahirkan di atas perahu itu,” ujar Muhammad bin Hathib.

Kaum muslimin yang berada di Habasya mendengar kisah ini sebagai kisah bagaimana kaum Quraisy menerima hidayah. Beberapa rombongan mencuba kembali ke Makkah. Namun setiba di tanah kelahiran, ternyata kisah yang didengar sama sekali tidak sama dengan apa yang terjadi sebenarnya. Mereka yang kembali ditangkap dan diseksa, sehingga ada yang memilih untuk melakukan perjalanan ke Habasya, berhijrah untuk kedua kalinya.

Disebabkan tekanan yang dialami kaum muslimin yang semakin meningkat di Makkah pasca peristiwa ini, mereka membuat rombongan demi rombongan keluar secara rahsia menuju Habasya. Berbagai usaha dilakukan oleh pemimpin Quraisy untuk menghalang mereka. Salah satunya, mengirimkan delegasi menemui Raja Najasyi dan menyebarkan fitnah terhadap kaum muslimin.

Mereka menggunakan sentimen agama. Kaum muslimin disebut sebagai kumpulan orang-orang yang mengingkari Isa dan memecah belah kaum Nasrani. Keterangan disampaikan bersama dengan membawa ufti. Mujurlah Raja Najasyi tidak menerima mentah-mentah semua keterangan yang dibawa.

Salah seorang sahabat pengembara di negeri Najasyi adalah Ja’far bin Abi Thalib. Ja’far dipanggil menghadap untuk memberi keterangan, apakah benar?

“Dulu kami adalah pemeluk agama jahiliyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, berbuat hina dan memutuskan tali silaturrahim. Sehingga Allah mengutus seorang rasul dari kalangan kami sendiri. Beliau menyeru kepada kami untuk hanya menyembah Allah,” terang Ja’far di depan Raja Najasyi.

“Apakah engkau boleh membacakan sedikit dari ajaran yang ia bawa?” pinta Najasyi.

Lalu Ja’far bin Abi Thalib membaca permulaan surah Maryam. Raja Najasyi menangis tersedu, air mata membasahi janggutnya.

Amr bin Ash, yang kala itu masih bersekutu dengan kaum Quraisy dan masih ingkar pada risalah, mendengus marah. Tapi Raja Najasyi telah memutuskan titahnya. “Wahai kaum Muslim, pergilah, sesungguhnya kalian aman di negeriku,” ujar Najasyi memberikan jaminan.

Sejak itu, kaum muslimin hidup tenang di negeri hijrah Habasya. Raja Najasyi tak pernah redha menyerahkan mereka, meski ditukar dengan sebuah gunung dari emas. Mereka di Habasya sehingga sampai khabar hijrah ke Madinah tersiar dan menyebar.

Hijrah Madinah.

Permulaan hijrah Madinah diawali dengan kisah perjalanan Mushab bin Umair yang diutus Rasulullah untuk menindaklanjuti dakwah di kota tersebut. Sebelumnya, 12 orang dari kota Yathrib datang dan berikrar meyakini Allah dan Rasul-Nya dalam perjanjian Aqabah.

Mushab bin Umair dikirim ke Yathrib untuk mengajarkan nilai-nilai dan tuntutan Islam. Mushab bin Umair adalah seorang pemuda terkenal di kalangan penduduk Makkah. Datang dari keluarga kaya, tak pernah terlihat cela dalam penampilannya. Baju selalu paling indah dan tubuh selalu semerbak harumnya.

Namun ketika keluarganya mengetahui tentang agama baru yang dipeluknya, keluarganya memperlakukannya dengan sangat keras dan biadab. Mushab bin Umair dikurung, diseksa, diasapi di atas api pernah dirasakannya. Kulitnya yang indah, berubah menjadi rosak dan bersisik kerana diseksa. Sampai kemudian Mushab bin Umair turut dalam rombongan hijrah pertama ke negeri Habasya. Lalu Mushab pulang kembali ke Makkah, dan dalam tempoh inilah beliau mendpat tugas teramat penting ke Yathrib yang kelak berganti nama menjadi Madinah.

Di Yathrib, Mushab bin Umair mendatangi satu suku ke suku lain.

Menjelaskan Islam tak kenal lelah. Kadang mendapat sambutan, tapi tak kurang juga yang menentang dan berkelahi. Mushab bin Umair menetap di rumah seorang yang bernama As’ad bin Zurarah. Rumah ini pula yang menjadi markasnya melakukan penyebaran risalah.

Hasilnya, sebelum tiba musim haji di tahun ketiga belas masa nubuwah, tidak satu pun perkampungan di kota Yathrib yang tidak memeluk Islam. Laki-laki dan perempuan menerima hidayah Allah melalui pengembaraan dakwah Mushab bin Umair.

Lalu khabar gembira itu pun dikirimkan ke Makkah. Kaum Anshar telah kuat dan siap memberikan perlindungan kepada saudara mereka yang ada di Makkah. Mushab bin Umair datang sendiri ke Makkah dan menyampaikan berita ini kepada Rasulullah s.a.w. Kaum Anshar telah bertekad dalam hati, “Sampai bila kita membiarkan Rasulullah s.a.w. berkeliling, diusir dan dilanda ketakutan di gunung-gunung Makkah?”

