ADA yang menarik dari penelitian Dr. Tajuddin As-Sudani (Pimpinan Markas Khidmah Sunnah dan Sirah Nabawiah-Lembaga di Bawah Naungan AQL Islamic Center Pimpinan Ustadz Bachtiar Nasir) yang tertuang dalam karya ilmiahnya “Ahammiyah Hadiits al-Dha’iif Wadauruhu fi al-Tasyrii’”.

Di situ ditulis bahwa sekelas Imam Bukhari yang dikenal dengan kitab “Shahiih”-nya juga memakai hadits dhaif (yang tidak parah kedhaifannya). Kitab “al-Adabu al-Mufrad” misalnya, di situ bukan hanya tercantum hadits shahih dan hasan, namun ada juga yang dhaif.

Lebih jauh dari itu, menurut hasil penelitian beliau, di kitab Shahih-nya pun, Imam Bukhari juga menggunakan hadits dhaif. Mengenai hal ini, sudah ada beberapa jawabannya dari Ibnu Hajar dalam kitab “Hadyu as-Sary” (Mukadimah Fathul-Baari).

Dalam kitabnya, Syekh Tajuddin memberikan contoh bahwa dalam kitab Shahih Bukhari, terdapat contoh pemakaian Bukhari terhadap hadits dha’if. Beliau mencatat, “Meskipun beliau (Bukhari) sudah sedemikian hati-hati, namun beliau terdesak untuk mencantumkan hadits dha’if dalam kitab Shahih-nya ketika dibutuhkan untuk poin-poin kefikihan; atau beliau kesulitan mendapatkan hadits shahih dalam petikan mutiara pendidikan, atau berhujjah dengannya karena lafadz-lafadznya lebih dalam pengungkapannya dalam masalah fikih serta lebih banyak isyarat maknanya sebagaimana dicantumkan juga oleh beliau dalam tafsir, manaqib, riqaq dan fadhail (keutamaan).”

Sebagai contoh, Bukhari mendahulukan hadits dhaif atas hadits shahih dalam bab tentang paha (aurat) karena ada faedah fikih (Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab ash-Shalat, Bab Tentang Paha, I/83). Terkait tema ini, Bukhari meriwayatkan hadits-hadits dhaif dengan ‘shigah’ (bentuk) tamridh (bentuk majhul: ruwiya) sebagai isyarat akan kedhaifan hadits menurutnya; beliau berkata: ‘Dan “diriwayatkan” dari Ibnu Abbas, Jarhad dan Muhammad bin Jahsyin dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Paha itu aurat.”

Hadits ini, meskipun dianggap cacat oleh Bukhari, namun didahulukan atas hadits shahih dalam bab ini karena ada faedah kefikihan yaitu bahwa hadits Jarhad lebih banyak kehati-hatiannya dalam hal menutup aurat. Sedangkan hadits Anas bin Malik “bahwa Nabi mengangkat (pakaian) dari pahanya” sanadhnya lebih shahih.

Bukhari sendiri adalah seorang fakih, maka dalam hal ini beliau mendahulukan hadits dhaifatas shahih karena faedah itu. Jumhur ulama berpendapat wajib menutup paha dan itu masuk dalam bagian aurat. Itu adalah madzhab Abu Hanifah, Syafii dan Malik dalam pendapat yang paling shahih, serta Ahmad dalam riwayatnya yang paling shaih. Maka mengambil pendapat itu jauh lebih selamat.

Misal lainnya, dalam hadits “Kun fid-dunya Gharibun au ‘Aabir Sabil”(Jadilah orang asing di dunia atau musafir) (Bukhari, Shahiih al-Bukhari, Kita bar-Riqaaq, bab sabda Nabi : “Jadilah di dunia seakan-akan orang asing atau musafir.” Juz V/2358, hadits nomer 6053.) Hadits ini diriwayatkan secara “munfarid” (sendirian) oleh ath-Thafawi yang merupakan bagian dari hadits Gharib. Sedangkan Muhammad bin Abdurrahman ath-Thafawai itu dhaif. Ibnu Hajar berkata, “Seakan-akan Bukhari tidak keras dalam masalah ini karena masuk kategori hadits “targhib” dan “tarhib”. (Ibnu Hajar, Fath al-Baari Syarh Shahih al-Bukhari)

Dalam masalah akidah pun, Bukhari menggunakan (mencantumkan, menggunakan) hadits-hadits perawi lemah. Misalnya dalam Kitab “Af’aalul-‘Ibaad” (Perbuatan-perbuatan Hamba)—(Bukhari, Khalq ‘Af’aal al-Ibaad, 92). Sebagai contoh, perawi yang bernama Tsa’labah bin ‘Abbad al-‘Abdi. Adz-Dzahabi berkata: “(dia) majhul.” (Adz-Dzhabi, Diiwan al-Dhu’afaa’ wa al-Matruukiin wa Khalq min al-Majhuuliin wa tsiqaat fiihim Layyin,58/698) Meski demikian, Bukhari tetap meriwayatkannya.

Contoh lainnya, Bukhari Menggunakan Hadits-hadits yang perawinya lemah dalam Kitab Masalah Hukum-hukum –Risalah Bagian Mengangkat Tangan dan Bagian Membaca di belakang Imam–, Adz-Dzahabi menyebutkan (rawi-rawi itu) dalam “Diiwaan al-Dhu’afaa’”, misalnya: Ismail bin Abdul Malik bin Abi al-Shagir al-Asadi. Adz-Dzahabi berkata, “Nasai berkata: dia bukan perawi kuat.” Adz-Dzahabi berkata dalam kitab “al-Miizaan”, “Abu Hatim dan Ibnu Ma’in berkata: dia bukan rawi kuat, dan Ibnu Mahdi melemahkannya (menilainya wahin). Sedangkan Yahya bin al-Qaththaan berkata, “Dulu aku meninggalkannya kemudian aku menulis (riwayat) dari Sufyan tentangnya.” (Adz-Dzahabi, Miizaan al-I’tidaal fii Naqdi ar-Rijaal, I/396. Terjemah [biografi] Nomer 911) Meski demikian, Bukhari tetap meriwayatkannya.

Apa yang dilakukan oleh Imam Bukhari menunjukkan bahwa hadits dhaif tak semuanya tertolak. Selain itu ia juga menjadi kekayaan ilmiah yang tidak bisa diabaikan (dipandang sebelah mata); selama tidak parah kelemahannya dan bukan hadits maudhu’(palsu). Mengapa? Karena para salaf telah menjaganya untuk kita dengan perjuangan yang besar. Untuk mendapatkan satu hadits saja misalnya, mereka harus bersafar berhari-hari dan menghabiskan umut dan harta. Semoga, umat Islam lebih adil dalam menyikapi hadits dha’if.

Oleh Mahmud Budi Setiawan Penulis alumni Al Azhar, Mesir

Sumber : hidayatullah.com

Translate »