Pesona pria berjenggot seolah tercoreng setelah sekian banyak aksi teror yang didalangi oleh kalangan yang mengatasnamakan jihad. Tragedi teror terbesar yang terjadi di WTC Amerika Serikat sebagaimana dilansir oleh media dan pihak kepolisian menunjukkan foto pelakunya dengan jenggot yang teramat lebat.

Kelompok-kelompok teroris, baik Taliban, Al-Qaeda maupun ISIS juga menunjukkan anggota-anggotanya yang diberkahi berupa jenggot. Seolah ada stigma bahwa yang berjenggot pasti teroris. Hal tersebut dibangun dari asumsi bahwa dari sekian banyak kejadian teror para pelakunya adalah pria berjenggot.

Munculnya stigma negatif terhadap pria berjenggot dan beragama Islam sebagai pengikut kelompok dan pelaku teror, seolah sesuatu hal yang telah melekat dan menjadi pandangan umum, baik dikalangan internal Islam maupun di kalangan non-Islam. Sehingga orang-orang yang berjenggot, walaupun bukan pengikut teroris, bisa kecipratan stigma tersebut.

Bila menelisik sejarah pada masa Rasul, sunah memelihara jenggot sebagai identitas yang menunjukkan seseorang tersebut Muslim. Hal tersebut didasari atas pertimbangan bahwa dalam pergaulan kehidupan sosial ada komunitas Yahudi yang memelihara kumis segaligus jenggot dan sebagai identitas Muslim mencukur kumis, tetapi tetap memelihara jenggot.

Anjuran sunah Rasul memelihara jenggot pada dasarnya bersifat konteks sosial. Dengan demikian, jenggot dimaksudkan sebagai pembeda dengan komunitas agama lain. Pertanyaannya, apakah identitas seorang Muslim bisa berubah sebagaimana memelihara jenggot yang didasarkan atas konteks pada masa itu?

Kalau identitas jenggot di masa lalu dipilih oleh Rasul untuk membedakan dengan komunitas agama lain, maka pertanyaannya, bisakah identitas Muslim menyesuaikan dengan konteks lingkungannya untuk membedakan diri dengan penganut agama lain? Tentu perkara ini menimbulkan dua respons.

Bagi kalangan yang menangkap tampilan lahiriah dari sunah memelihara jenggot, akan mengambil respons bahwa jenggot sebagai identitas Muslim sudah menjadi final dan tidak dapat ditawar lagi. Pertimbangan bahwa seorang Muslim mesti mengikuti anjuran Rasul, baik yang berupa perbuatan maupun yang berupa perkataan.

Sebaliknya, respons dari kalangan yang menangkap spirit sunah memelihara jenggot, akan memberikan tanggapan bahwa Rasul menganjurkan sunah tersebut didasari atas pertimbangan untuk membedakan seseorang apakah Muslim atau non-Muslim berdasarkan konteks pada masa itu.

Memahami spirit sunah memelihara jenggot berdasarkan konteks sosial seorang Muslim berada. Maka, bisa saja seorang Muslim yang hidup dalam konteks sosial yang beragam, baik secara agama maupun secara budaya akan memilih identitas tersendiri untuk menunjukkan bahwa dia seorang Muslim.

Bila respons terhadap sunah memelihara jenggot secara spirit, maka sebagai seorang Muslim di mana pun dia berada akan bebas memilih identitasnya sebagai seorang Muslim. Sesuai dengan konteks di mana dia berada sebagai pembeda, dengan pemahaman seperti itu, maka sebagai seorang Muslim kita tidak menafikan keberagaman identitas yang diekspresikan oleh umat Muslim di berbagai belahan dunia.

Tetapi, kepada saudara Muslim kita yang menangkap sunah memelihara jenggot secara lahiriah tetap mesti kita hargai dan apresiasi. Sebab, bagaimanapun juga, saudara Muslim kita yang memelihara jenggot juga beriktiar yang sama dengan saudara Muslim yang lain, untuk tetap menghidupkan sunah-sunah Rasul.

Yang kita sayangkan apabila ada stigma yang merasa dirinya yang paling mewakili identitas seorang Muslim. Semestinya sikap saling toleran terhadap sikap yang masing-masing diambil, sebab bagaimanapun juga bila menelisik sejarah perjalanan Islam, baik masa Rasul, setelah Rasul maupun di kalangan sahabat Rasul terjadi perbedaan pandangan.

Pertanyaannya, apakah perbedaan pandangan dalam melaksanakan sunah Rasul menyebabkan mereka tidak saling menghargai? Justru dari perbedaan pandangan itu melahirkan banyak ragam dalam khazanah keislaman. Sebagai contoh, pada masa Rasul, salat Jumat dilaksanakan hanya sekali azan. Tetapi, di masa kekhalifahan, azan dikumandangkan dua kali.

Sekali lagi ada kalangan sahabat Rasul yang menangkap spirit dari sunah, yang didasari oleh konteks zamannya yang membutuhkan penafsiran baru. Namun, bukan berarti mengubah substansi dari sunah, hanya tampilan luarnya yang menyesuaikan zaman. Sebagai contoh, pada masa Rasul, ada siwak untuk memelihara kesehatan gigi, zaman sekarang ada sikat gigi.

Kembali kepada persoalan memelihara jenggot pada satu sisi dan stigma sebagai identitas pelaku teror pada sisi lain. Kaum Muslim perlu merenungkan kembali stigma-stigma negatif tersebut, bukankah umat Muslim juga teramat rindu akan kembalinya kejayaan Islam. Tetapi, aksi teror bukan solusi guna mengembalikan kejayaan Islam.

Kalau umat Muslim ingin mengembalikan kejayaan Islam, solusinya bukan sekadar menghidupkan sunah memelihara jenggot, tetapi perlu mengikutkan plus memelihara akal. Mengapa umat Muslim perlu memelihara akal? Karena kejayaan Islam di masa lalu bukan sekadar memelihara jenggot, melainkan memelihara akal yang melahirkan banyak ilmuan.

Lahirnya kejayaan Islam tidak terlepas dari upaya kaum Muslim memelihara akal. Bayangkan sosok seperti Ibnu Sina mampu menjadi pemikir segaligus dokter yang mampu menangani berbagai penyakit. Bahkan karya Ibnu Sina di bidang kedokteran mampu menjadi rujukan ilmu kedokteran di Eropa.

Umat Muslim perlu menyadari bahwa menghidupkan sunah bukan hanya persoalan tampilan lahiriah semata, melainkan mendayagunakan akal sebagai bagian dari perintah yang mesti dijalankan sebagai seorang Muslim. Ingatlah iqra, perintah membaca datang Tuhan. Artinya, dengan membaca, manusia bisa membuka cakrawala pengetahuannya.

Bila umat Muslim ingin membangun kejayaan Islam, maka sebaiknya semangat memelihara jenggot dibarengi pula dengan semangat memelihara akal. Karena, salah satu identitas Muslim yang terlupakan, yakni penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan. Kalau bisa bergurau bahwa ilmuan Muslim di masa lalu memiliki karya intelektual sebanyak jenggotnya.

Sumber : qureta.com

Translate »