Setiap tanggal 12 Rabiul Awal, umat Islam seluruh dunia bersuka cita memperingati maulidnya (kelahiran) Nabi Muhammad SAW. Hari kebahagiaan bagi seisi alam semesta. Hari kelahiran junjungan alam, pembawa rahmat bagi seluruh alam. Untuk itu, agar terjaga adab pada Rasulullah, maka para ulama menempatkan peringatan maulid hanya untuk nabi Muhammad SAW. Sedangkan untuk umat hanya ada peringatan hari wafatnya (haul).

Sejarawan berbeda pendapat terhadap sosok pertama yang mengadakan peringatan maulid nabi Muhammad SAW. Ada yang berpendapat Raja Mudhaffar Abu Said (versi Imam as-Syuthi), prakarsa Ubaid al-Mahdi pada Dinasti Fatimiyah (versi Syekh Hasan as-Sandubi), atau Sultan Nuruddin Zanki (versi Syekh Bukhit al-Muthi’i).

Terlepas dari perbedaan yang ada, momentum peringatan maulid nabi memiliki makna agar umat mengingat dan mentauladani seluruh aspek kehidupan Rasulullah secara totalitas. Menurut penulis, ketika manusia menggunakan kata contoh dan tauladan pada sosok tertentu, maka perlu ditempatkan secara tepat. Sebab, kata contoh berarti meniru (kan), mencontoh, menuruti, merupakan tiruan, atau membeo. Aspek yang dicontoh kalanya positif, tapi kalanya negatif. Kata contoh bersifat temporer, sesuai kepentingan, dan terbatas. Sementara kata tauladan berarti sesuatu yang baik dan patut ditiru (sifat, kata, perilaku atau perbuatan).

Tauladan sifatnya konsisten (abadi), terjaga, komprehensif, dan bernilai ibadah. Dalam ajaran Islam, sosok tauladan yang memiliki akhlak yang sempurna hanya ada pada diri Rasulullah SAW (QS. al-Qalam: 4).

Merujuk pada makna kata di atas, maka penggunaan kata contoh dan kata tauladan perlu ditempatkan pada sosok yang tepat, bukan serampangan. Pada sesama makhluk, kata contoh lebih tepat digunakan, bukan kata tauladan. Sebab, sosok makhluk mengalami ketidaksempurnaan dan sifatnya temporer. Pada dirinya masih terdapat aib (kekurangan) yang tertutupi atau sengaja ditutupi.

Dalam kajian sufistik, Allah menciptakan nur Muhammad sebagai ciptaan awal. Dari sini, diciptakan-Nya seluruh makhluk. Hal ini diperkuat penjelasan Syekh Nawawi al-Banteni bahwa, Nur Muhammad adalah makhluk yang pertama kali diciptakan-Nya. Dari nur Muhammad diciptakan seluruh alam semesta. Untuk itu, tak mungkin ada yang melebihi cahaya, kesempurnaan, dan ketauladanan nabi Muhammad. Sosok hamba-Nya yang sempurna dan tak bisa dibandingkan dengan makhluk apa pun. Andai ada yang membandingkannya, maka jelas telah tersesat. Sebab, alam dan isinya diciptakan-Nya karena Muhammad. Hal ini dinyatakan Allah melalui hadis Qudsi: “Jika bukan karena engkau wahai Muhammad, tidak akan Aku ciptakan alam semesta ini” (HR. al-Hakim dan Baihaqi).

Demikian kesempurnaan dan ketauladanan Rasulullah SAW. Tak ada ketauladanan yang sempurna kecuali pada diri Rasulullah SAW. Untuk itu, ketauladanan yang patut diambil oleh seluruh alam hanya pada dirinya, bukan pada selain dirinya. Sebab, eksistensi nabi Muhammad bagaikan “cahaya di atas cahaya”. Ungkapan ini akibat keterbatasan kata yang dimiliki manusia untuk menggambarkan sosok Rasulullah. Padahal, cahayanya melampaui cahaya yang ada.  Sebab, cahaya yang ada tercipta melalui nur Muhammad. Dalam ilmu matiq, sebuah kesiasiaan bila menjadikan cahaya sebatang lilin di tengah terik sinar matahari. Penulis sadar tak akan pernah mampu menjelaskan secara utuh ketauladanan Rasulullah yang begitu sempurna. Bagaikan tak akan pernah mampu menghitung dan menyebutkan nama-nama bintang yang ada di angkasa. Hanya saja dalam keterbatasan yang ada, penulis berupaya menampilkan beberapa pembuktian atas ketauladanan nabi Muhammad SAW, antara lain:

Pertama, Dimensi ketauladanan yang tak bertepi dan tak pernah kering. Wajar bila secara obyektif, Michael H. Hart, seorang astrofisikawan Yahudi-Amerika menempatkan nabi Muhammad SAW pada urutan pertama sebagai tokoh paling berpengaruh di dunia. Hal ini dinyatakannya dalam buku The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History.  Padahal, ia bukan seorang muslim, tapi kagum pada sosok nabi Muhammad SAW. Sosok tauladan sejati yang tak ternilai. Sementara aneh bila umat Islam justru kagum pada sosok lain yang ditemui.

