Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup di tengah alam, dan masyarakat sesamanya, kemudian menjadi individu (Yusuf, 2011:27).

Kalimat di atas mengindikasikan bahwa ada sifat individualitas daripada manusia, ketika dilahirkan sebagai individu, melebur dengan suatu kesatuan (masyarakat), kemudian setelah meninggal maka ia akan kembali menjadi individu. Sifat keindividualitasnya inilah yang berimplikasi terhadap pertanggungjawabannya di kehidupan berikutnya.

Terdapat dua jenis kehidupan, iaitu : kehidupan sekarang (di dunia) dan kehidupan kelak (di akhirat). Dalam aspek kehidupan yang pertama, manusia melakukan amal perbuatan dengan baik dan buruk yang harus dipikul secara individual dan komunal sekaligus, sedangkan dalam aspek kehidupan yang kedua manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan, melainkan hanya menerima akibat baik dan buruk dari amalnya di dunia secara individual (Yusuf,2011:27).

Dr. Fachrudin Faiz dalam webinar  yang diselenggarakan oleh Media Koentji dengan tema “Takdir dan Karakter Manusia” menyampaikan bahwa ada lima hakekat manusia :

  1. Makhluk (yang diciptakan);
  2. Mukarram (dimuliakan);
  3. Mukallaf (dibebani);
  4. Mukhayyar (bisa memilih); dan
  5. Majzi (mendapat balasan).

Dari ke-lima hakikat manusia tersebut yang merupakan Sunnatullah (Qada) hanyalah mukhayyar (bisa memilih) atau kita kenal dengan kehendak bebas, sehingga hal inilah yang membuat manusia dapat memilih untuk melakukan hal baik ataupun buruk dan akan dimintakan pertanggungjawaban.

Terlepas dari pada Sunnatullah semuanya merupakan Qaddarullah (Qadar), sebagaimana kita ketahui dalam membicarakan takdir, maka harus dibedakan antara Qada dan Qadar. Qada (Sunnatullah) adalah jenis takdir yang masih bisa untuk dirubah, sehingga kita dianjurkan untuk sabar dan ikhtiar, sedangkan Qadar (Qaddarullah) adalah jenis takdir yang tidak bisa dirubah, sehingga kita dianjurkan untuk berdoa dan tawakkal, walaupun dalam kalangan ulama masih terdapat perdebatan antara kedua hal ini (Dr. Fachrudin Faiz dalam Webinar “Takdir dan Karakter Manusia”, 2021).

Memahami konsep takdir sebagai sebuah skenario Tuhan yang telah ditetapkan oleh Tuhan meniscayakan ketiadaan keadilan Tuhan dan konsep pertanggungjawaban (Yusuf, 2011:59). Olehnya itu kita sebagai manusia dianjurkan untuk terus berikhtiar.

Manusia

Dalam Al-Quran terdapat 3 (tiga) kata yang biasa diartikan sebagai manusia, iaitu :

  1. Al-Basyar

Kata Basyar merujuk pengertian manusia secara materi dalam kapasitasnya sebagai mahkluk jasmaniyah, yang secara fisik memiliki persamaan dengan makhluk lainnya, iaitu: dapat dibuktikan dengan empirik, membutuhkan makan dan minum, dll.

  1. An-Nas

An-Nas dalam konteks ini dipandang dari aspeknya sebagai makhluk sosial (Al-Hujarat: 13). Al-Quran menjelaskan bahwa penciptaan manusia bertujuan untuk bergaul dan berhubungan antara sesamanya, saling membantu, saling menasehati agar berpegang pada kebenaran.

  1. Al-Insan

Kata Al-Insan lebih mengacu kepada peningkatan derajat yang karenanya manusia diberi potensi berupa akal dan nurani demi mengemban beban tanggungjawab dan amanat sebagai kholifah fil’ardh. Hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya (Muslimin, Jurnal Tribakti, 2, September 2016, 229-233).

Namun dalam kesempatan ini penulis hanya akan membahas manusia dalam konteks An-Nas, iaitu manusia sebagai makhluk sosial.

Kata “Makhluk Sosial” pertama kali tersimpul dalam penyampaian Plato dalam konsepsinya tentang asal-mula negara : “Manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya secara mandiri, oleh  itu ia membutuhkan bantuan orang lain, sehingga ia melakukan hubungan dan interaksi dengan orang lain, pola ini terus terjadi hingga timbulnya negara“.

Kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles “Zoon Politicon” demikian istilah yang dipakai Aristoteles yang dalam dunia modern diterjemahkan menjadi “Makhluk Sosial”.

Dari penjelasan di atas maka bisa dikatakan bahwa Manusia merupakan Makhluk Sosial yang hidup berkelompok saling membutuhkan satu sama lain. Sebagai makhluk sosial dan hidup berkelompok dalam kehidupan sehari-hari, tentu tidak luput dari namanya interaksi atau komunikasi (Eti Nur Inah, Jurnal Al-Ta’dib, 1, Januari-Juni 2013, 177).

