Dalam berbagai acara seminar, kajian, dan diskusi tentang Pendidikan Islam, saya sering mendapat pertanyaan tentang kondisi Perguruan Tinggi Islam dan studi Islam. Mengapa banyak yang belajar Islam, tetapi akhirnya menyerang Islam dan umat Islam?.

Intinya, banyak yang belajar Islam, tetapi tidak mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Yakni, ilmu yang semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT; ilmu yang diamalkan dan diajarkan kepada orang lain. Lebih bahaya lagi, jika ilmunya mudharat; ilmu yang merusak diri dan masyarakat.

Sebenarnya, kondisi studi Islam seperti ini sudah diingatkan bahayanya oleh Prof. HM Rasjidi, 45 tahun lalu. Tepatnya, tanggal 3 Disember 1975, Prof. HM Rasjidi – tokoh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia dan Menteri Agama RI pertama — menulis laporan rahsia kepada Menteri Agama dan beberapa pejabat di Departemen Agama.

Prof. Rasjidi menulis secara rinci bahaya buku yang dijadikan sebagai buku wajib di Perguruan Tinggi Islam. Karena kritik internalnya tidak ditanggapi, maka 1977, Prof. Rasjidi menerbitkan kritiknya secara terbuka dalam sebuah buku.

Setelah 45 tahun berlalu, peringatan dan nasihat Prof. Rasjidi tersebut perlu kita telaah kembali. Aspek pendidikan memang memerlukan waktu panjang untuk menciptakan perubahan. Tetapi, jika perubahan sudah terjadi, ibarat penyakit, maka bersifat kronis, dan tidak mudah untuk menyembuhkannya.

Boleh jadi, penyakit itu sudah dianggap sebagai bahagian dari kehidupan seseorang. Metode orientalis dalam studi Islam yang ‘destruktif terhadap Islam’ boleh jadi sudah dianggap sebagai kebenaran. Dalam al-Quran diceritakan orang-orang yang merasa berbuat baik, padahal amalnya sesat, adalah orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya di dunia. (QS: 18 :103-104).

Agama-agama

Salah satu model kajian orientalis terhadap agama-agama adalah menempatkan semua agama pada posisi dan fenomena yang sama. Misalnya, digambarkan proses perkembangan teologi sebagai hasil evolusi, dari dinamisme, animisme, politeisme atau henoteisme, lalu monoteisme. Agama monoteis dikatakan sebagai agama tauhid.

Padahal, faktanya, sebagai agama tauhid, Islam bukanlah hasil evolusi pemikiran manusia. Sebab, agama tauhid berasal dari wahyu Allah, sehingga sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, konsep agama tauhid adalah tetap, dan tidak mengalami evolusi. Masyarakat Barat menempatkan agama sebagai bahagian dari budaya yang tumbuh di tengah masyarakat, sehingga selalu berkembang mengikuti proses budaya.

Menurut Prof. Rasjidi, dalam memahami agama-agama,  pengarang Barat menyimpan suatu perasaan bahwa semua agama itu pada dasarnya sama dan merupakan gejala sosial yang dapat ditemukan pada tiap-tiap kelompok manusia. Penganjur kelompok ini adalah sarjana Perancis yang bernama Emile Durkheim (1858-1917).

Prof. Rasjidi – yang menyelesaikan studi doktornya di Sorbonne Paris – mengimbau agar para mahasiswa Muslim diberi pemahaman,  bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ adalah agama yang terakhir yang mengoreksi agama-agama sebelumnya. Tentang bahaya faham penyamaan agama ditulis oleh Prof. Rasjidi dalam bukunya, Empat Kuliah Agama di Perguruan Tinggi.

Cara belajar agama yang menanamkan keraguan terhadap ajaran Islam dipandang Prof. Rasjidi, sebagai cara yang terselubung huraian ilmiah, tetapi sesungguhnya mengandung bahaya bagi generasi muda Islam yang ingin dipudarkan keimanannya.

