I’tikaf berasal dari akar kata bahasa arab akafa yang berarti menetap, mengurung diri, mengahalangi. Secara bahasa diartikan sebagai al-lubstu wa mulazamatu al-syai’ wa al-dawab ‘alaihi artinya berdiam diri, menetap dan menjalani secara istiqomah atas satu perbuatan. Sedangkan secara syariat, i’tikaf adalah berdiam diri dalam masjid yang dilakukan seseorang dengan niat tertentu.

Adapun syarat sah i’tikaf, Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu menyebutkan terdapat 7 syarat;

Pertama; Islam. Maka tidak sah i’tikaf orang kafir karena ia tidak beriman kepada Allah.

Kedua; Berakal dan Tamyiz yaitu bisa membedakan yang baik dan buruk. Maka tidak sah i’tikaf orang gila dan anak kecil yang belum tamyiz karena keduanya bukan orang yang diwajibkan beribadah. Sementara anak-anak yang telah tamyiz maka sah i’tikafnya.

Ketiga; I’tikaf dilakukan di dalam masjid. Tidak sah i’tikaf di rumah, kecuali mazhab Hanafiyah yang membolehkan wanita i’tikaf dalam masjid rumahnya. Yaitu ruang atau tempat yang dikhususkan mendirikan shalat dalam rumah.

Keempat; Niat. Tidak sah i’tikaf tanpa disertai niat berdasarkan hadis Innama al-‘amalu bi al-Niyaat wa innama likulli imriin ma nawa. Karena i’tikaf tergolong ibadah yang khusus maka tidak sah jika dilakukan tanpa niat sama halnya seperti shalat dan puasa. Imam Syafi’i memperinci jika i’tikaf wajib yaitu i’tikaf nazar maka wajib menentukan dalam niat akan kefardhuan i’tikaf untuk membedakannya dari i’tikaf yang sunah.

Kelima; puasa. Puasa secara mutlak disyaratkan oleh mazhab Malikiyah baik dalam i’tikaf sunah atau wajib, sementara mazhab Hanafiyah hanya mensyaratkannya pada i’tikaf wajib. Sedangkan dalam mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah tidak disyaratkan, i’tikaf tetap sah meski tanpa dibarengi puasa.

Keenam; Suci dari junub, haid, dan nifas menurut mayoritas ulama. Kecuali mazhab Malikiyah yang memandang bahwa bebas dari junub merupakan syarat dibolehkan untuk berdiam diri di masjid bukan syarat sah i’tikaf sehingga jika saat i’tikaf seseorang mimpi basah ia wajib mandi. Begitu juga menurut mazhab hanafiyah, sehingga tetap i’tikaf dalam keadaan junub tetap sah tapi berdosa.

Ketujuh; Izin suami untuk istri. Menurut mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah tidak sah i’tikaf seorang istri tanpa izin suami. Kecuali menurut mazhab Malikiyah yang memandang i’tikaf istri tanpa izin suami tetap sah tapi disertai dosa.

Wallahu’alam

Sumber : bincangsyariah.com

Translate »