Bagi kita, kehendak untuk percaya menjadi kebutuhan primer sebelum kita mengatakan ‘iya’ terhadap hidup. Instrumentasi dari totalitas kelayakan dalam hidup diukur dari sejuah mana kita memiliki keteguhan akan suatu pegangan. Kehendak untuk percaya lalu menjadi primadona bagi seluruh tatanan nilai yang kita perjuangkan.

Jika Positivisme membunuh Tuhan dengan seperangkat alat teknisnya, melalui tiga periode keberlanjutan historis yang mereka bayangkan (teologi, metafisika dan positivis), maka bagi Nietzsche, Positivisme justru terjebak dalam sebentuk kepercayaan-kepercayaan baru, sebuah pegangan yang ia sebut sebagai ‘sains’.

Ini menjadi bukti konkrit bahwa Positivisme tidak pernah bisa benar-benar meninggalkan Tuhan dalam kredo dan masyarakat abad pencerahan masih menjadi tahanan ‘kepercayaan’. Lalu bagaimana kaum Positivistik mengklaim bahwa mereka telah membunuh Tuhan dan meninggalkan metafisika di belakang mereka?

Memang, di kota ‘sains’, seluruh bentuk kepercayaan dan mitos harus ditinggalkan dengan meletakkan segala sesuatunya secara objektif, tanpa praduga, kecurigaan, interpretasi, atau muatan-muatan psikologis lainnya. Ini menunjukkan bahwa sains ingin terlepas dari seluruh beban subjektivitas dan segala nilai yang menyertainya.

Bagi Nietzsche, wilayah sains itu seperti kota atau kota berbenteng, tertutup, kokoh, dengan tembok penahan dan pasukan penjaga yang siap mencegah dan mengintrogasi siapa saja yang mencoba ingin dan sebelum masuk ke kota berbenteng itu. Apapun dan siapapun yang ingin masuk di kota sains, mereka akan segera bertemu dengan polisi kecurigaan, yang lalu meminta setiap orang untuk meninggalkan segala sesuatu yang bernama ‘keyakinan’.

Benar bahwa sains berpretensi menemukan segala sesuatu secara objektif, bebas nilai, dan demi bebas nilai itu, sains menuntut meninggalkan apa-apa yang berbau praduga subjektif atau psikologis, itu artinya para penjaga kota berbenteng bernama ‘sains’, tidak pernah mengijinkan setiap jenis keyakinan dan ideologi berkeliaran di kota sains. Inilah klaim netralitas dan objektivitas dari seluruh warga di kota sains, di mana kaum Positivisme menjadi bagian inti dari warga kota tersebut.

Bagi warga saintifik, mereka merasa telah memberi solusi universal bagi siapa saja dalam mendaki tangga untuk mencapai kebenaran yang pasti dan objektif. Mereka mengklaim bahwa hanya sains-lah satu-satunya kebenaran yang layak dan patut diterima oleh segenap umat manusia.

Tetapi, bukankah setiap jenis keyakinan yang bisa diterima oleh sains ketika ia berhenti sebagai keyakinan? Jangan-jangan yang namanya disiplin sainstifik itu dimulai dari pelarangan diri atas segala bentuk keyakinan? Boleh jadi memang begitu.

Apakah sebelumnya ada keyakinan lain, yaitu keyakinan yang begitu tak bersyarat dengan sedemikian rupa, sehingga ia mengorbankan demi dirinya seluruh bentuk keyakinan-keyakinan lainnya. Kita dapat melihat, ternyata sains-pun didirikan di atas sebuah pondasi kepercayaan, yakni tidak ada sesuatu yang disebut sains tanpa adanya praduga.

Sejauh ini, kita dapat bertanya, apakah benar ‘sains’ betul-betul bebas dari segala sesuatu yang berbau psikologis, subjektif, yang bernama keyakinan? Jangan-jangan segala bentuk pelarangan atas keyakinan sebetulnya ada keyakinan lain yang secara diam-diam dan secara imperatif menginginkan dirinya menjadi satu-satunya penguasa di kota sains.

Nietzsche melihat bahwa dalam sains ada sebuah kehendak tak tergugat yang memaksakan sebuah prosedur supaya semua warga sains bersifat ilmiah dan objektif, sementara kehendak tak tergugat itu sendiri lolos dari prosedur keilmiahan. Dengan demikian, ada kontradiksi di dalam klaim sainstisme.

Sains yang menginginkan rasio objektif, ternyata keinginan itu berasal dari sesuatu di luar rasio objektif itu sendiri. Ada kehendak yang bersifat imperatif (perintah) lolos sensor dan memaksa secara sewenang-wenang. Dengan kata lain, prosedur ilmiah yang diterapkan oleh sains, ada sesuatu yang sama sekali tidak ilmiah yang lalu dibiarkan menjadi pengendali, yaitu, sebuah kepercayaan atau keyakinan yang mendahului prosedur keilmiahan tersebut.

Ambiguitas ini terletak pada ketika adanya kehendak akan objektivitas, yakni kehendak akan kepercayaan yang sama sekali tidak mau dicek atau dikoreksi secara langsung oleh objektivitas itu sendiri, melalui prosedur atau tahapan-tahapan laboratorial.

