Secara etimologi Bahasa Itikaf bermakna menahan (al-Habs aw al-Mana’). Dan ibadah itikaf disebut demikian karena seseorang yang melaksanakannya, diminta untuk menahan dirinya agar tidak disibukkan dengan perkara-perkara dunia, serta memilih untuk berdiam diri di masjid melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, demi mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Itikaf merupakan ibadah yang tidak hanya disyariatkan pada zaman Nabi Muhammad SAW saja, namun, sejatinya Itikaf juga telah disyariatkan di zaman para Nabi AS sebelum Nabi Muhammad SAW. Karena sejatinya itikaf merupakan sebuah ibadah yang bersifat jasadiyyah dan ruhiyyah yang bisa membersihkan jiwa, hati, serta akal pikiran dari hal-hal yang bersifat remeh-temeh dalam kehidupan dunia.

Ibadah ‘Itikaf, sesungguhnya sangat dianjurkan, tidak hanya di bulan Ramadan saja, namun, pelaksanaannya di bulan Ramadan merupakan satu dari sekian wasilah yang digunakan seorang hamba, untuk menggapai malam lailatulqadar yang nilainya lebih baik dari seribu bulan.

Dalam beritikaf, biasanya seorang mutakif diminta untuk memperbanyak dzikir kepada Allah SWT, mengingat segala dosa yang dilakukannya dan meminta ampun untuk dosa-dosa tersebut, serta mengingat betapa besar karunia Allah SWT kepada dirinya, untuk kemudian mensyukurinya. Hal-hal tersebut dilakukan seorang mutakif dengan tujuan memperbaiki kualitas penghambaannya kepada Allah SWT.

Dalam konteks itikaf yang dilaksanakan pada bulan Ramadan, Rasulullah SAW senantiasa melaksanakannya di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, ketika itikaf, beliau SAW memperbanyak intensitas penghambaan beliau kepada Allah SWT, dan mengosongkan jiwa, raga, serta pikirannya, dari hal-hal yang bersifat duniawi, dan pada malam hari di sepuluh hari terakhir tersebut, biasanya Rasulullah SAW senantiasa membangunkan keluarganya untuk ikut meningkatkan kualitas penghambaan kepada Allah SWT.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar RA,
Baca Juga : Tujuh Syarat Sah I’tikaf

Yang artinya: dari Abdullah bin Umar, ia berkata: bahwasannya Rasulullah SAW senantiasa melaksanakan itikaf di sepuluh hari terakhir Ramadan yang beliau dapati” (HR. Bukhari).

Dalam riwayat lain, Aisyah RA mendeskripsikan tingkat intensitas ibadah yang Rasulullah SAW lakukan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, Aisyah RA berkata

Yang artinya: “Bahwasannya Rasulullah SAW jika memasuki sepuluh hari terakhir dibulan Ramadan senantiasa menghidupkan malam-malamnya, membangunkan istri-istrinya, serta mengencangkan sarungnya” (HR. Bukhari)

Maksud dari ucapan Aisyah RA “menghidupkan malam-malamnya” yaitu mengisi malam-malam terakhir bulan Ramadan dengan ibadah-ibadah yang meningkatkan kedekatan beliau dengan sang Khaliq. Sedangkan, ungkapan “mengencangkan sarungnya” merupakan sebuah metafora yang menggambarkan keuletan Rasulullah SAW dalam melaksanakan ibadah-ibadah wajib maupun sunnah pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.

Lebih lanjut, dalam sebuah riwayat Aisyah RA mendeskripsikan bagaimana Rasulullah SAW melaksanakan Itikaf.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُه… (رواه البخاري)

Aisyah RA berkata: “Bahwasannya Rasulullah SAW jika ingin melaksanakan Itikaf ia masuk ke dalam tempat itikafnya setelah melaksanakan salat subuh, dan beliau senantiasa membuat tempat khusus (semacam kemah) untuk beritikaf ketika beliau ingin melaksanakan itikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadan.” (HR. Bukhari).

Berdasarkan hadis tersebut, beberapa fuqaha berpendapat bahwasannya itikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan di mulai setelah salat subuh di hari kedua puluh Ramadan. sedangkan, hal-hal yang disunahkan ketika beritikaf adalah memperbanyak dzikir kepada Allah SWT, serta memperbanyak salat sunnah sebagai bentuk penghambaan seutuhnya kepada Allah SWT. Wallahu ‘alam bis showab.

Sumber : bincangsyariah.com

Translate »