Adapun alasan Michael Hart menempatkan nabi Muhammad SAW pada urutan teratas dari 100 sosok yang pantas ditauladani dan berpengaruh dunia antara lain : (1) Ia tidak terlibat dalam tindakan penyimpangan sosial pada masa jahiliyah (berbohong, menipu, berzina, menyembah berhala, sombong, mabuk, berjudi, memfitnah, sombong, zalim, khianat, dan lainnya). Bahkan, sejak kecil Nabi Muhammad telah menunjukkan akhlak mulia (al-Amiin) dan tak pernah berubah sampai akhir hayatnya. (2) Ia berhasil melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai nabi dan khalifah tanpa cela. (3) Ia mampu membawa Arab dari wilayah yang “terbelakang” sampai menjadi wilayah yang “berperadaban” dan membangun keimanan yang kokoh. (4) Ia bertanggungjawab terhadap teologi Islam, baik prinsip akidah maupun akhlaknya. (5) Ia sosok hamba Allah yang tetap terpelihara kemuliaan dan cemerlang namanya sampai akhir zaman.

Alasan Hart di atas hanya ada pada diri Nabi Muhammad SAW, sosok yang patut dijadikan tauladan. Karakter yang terpelihara ini tak pernah dimiliki manusia mana pun jua.

Kedua, Sosok kepala keluarga yang romantis dan pemimpin yang tegas. Rasulullah SAW menjadikan dirinya sebagai tauladan berkualitas, bukan karakter sesaat untuk kepentingan rating elektabilitas. Ketika pakaiannya sobek, Rasulullah menjahitnya sendiri. Ia memanggil istrinya dengan panggilan mesra nan menyejukan, serta ikut bermain dan bercanda bersama cucunya (Hasan dan Husein).

Sebagai sosok pemimpin (khalifah), ia hadirkan kepastian hukum yang adil. Semua dilakukan tanpa melihat ikatan darah, apalagi strata sosialnya. Bahkan, ketegasannya sama meski terhadap anak kandungnya sendiri. Hal ini dinyatakan dalam sabdanya : “Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegak-kan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sungguh, hadis yang begitu jelas, namun pada tataran realita, umat justeru acapkali mengingkari. Ketauladanan mana lagi yang ingin dicari, padahal sudah nyata di depan mata. Sosok ketauladanan yang hanya ada pada diri nabi Muhammad SAW.

Ketiga, Sosok ulama yang menyejukan, tapi tegas pada kemungkaran. Ia tegas terhadap kekufuran dan lembut pada sesama (QS. al-Fath: 29). Beliau sosok hamba yang tak silau kekayaan. Sementara manusia hanya mampu (zahir) menolak kemewahan yang terbatas. Tapi, Rasulullah menolak tawaran harta tanpa batas. Hal ini dinyatakan dalam sabdanya:

“Rabbku telah menawarkan kepadaku untuk mengubah bukit-bukit di Makkah menjadi emas. Tetapi aku menadahkan tangan kepada-Nya, sambil berkata, ‘Ya Allah, aku lebih suka sehari kenyang dan lapar pada hari berikutnya agar aku dapat mengingat-Mu apabila sedang lapar, dan memuji-Mu serta mensyukuri nikmat-Mu apabila kenyang.” (Hr. Tirmidzi)

Sungguh, sosok manusia pilihan yang begitu mulia. Hadir pada pemilik jiwa yang suci dan hamba-Nya yang sempurna. Alangkah bangga manusia yang menjadi umatnya. Untuk itu, wajar bila nabi Musa AS berharap menjadi umat nabi Muhammad SAW. Hal ini dijelaskan oleh imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab ad-Durrul Mantsur (juz III). Beliau mengutip riwayat Ibnu Qatadah tentang kekaguman Nabi Musa terhadap keutamaan umat Muhammad yang tertulis dalam Taurat.

Akhirnya, nabi Musa bermohon “Ya Allah, kalau demikian, jadikanlah aku sebagai umat Muhammad”. Keinginan nabi Musa agar menjadi umat nabi Muhammad karena bisa langsung bertemu fisik dengan nur asal penciptaan alam ini. Bahkan, umatnya memperoleh keistmewaan melalui syafaat yang diberikannya. Sungguh keistimewaan yang tak dimiliki oleh nabi dan rasul lainnya.

