Salah seorang gubenur yang ditugaskan oleh Khalifah Umar bin Khattab di wilayah Homs, Syam, adalah Umair bin Said. Umar amat bangga dengan gubernurnya yang satu ini. Bukan karena kehebatannya dalam membangun fasiliti negeri, melainkan justru pada kepemimpinan yang telah dilaksanakan dengan baik dan benar.
Ketika satu tahun sudah berlalu sejak dilantik menjadi gubernur, Umair tidak memberi kabar apa-apa, termasuk tidak mengirim hasil dana yang dihasilkannya. Kepada sekretarisnya, Umar memerintahkan berkirim surat dan memintanya datang ke Madinah. la khawatir bila terjadi pengkhianatan.
Tidak lama sesudah itu, penduduk Madinah dikejutkan dengan kedatangan seorang lelaki dengan pakaian berdebu dan rambut yang kusut. la tampak lelah karena perjalanan yang jauh. Pada bahu kanannya tergantung sebuah kantong kulit dan panci, sedangkan pada bahu kirinya terdapat tempat air minum yang sederhana, dan tongkat di tangannya. Dengan berjalan tertatih-tahih ia telah sampai di kota Madinah dan segera masuk ke sebuah majlis Amirul Mukminin.
Setelah memberi salam, ia kemudian dipersilahkan masuk. Dengan hati pilu melihat keadaannya, Umar bertanya: “Bagaimana keadaanmu wahai Umair?”
“Keadaanku seperti yang engkau lihat. Bukankah engkau melihat aku dalam keadaan sihat dan wajah berseri? Bersamaku terdapat dunia yang aku bawa,” jawab Umair.
“Apa yang kamu bawa?” Tanya Umar lagi.
“Aku membawa kantong kulit tempat menyimpan bekal, piring tempat aku makan, botol tempat air minum dan untuk berwudhu, serta sebuah tongkat untuk bertelekan dan untuk menghadapi musuh jika ada yang menghadang. Maka, demi Allah, dunia ini tidak lebih dari barang-barang yang aku bawa ini,” jelas Umair.
“Apakah engkau datang dengan berjalan kaki?,” Tanya Umar lagi.
“Benar,” jawab Umair.
Umar menjadi semakin hairan dan ia pun balik bertanya, “Apakah tidak ada orang yang bersedia menolong engkau dengan meminjamkan seekor kendaraan yang akan engkau tunggangi?.”
“Mereka tidak meminjamkan dan aku pun tidak memintanya,” jawab Umair.
Umar bertanya yang berkaitan dengan tugasnya sebagai gubernur. Umair menjelaskan, “Ketika aku sampai ke wilayah yang engkau tunjuk, aku kumpulkan warga yang shaleh dan aku tugasi mereka untuk memungut pajak. Setelah terkumpul, aku keluarkan pada jalan yang semestinya. Andai ada sisa walau sedikit, tentu aku serahkan kepada engkau.”
“Berarti, engkau tidak membawa apa-apa untuk kami?” tanya Umar menegaskan.
“Tidak,” jawab Umair.
“Baiklah,” jawab Umar dengan perasaan bangga dan kagum pada gubernur yang satu ini. Maka, tugas Umair pun diperpanjang.
Sesudah beberapa lama ia memimpin dan kehidupan masyarakat sudah semakin baik, ia pun menyampaikan pernyataan kepada Umar, “Aku tidak ingin menjadi pengawai engkau lagi dan tidak mau menjadi pengawai siapa pun.”
Begitulah gubernur Umair yang bekerja dalam rangka menghambakan diri kepada Allah swt sehingga wilayah yang dipimpinnya mencapai keadilan dan kesejahteraan lahir dan batin.
Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah:
1. Setiap pemimpin harus mencapai prestasi yang gemilang sehingga boleh dibanggakan oleh semua orang, termasuk Allah swt dan Rasul.
2. Kebanggaan terhadap pemimpin bukan pada lamanya memimpin, tapi pada seberapa besar menjadikan kesempatannya memimpin untuk mengabdi kepada Allah swt, bukan malah menyalahgunakan jabatan untuk memperkaya diri, keluarga atau kelompok dengan menghalalkan segala cara.
Oleh: Drs. H. Ahmad Yani
Recent Comments