Karakter Manusia

Proses interaksi atau komunikasi sebagaimana dijelaskan di atas itulah yang mempengaruhi tindakan (action) manusia, tindakan manusia mempengaruhi kebiasaan (habit),  kebiasaan akan mempengaruhi sikap (attitude), dan sikap akan mempengaruhi karakter (character) demikianlah seterusnya.

Dalam hal ini bisa kita lihat menggunakan Teori Behaviorismenya John Watson yang menganggap manusia dipengaruhi oleh lingkungan, tidak ada sifat bawaan dari lahir dan perilaku adalah hasil dari pengalaman (Rakhmat, 1985:26-27).

Walaupun terdapat batasan-batasan sebagaimana disampaikan oleh Reckless dalam teori Pembatasan, bahwa ada batasan internal dan batasan eksternal.  Batasan internal berhubungan dengan sifat orang tersebut seperti sabar, kuat, dan lain-lain, sedangkan batasan eksternal berhubungan dengan motivasi atau dorongan dari orang-orang sekitarnya. Hal inilah yang akan membantu manusia untuk menepis segala sesuatu yang akan berdampak buruk bagi dirinya sendiri sebagai dalam teori Assosiasi Differential-nya Sutherland.

Sangatlah penting untuk menjauhi hal-hal yang sifatnya buruk karena kalau sampai manusia terpengaruh lantas kemudian bertindak, dan tindakannya bertahan lama sehingga menjadi kebiasaan, maka hal ini dapat berpotensi untuk menjadi karaktekrnya. Ketika hal tersebut telah membentuk karakternya maka bisa dipastikan takdir dia pun akan buruk, seperti dikatakan oleh Heraklitos “Ethos Anthropoi daimon” atau karakter seseorang adalah takdirnya.

Maksudnya adalah jika karaktermu baik maka kebaikanlah yang akan kau dapatkan, sebaliknya jika karaktermu buruk maka keburukannlah yang akan kau dapatkan. Walaupun disisi lain Allah SWT telah menentukan maqam dari pada setiap manusia.

Seperti disampaikan oleh Facrudin Faiz : Al-kisah ada seorang sufi yang hidup di zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid, suatu ketika Harun Ar-Rasyid dinasehati oleh sufi tersebut “wahai Khalifah manusia itu punya maqam-nya sendiri-sendiri. Kita sulit mengubah kalau maqam ini sudah ditentukan oleh Allah SWT.

Harun Ar-Rasyid pun merasa ragu dan ingin mencoba mengubah maqam orang miskin menjadi kaya raya. Lalu dipanggillah orang miskin itu ke istana dan ketika mahu pulang, Harun Ar-Rasyid memberikannya semangka yang di dalamnya telah ditaruh emas yang banyak di dalamnya.

Dalam perjalanan pulang dia merasa kecewa karena niatnya pergi adalah mendapatkan uang, maka ketika dia melewati pasar semangka tadi pun di jual olehnya.

Seminggu kemudian Harun Ar-Rasyid datang untuk menemui si orang miskin tersebut, “orang ini pasti sudah kaya raya” pikir Harun Ar-Rasyid. Tetapi ketika sampai keadaan orang miskin tersebut masih tetap sama. “Setiap orang ada maqamnya sendiri-sendiri” demikianlah kata seorang sufi kepada Harun Ar-Rasyid.

Dari kisah tersebut pelajaran yang bisa kita ambil adalah bahwa walaupun kita sudah berusaha untuk mengubah orang lain, tetapi dia sendiri tidak mahu berusaha untuk merubah dirinya maka hal yang kita lakukan hanyalah suatu kesia-siaan belaka.

Daftar Pustaka :

  1. Yusuf, Danial Iskandar. (2011). NDP HMI, NDP Cak Nur, NDP Arianto, NDP Andito, Bogor, HMI Cabang Bogor.
  2. Rakhmat, Jalaludin. (2018). Psikologi Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
  3. Plato. (2015). Republik. Jakarta: Pustaka Narasi.
  4. Hagan, E. Frank (2013). Pengantar Kriminologi : Teori, Metode, dan Perilaku Kriminal. Jakarta: Jakarta Kencana.
  5. Muslimin.(2016). Manusia dan Karakteristiknya Menurut Al-Quran (Kajian Tafsir Tarbawi). Jurnal Tribakti, 27(2), 227-247.
  6. Inah,E,N. (2013). Peranan Komunikasi Dalam Pendidikan. Jurnal Al-Ta’dib, 6(1), 176-188.
  7. Media Koentji. “Takdir dan Karakter Manusia” Youtube Video, 1.32.20. April 12, 2021.https://youtu.be/vsdA2h7UGqk

Dipetik dari Alwi Reniwuryaanhttps://www.qureta.com/next/post/takdir-manusia-dan-karakter

 

 

Translate »