Kesultanan Banten merupakan kerajaan Islam terbesar di Jawa Barat. Kesultanan itu didirikan (1524) oleh Sunan Gunung Jati setelah beliau menguasai Banten yang asalnya merupakan wilayah kerajaan Hindu Pakuan Pajajaran.

Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati, memerintah Banten selama 18 tahun (1552-1570). Di bawah pemerintahannya, Banten berkembang menjadi kerajaan besar sekali gus pusat penyebaran Islam yang penting.

Kekuasaannya meluas sampai ke Lampung dan Sumatera Selatan. Setelah Maulana Hasanuddin mangkat, beliau digantikan puteranya, Maulana Yusuf. Kemudian Maulana Yusuf pun digantikan puteranya, Maulana Muhammad.

Oleh sebab Maulana Muhammad masih kecil, maka urusan pemerintahan dilakukan oleh Pangeran Aria Jepara, adik Maulana Yusuf.

Kejayaan Banten mulai mengalami kemunduran setelah terjadi perang saudara (1682) dan campur tangan Belanda.

Sultan Ageng Tirtayasa

Di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683), Kesultanan Banten mencapai zaman keemasannya. Banyak orang Banten berniaga dengan para pedagang dari Britain, Denmark, China, Vietnam, India, Parsi, Filipina, dan Jepun. Termasuk juga Belanda, ‘musuh’ yang paling berani.

Angkatan laut Banten dianggap moden pada zaman itu kerana ’meniru’ ciri-ciri kapal Eropah. Angkatan tentera Banten pernah berperang melawan Belanda pada tahun 1619 dan 1633. Banten juga menjadi tempat berlindung bagi para pejuang dari daerah lain di Nusantara yang terlibat dalam perang melawan Belanda.

Perang saudara

Ketika pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, telah terjadi perang saudara antara Sultan Ageng Tirtayasa sendiri dengan puteranya, Sultan Haji. Melalui bantuan Belanda, Sultan Haji dapat mengalahkan ayahnya. Sejak itulah Belanda mulai campur tangan serta memiliki kekuasaan besar di Banten.

Kini kesan-kesan peninggalan Kesultanan Banten menjadi tempat warisan sejarah yang banyak dikunjungi orang / pelancong.

Masjid Agung Banten

Kebesaran Kesultanan Banten dapat dilihat daripada bangunan-bangunan yang didirikan oleh kesultanan itu. Masjid Agung Banten adalah salah satu contohnya. Masjid ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin dan memiliki keunikan pada struktur bangunannya.

Bangunan induknya berbentuk segi empat. Atapnya yang diperbuat daripada genting tanah liat berbentuk bujur sangkar yang berupa kubah atap tumpang bertingkat lima. Terdapat empat batang tiang di bahagian tengah yang menjadi tiang penyangga. Terdapat juga mimbar kuno / lama yang berukiran indah.

Di bahagian kiri serambi masjid yang terletak di sebelah utara, terdapat beberapa makam sultan Banten para kerabat, antara lain makam Maulana Hasanuddin dan isterinya, makam Sultan Ageng Tirtayasa, dan makam Sultan Haji. Sementara itu, di serambi sebelah kanan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad.

Pusat pendidikan Islam

Kesultanan Banten merupakan pusat pendidikan dan penyebaran Islam yang penting di Nusantara pada abad ke-15 hingga abad ke-16. Sultan Abdul Qadir dan puteranya, Sultan Ageng Tirtayasa, sangat menitikberatkan perkembangan agama Islam.

Kedua-duanya sering mengirimkan pertanyaan tentang agama kepada ulama terkemuka ketika itu, seperti Nuruddin ar-Raniri (m. 1658; ulama Gujerat di Aceh) dan Syekh Yusuf (m.1699; ulama dari Makassar). Para ulama tersebut kemudian menulis kitab-kitab khusus untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Istana / Keraton Kaibon

Para Sultan Banten tinggal di Keraton Kaibon yang terletak di Kampung Kroya. Keraton ini terletak tidak begitu jauh dari Keraton Surosowan. Namun, pada tahun 1832, keratin ini dibongkar oleh pemerintah Hindia Belanda.

Masjid Kasunyatan

Kegemilangan Kesultanan Banten pada masa lalu dapat dibuktikan daripada peninggalan sejarah kesultanan itu berbentuk masjid. Selain Masjid Agung Banten, terdapat juga sebuah masjid yang terkenal, iaitu Masjid Kasunyatan.

Dibandingkan Masjid Agung Banten, usia Masjid Kasunyatan lebih tua. Dahulunya seorang kiai yang bernama Kiai Dukuh yang bergelar Pangeran Kasunyatan menetap dan mengajar di masjid tersebut. Kiai Dukuh adalah guru kepada Maulana Yusuf, sultan Banten kedua.

Tiamah

Dahulu gedung Tiamah merupakan bangunan yang digunakan oleh para ulama dan umara Banten untuk berdiskusi mengenai soal-soal agama. Bangunan itu terletak di halaman bahagian selatan Masjid Agung Banten. Tiamah merupakan bangunan tambahan yang didirikan oleh Hendrik Lucasz Cardeel, seorang arkitek Belanda yang memeluk agama Islam. Beliau kemudiannya diberi gelaran Pangeran Wiraguna. Ketika ini gedung tersebut dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan khazanah kerajaan.

Tokong Cina

Tidak jauh dari Keraton Surosowan terdapat tokong Cina. Hal ini merupakan salah satu bukti adanya toleransi antara umat beragama di wilayah kekuasaan Kesultanan Banten yang beragama Islam.

Keraton Surosowan

Keraton ini dibina pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin. Dari keraton yang cukup besar ini, salah satu yang masih tersisa sekarang adalah tembok benteng tebal yang mengelilingi kawasan seluas 4 hektar dan berbentuk empat persegi panjang. Ketinggian tembok benteng ini adalah antara antara 0.5-2 meter, dengan kelebaran sekitar 5 meter.

Dahulu tembok ini dikelilingi parit pertahanan. Tembok benteng dan gerbangnya itu dibina oleh Maulana Yusuf. Selain itu, yang masih tersisa adalah bangunan bersiram (mandi), bekas kolam, dan taman.

Sultan Abdul Qadir

Pada tahun 1638, raja Banten Abdul Qadir (1626-1651) mendapat ‘perkenan’ gelaran Sultan daripada penguasa di Tanah Suci, Syarif Mekah. Gelaran lengkapnya ialah Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Qadir. Gelaran itu diterimanya menerusi utusan yang dihantar ke sana.

Sebagai tanda bahawa gelaran itu telah diterimanya, beliau menerima “bendera dan pakaian suci”. Sejak itulah beliau menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang bergelar Sultan. Pada setiap ulang tahun Maulid Nabi, ketika itu semua pemberian Syarif Mekah tersebut diarak keliling Banten.

Susunan Nur Hidayah Samsuddin

Translate »