Misalnya, ketika belajar tentang hadits Nabi, dikatakan, bahwa karena hadits tidak dihafal dan tidak dicatat dari sejak semula, maka tidaklah dapat diketahui dengan pasti mana hadits yang betul-betul berasal dari Nabi dan mana hadits yang dibuat-buat. Lalu dikatakan, bahwa tidak ada kesepakatan kata antara umat Islam tentang keoriginalan semua hadits dari Nabi.

Huraian semacam itu tidaklah benar. Sebab, hadits Nabi sejak awal sudah dicatat oleh para sahabat.  Prof. Musthafa Azhami, dalam disertasinya di Cambridge, berjudul “Studies in Early Hadith Literature” membuktikan proses pencatatan hadits, di samping proses hafalannya. Kesimpulan itu membantah pendapat orientalis terhadap autentiknya hadits Nabi, terutama pendapat Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht.

Pendapat dua orientalis tentang hadits itu juga sudah banyak dimentahkan oleh para orientalis sesudahnya. Nabia Abbot, misalnya, dalam bukunya, Studies in Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957), menegaskan bahwa hadits Nabi Muhammad ﷺ dapat ditelusuri keberadaannya hingga pada masa Nabi dan bukan merupakan buatan umat Islam setelah abad pertama Hijriah. (Kajian singkat dan cukup baik tentang masalah ini, misalnya,  bisa dilihat dalam buku Hadits di Mata Orientalis, karya Wahyudin Darmalaksana (2004).

Dalam kesimpulannya, penulis buku ini mencatat, bahwa upaya objektiviti dan purifikasi hadits dari Goldziher dan Schacht jelas didasari pada kedengkian dan lebih merupakan arogansi “self” nya Barat yang selalu ingin mendistorsikan realitas Islam sebagai “others”,  seperti yang diwacanakan orientalisme itu sendiri.

Memang, studi Islam model orientalis biasanya dimulai dengan keraguan dan berakhir dengan keraguan. Para orientalis biasanya mengkaji Islam bukan untuk mencari kebenaran dan mengimani kebenaran. Prof. Dr. Ali Husny al-Kharbuthly,  Guru Besar di ‘Ain Syams, menyebutkan, bahwa ada tiga tujuan orientalis dalam melakukan studi Islam, yaitu (1) Untuk penyebaran agama Kristen ke negeri-negeri Islam. (2) Untuk kepentingan penjajahan. (3) Untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata-mata. (al-Mustasyriquna wa al-Tarikhul Islam, dikutip dari Hamka, Studi Islam, 1985:12).

Tujuan terpenting mencari ilmu adalah meraih ilmu yang bermanfaat. Untuk meraihnya, perlu niat yang ikhlas dan adab yang benar. Tradisi para ulama senentiasa mendahulukan adab dalam mencari ilmu. Di antaranya, adalah adab dalam memilih guru. Pilih guru yang berilmu dan memiliki adab yang baik.

“Apa yang kami pelajari dari Imam Malik, lebih banyak belajar adab daripada belajar ilmunya (Maa ta’allamnaa Min Aadabi Maalikin, Aktsaru Mimmaa Ta’allamnaa Min ‘Ilmihi),” kata Abdullah bin Wahab, salah satu murid Imam Malik.

Tujuan utama mencari ilmu bukan untuk ilmu itu sendiri. Tetapi, untuk diyakini dan untuk diamalkan, agar kita menjadi orang baik. Kata Imam al-Ghazali: “al-Ilmu bi-laa ‘amalin junuunun, wal ‘amalu bi-laa ‘ilmin lam yakun.” (Ilmu tidak diamalkan, itu gila. Amal tanpa ilmu, tidak ada nilainya!” (Depok, 26 Januari 2021).*

Sumber: Dr. Adian Husaini, Hidayatullah.com., 30 Januari 2021

 

Translate »