Tanggapan untuk Miftakhur Risal

Gegabah. Itulah kesan pertama yang muncul di benak saya saat membaca tulisan Miftakhur Risal berjudul Himbauan Shalat Berjamaah dari Kepala Daerah. Pemuda yang mengaku pernah menjadi Wakil Ketua Tanfidziah PCINU Libya itu membuka artikel dengan fragmen “fiktif” yang tidak bersandar pada kejadian fakta apapun. Jatuhnya, fragmen tersebut “kosong” atau khayalan. Bahkan, terkesan skeptis.

Bakal lebih baik, bila dia membuat fragmen fiktif di suatu daerah, dengan membandingkannya pada fragmen factual di tempat lain. Sayang, itu tak tertulis.

Dia menyitir, surat edaran yang berisi himbauan shalat dari Pemda bisa membuat Ibu-Ibu menunggu terlalu lama untuk mendapat layanan prima. Padahal, edaran itu dikabarkan berisi himbauan, bukan kewajiban. Penulis yang seharusnya sudah menyelesaikan kuliah magister di UIN Jakarta pada Januari 2016 lalu ini pun berharap, surat itu benar-benar disikapi sebagaimana mestinya. Yang ironis, dia sendiri terlalu dini untuk “takut” dan justru menganggap kalau pegawai negara di daerah setempat menganggapnya kewajiban.

Di paragraf selanjutnya, tulisan Risal, begitu sejumlah kawan biasa menyapanya, menjelentrehkan soal hukum fikih shalat jama’ah. Memangnya, ada apa dengan hukum itu? Pemda setempat (seperti edaran yang bisa dilihat di media elektronik) juga tidak pernah mengajak beradu argumen tentang ini.

Edaran itu tidak berbunyi: shalat di awal waktu itu lebih baik daripada di akhir waktu. Malah, risal sendiri yang menerjemahkan seperti itu. Artikel itu kemudian mencuplik fenomena di pondok pesantren yang kadang mengakhirkan waktu sholat, kemudian mengutip hadist, ““Ya Allah, Barang siapa yang menguasai suatu urusan umatku, lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia” (H.R Muslim).

Lihatlah, bagaimana melalui esai tersebut, penulis yang konon beberapa bulan sebelum hari kelulusan kuliah sarjananya mesti bertolak dari Tripoli karena suhu politik zaman Khadafi yang kelewat panas itu, terlampau menganggap besar edaran shalat jama’ah. Dia khawatir, edaran itu mengganggu pelayanan publik. Mengapa dia tidak sekalian menggugat cuti bersama pada masa lebaran yang berhari-hari, sementara cuti natal yang hanya sehari atau dua hari?

Dia bahkan menyisipkan pesan “jangan diskriminatif” karena dalam edaran itu ada kalimat yang kurang lebih berbunyi: untuk Non Islam, harap menyesuaikan. Bukankah ini adalah kalimat bernada toleransi. Bahwa saat Si Islam sholat jama’ah, Si Non Islam menyesuaikan diri. Mungkin, dengan menggantikan tugas Si Islam. Sesederhana itu.

Justru mungkin, kalimat yang kata Risal membingungkannya itu bisa saja bermakna: untuk yang Non Islam, kalau pas waktu beribadahnya tiba, segera saja beribadah. Bukankah Risal juga mengaku masih bingung dan gagal paham? Kalau masih bingung dan gagal paham, ada baiknya berkontemplasi sedikit dan menahan untuk tidak berasumsi.

Toh, sholat empat rakaat (zuhur dan ashar) yang “paling santai” hanya butuh waktu sekitar 15 menit. Risal terkesan kesusu berpendapat (untuk ogah menyebutnya su’udzon) bahwa orang Non Islam keberatan tentang ini. Kan selama ini, dengan atau tanpa edaran, semua umat Islam juga sholat di kantornya, sementara yang Non Islam tidk ikut sholat? Tulisan tersebut seolah-olah membuat gambaran kalau di tempat itu, mayoritas potensial menindas minoritas.

Padahal, bisa saja di daerah itu, banyak kegiatan Non Islam yang juga “diback up” Islam. Di sinilah masyarakat mesti kritis terhadap media. Di daerah yang Non Islam jadi mayoritas, bisa saja ada edaran serupa dan tidak terendus media massa. Tapi toh, tidak usah mempermasalahkan itu terlalu dalam.

Kesimpulan saya terhadap opini tersebut setidaknya tiga. Pertama, penulis ber-KTP Salatiga itu menulis sambil membayangkan bahwa ada penindasan terhadap minoritas. Di sini, dia tidak objektif. Atau dalam bahasa Pramoedya Ananta Toer, “Dia tidak adil sejak dalam pikiran”. Kedua, dia kurang piawai mencomot analogi. Sama seperti saat dia menulis Butuhkah Kita Pada Sosok (Seperti) Zakir Naik?.

Dalam artikel itu, dia mempertanyakan tentang perlu tidaknya Zakir Naik di dunia Islam. Lhah, bukankah Doktor Naik adalah pegiat ilmu perbandingan agama? Ya, pekerjaannya memang membanding-bandingkan agama. Kalau Naik tidak dibutuhkan, sekalian saja hapus pelajaran perbandingan agama di dunia ini.

Parahnya, dia membuat analogi: kita tidak terlalu butuh dengan sosok seperti Naik, yang kita lebih butuhkan, orang yang membersihkan korupsi, fitnah, dan sebagainya.

Kalau diperhatikan, apa yang dilakukan Naik adalah perkara akidah (pebandingan agama), sedangkan contoh yang disampaikan Risal adalah perkara akhlak (tidak korup, fitnah, dsb). Bukankah akidah dan akhlak adalah dua hal yang sama penting namun berbeda wujud. Sama seperti sholat dengan puasa. Orang Islam tidak boleh bilang: kita lebih butuh puasa daripada sholat, atau sebaliknya.

Ketiga, dan ini yang utama, ada sikap semacam “Islamophobia” pada sebagian kalangan intelektual muda Islam. Mereka berupaya mengkritisi Islam atau muslim yang gemar mempertontonkan keislaman.

Mungkin, itu karena mereka jengah dengan segala yang administratif dan atau artifisial. Semua
“topeng” itu dinilai gagal membangun bangsa. Masalahnya, itu menjadi runyam bila belum-belum, prasangka buruk, khayalan jelek, angan-angan tak berdasar, lebih dulu membayangi. Bukankah, intelektual muda Islam, seharusnya bersikap netral sebelum melontarkan pandangan?

Di muka disebutkan, sholat empat raka’at, paling lama butuh waktu 15 menit. Namun, mereka mungkin sudah lebih dulu berpikir, orang Islam setelah sholat akan leyeh-leyeh di masjid. Sehingga, makan waktu lebih. Juga, sholat molor karena nunggu jama’ah tidak penuh-penuh. Kalau demikian, yang salah leyeh-leyeh dan molornya. Bukan sholat jama’ah. Wallahu a’lam.

Sumber : qureta.com

Translate »