Pertama kali yang tercatat melakukan hijrah ke Yathrib adalah Abu Salamah dan keluarganya. Keluarga isterinya tidak rela, perebutan pun berlangsung dengan sengitnya. Maka Abu Salamah berangkat melakukan perjalanan hijrah tanpa isterinya. Sang isteri yang ditinggal suami dan anaknya, menangis tersedu di tengah padang pasir. Setiap petang ia selalu lari ke padang pasir dan menangis semahu-mahunya. Sampai keluarganya merasa hiba dan akhirnya membebaskan Ummu Salamah.

Setelah perjalanan Abu Salamah dan Ummu Salamah, beberapa rombongan berangkat menyusul. Sampai kemudian berangkatlah Rasulullah s.a.w. bersama Abu Bakar untuk melengkapi usaha membangun peradaban baru yang lebih mulia.

Menyebar Risalah

Sebuah catatan sejarah dalam kehidupan Rasulullah dan para sahabat memberikan teladan yang sangat menarik dan seringkali bertolak belakang dengan persepsi manusia pada umumnya. Dalam sejarah Islam, para sahabat adalah orang-orang yang sangat mencintai Rasulullah. Bahkan, ketika mereka mendapat dera derita dari kaum kuffar, mereka lebih rela menghadapi derita daripada mendapati Rasulullah terluka kerana duri.

Pada umumnya, manusia yang mencintai manusia maka mereka biasanya tidak hendak pergi jauh dari yang dicintainya. Mereka akan terpaku, tidak ke mana-mana dan menjadi bayangan dari orang yang dicintainya. Namun tidak demikian dengan para sahabat nabi. Para sahabat nabi adalah orang-orang yang sangat mencintai Rasulullah, namun jika kita menggali kisah dan akhir hidup mereka, banyak dari para sahabat yang justeru meninggal di luar kota Madinah, bahkan jauh dari Jazirah Arabia.

Para sahabat mencintai Rasulullah dengan cara menyebarkan risalah.

Mereka menginginkan lebh ramai manusia yang juga turut mencintai dan mendapat keberkahan dengan mencintai Rasulullah. Itulah tanda dan bukti kecintaan para sahabat pada Rasulullah.

Amr bin Ash misalnya, makamnya boleh ditemui di tengah kota Istanbul, Turki. Menyeberang lautan dan berpindah benua. Demi satu tujuan, menyebarkan risalah kepada seluruh umat manusia. Abu Ayyub al-Anshari, nama lain dari sahabat Khalid bin Zaid, juga meninggal di Istanbul. Hingga kini makamnya masih ramai dikunjungi kaum muslimin dari seluruh dunia, terutama dari pelusuk Turki. Sa’ad bin Abi Waqqash, makamnya di sudut wilayah Cina.

Ada juga tokoh seperti Abu Dzar al-Ghifari, yang memiliki pekerjaan tetap sebagai pengembara. Bukan sembarang pengembara, tapi pengembara yang selalu membawa peringatan bagi yang lupa. Sepeninggalan Rasulullah s.a.w., di bawah khalifah-khalifah yang meneruskan kekuasaan, Islam berkembang sangat pesat dan mengelola wilayah yang sangat besar. Gabenor-gabenor diutus dan disebar. Maka tugas Abu Dzar adalah, mengingatkan para penguasa agar tidak berlebihan. Teguh pada hidup zuhud dan rendah hati. Melayani dengan adil dan penuh kepatuhan. Abu Dzar menjadi semacam suara nurani yang bergaung dari satu wilayah ke wilayah lain yang berada dalam kekuasaan Islam.

Melalui para sahabat nabi, baik lewat ekspedisi pasukan dalam jumlah besar mahupun lewat perjalanan dakwah, Islam berkembang dan sampai ke negeri-negeri jauh. Pengembaraan para sahabat inilah yang menghantarkan manusia-manusia di belahan Timur Jauh mengenal dan mengerti tentang Islam.

Melalui para sahabat nabi, baik lewat ekspedisi pasukan dalam jumlah besar mahupun lewat perjalanan dakwah, Islam berkembang dan sampai ke negeri-negeri jauh. Pengembaraan para sahabat inilah yang menghantarkan manusia-mansuia di belahan Timur Jauh mengenal dan mengerti tentang Islam.

Sumber-sumber literature Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke 7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk tempatan dan membentuk komuniti-komuniti Muslim.

Dalam buku sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan Cina pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijrah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin.

Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahawa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Ertinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepimpinan Utsman bin Affan.

Selain itu Buya Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 Masehi duta dari orang-orang Ta Shih (Arab) untuk Cina yang tidak lain adalah sahabat Rasulullah sendiri Muawiyah bin Abu Sufyan. Bahkan perjalanan mereka diteruskan sampai ke Pulau Jawa. Muawiyah yang juga pendiri Daulat Umayyah ini melakukan observasi di tanah Jawa. Ekspedisi ini mendatangi Kearjaan Kalingga dan melakukan pengamatan.

Tradisi pengembaraan dalam Islam terus berlangsung dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke wilayah Nusantara. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke 7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.

Tanpa pengembara-pengembara agung dalam sejarah Islam, tentu sejarah akan berjalan lain dan mungkin tidak seperti hari ini. Hutang kaum muslimin kepada para pengembara dan penjelajah dalam dunia Islam demikian besar, tak ada cara yang boleh dilakukan untuk membalasnya. Satu-satunya cara, itu pun tak akan pernah membayar jasa, adalah meneruskan dakwah yang telah dimulakan oleh para pendahulu darn penghulu dakwah. Semoga Allah senantiasa melimpahkan keberkahan dari seluruh usaha yang mereka kerjakan dan wariskan.

Catatan : Othman Zakaria

Translate »