Nietzsche selalu melihat dan mengkritik sains atau dogma pada struktur genealogis, dengan menitikberatkan pada asumsu-asumsi kebenaran yang menyertainya. Nietzsche melihat, apa mekanisme dan atas nama apa sains mengatasnamakan dirinya sebagai sains? Energi apa yang menggerakkan dan memberinya hidup? Nietzsche melihat bahwa energi sains sebenarnya adalah energi yang sama sekali bukan sainstifik.

Ternyata, metode ilmiah yang prosedural disemangati oleh sesuatu yang sama sekali tidak patuh pada metode yang didirikannya sendiri. Nietzsche lalu menunjukkan bahwa di belakang semua yang berbau sainstifik ada ide moral dan konstruksi metafisik. Dalam arti lain, di belakang sains, ada agama dan kepercayaan yang menunjukkan dirinya sebagai dewan juri atau penilai kebenaran.

Dibalik kekuatan sainstifik, ada kepercayaan tertentu mengenai apa yang kita sebuah sebagai kebenaran. Jadi pada intinya, kehendak untuk selalu objektif di mana ia sendiri tidak mau disensor atau diadili, telah menunjukkan ide moral tentang kehendak akan kebenaran yang pasti. Nietzsche lalu bertanya, apakah kebenaran mutlak selalu diperlukan?

Letak eksklusifisme kaum sainstifik terletak pada kehendak mati-matian akan kebenaran. Dan, kehendak akan kebenaran inilah yang sebenarnya dalam termonologi Nietzsche disebut moral. Moralitas sains terletak pada adanya kebutuhan untuk selalu benar dan membunuh segala bentuk kesalahan atau kekeliruan. Di mata sainstifik, kebenaran selalu bersifat baik dan kesalahan adalah bentuk lain dari keburukan dan kejahatan.

Bagi Nietzsche, di luar benar dan salah, ada sesuatu yang begitu personal yang terkait dengan kedirian dari kaum saintifik. Kebutuhan akan percaya memanifestasikan dirinya dalam kehendak akan kebenaran, dan sangat jelas karena menyangkut kepercayaan, maka kehendak akan kebenaran itu sendiri berada di luar koridor benar dan salah. Bukannya berbicara tentang sesuatu yang benar dan salah, kehendak akan kebenaran justru adalah manifestasi dari suatu kebutuhan akan pegangan atau kebutuhan akan sandaran hati.

Kehendak akan percaya pada prinsipnya bersifat metafisik, bahkan dalam diri sains, ia tidak terkait sama sekali dengan benar dan salah. Ini dapat dilihat misalnya, dalam konteks kaum fanatik dan konservatif garis keras, kehendak akan kebenaran terletak dalam dogma normatif melalui ayat-ayat suci yang ia jadikan pegangan dan perjuangan. Dalam fanatisme agama atau sains, semakin seseorang menjastifikasi bahwa orang lain salah, maka semakin seseorang itu merasa menjadi lebih beriman dan lebih kokoh pendiriannya.

Nietzsche melihat, di balik kehendak akan kebenaran itu, terdapat kehendak akan pegangan dan sandaran. Itu artinya, kaum sainstifik butuh sesuatu untuk bersandar, dan itu bisa diwujudkan dalam kehendak mereka akan kebenaran. Jika mereka begitu, lalu Nietzsche mengatakan bahwa tidak ada kata lain selain mereka adalah orang-orang yang sebenarnya lemah dan dekaden.

Secara diam-diam Nietzsche menduga, bahwa jangan-jangan ada sesuatu yang sangat mengerikan di balik kebenaran akan sains, yakni dalam fanatisme akan kebenaran itu ada sebuah prinsip desktruktif yang pada akhirnya memusuhi kehidupan. Bagi Nietzsche, kehendak akan kebenaran (sains) adalah bentuk lain dari kehendak akan kematian.

Dengan kata lain, jika Anda menyatakan bahwa kebenaran adalah ini dan itu, seperti ini dan seperti itu, maka anda pada prinsipnya sedang mencerabut realitas yang seada-adanya, mencerabut ide dan membentuk dunia yang ideal secara personal. Jika kebenaran itu adalah satu-satunya kebenaran, maka realitas ini, yang senyatanya ada, sedang ditolak secara mentah-mentah.

Padahal, menurut Nietzsche, kebenaran dan kesalahan telah sebegitu bercampur dan atas nama apa kita lalu mengatakan kebenaran dengan ukuran-ukuran yang dibuatnya sendiri secara arbitrer atau semena-mena. Karena memang, dunia yang kita miliki saat ini, adalah dunia yang begitu kompleks dan bercampur aduk antara satu dengan semuanya.

Bila ketidakbenaran juga berguna bagi hidup, dalam pengalaman-pengalaman kesalahan setiap detik perjalanan hidup kita, yang seringkali memberi arti penting bagi kehidupan kita ini, maka penumpasan terhadap nilai guna kesalahan atas nama kebanaran, tak lebih dari pengamputasian atau pemotongan terhadap hidup. Dengan kata lain, kita telah mengakhiri kehidupan itu sendiri.

((Disarikan dari Ceramah Setio Wibowo di Komunitas Salihara tentang ‘Kematian Tuhan dan Genealogi’)).

Sumber : qureta.com

Translate »