Nabi Muhammad SAW merupakan sosok sempurna yang tak pernah minta dilayani, tapi selalu melayani bahkan terhadap musuhnya. Hal ini dijelaskan atas sikap nabi Muhammad yang menyuapi makan pengemis Yahudi yang buta dan sangat membenci Rasulullah. Meski setiap beliau menyuapi, si Yahudi selalu menghina dan menghujatnya, tapi beliau tetap menyuapinya dengan kelembutan. Si Yahudi tak tahu jika sosok yang dihina adalah orang yang sedang menyuapinya dengan lembut.

Si Yahudi baru sadar tatkala Abu Bakar menggantikan Rasulullah untuk menyuapi si Yahudi tersebut. Begitu ia tahu, si Yahudi menangis dan mengucapkan syahadatain. Sungguh, Rasulullah merupakan sosok lembut tanpa pandang status. Satu-satunya sosok yang pantas ditauladani. Sementara selain Rasulullah hanya pantas bila sekedar dijadikan contoh, bukan untuk ditauladani.

Keempat, Pemilik kesempurnaan sifat utama ; siddiq (benar), amanah (dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathonah (cerdas). Semua sifat ini telah ada sejak Rasulullah kecil dan terpelihara sampai beliau wafat. Sementara, manusia tak ada yang memiliki kesempurnaan semua sifat tersebut sejak kecil sampai wafat. Meski tampil mulia, tapi masih menyisakan sisi kelam pada masa lalu. Atau mungkin sebaliknya.

Kelima, Hati yang lembut, tawadhu’, dan dermawan. Kecintaan Nabi Muhammad terlihat dari sifat-sifatnya yang sangat mulia. Ia dikenal lemah lembut terhadap para sahabatnya, memaafkan semua manusia yang memohon ampunan-Nya.

Kelembutan hati Rasulullah tercermin dari hadis dari Aisyah, bahwa: Abu Abdilah al-Jadali RA dia berkata, “Saya berkata kepada Aisyah, ‘Bagaimana sikap Nabi terhadap keluarganya?’ Aisyah menjawab, “Dia adalah orang yang paling terpuji. Rasulullah tidak pernah bersikap dengan buruk, kasar atau berteriak di tengah pasar. Dia tidak akan membalas kejahatan dengan kejahatan. Tapi dia memaafkan dan memaafkan hal-hal buruk yang ditujukan kepadanya secara pribadi” (HR. Imam Ahmad).

Kedermawanan Rasulullah tak ada tandingannya. Bahkan, meski beliau sedang kesusahan. Lihat bekas batu yang dililit untuk mengganjal perutnya. Semua tercatat jelas dalam berbagai hadis yang diriwayatkan oleh ulama yang mulia. Rasulullah tak pernah berpangku tangan. Beliau berusaha tanpa fasilitas. Semua kemuliaannya tak ada yang bisa membantah. Semua dilakukan bukan untuk menaikan elektabilitas semu, sebagaimana dilakukan segelintir manusia. Segelintirnya tampil sebagai pribadi yang dinilai tak menerima (pemberian) tapi tak pula pernah memberi (dermawan). Hidup tanpa usaha (mandiri), sebab hidupnya telah ada yang mencukupi dan semua sudah difasilitasi. Sosok yang demikian hanya bisa dicontoh (sisi positifnya), tapi bukan untuk ditauladani.

Keenam, Kehadirannya pemberi syafaat (pertolongan) pada umat dan alam semesta, bukan justeru meninggalkan mudharat bagi peradaban generasi selanjutnya. Hal ini dijanjikan Rasulullah melalui sabdanya : “Telah datang kepadaku malaikat dari sisi Tuhanku Azza wa Jalla, lalu memberikan pilihan kepadaku : antara separuh umatku akan dimasukkan surga atau syafaat. Maka aku memilih syafaat, dan syafaat ini untuk orang yang meninggal tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Hibban).

Bila kepedulian manusia hanya ketika ada kepentingan atau mampu hadir selama hidupnya, tapi kepedulian dan kecintaan Rasulullah SAW pada umatnya tanpa batas waktu. Begitu mulia pemilik ketauladanan hakiki. Bahkan, Allah sampaikan melalui firman-Nya :“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. al-Ahzab : 21).

Begitu jelas Allah menyampaikan kepribadian nabi Muhammad agar umat mentauladani-nya. Kehadirannya sebagai utusan Allah yang berbalut akhlak mulia yang senantias terjaga. Hal ini dinyatakan dalam sabdanya : “Sesung-guhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Al-Baihaqi).

Bila masih juga mencari sosok lain yang perlu ditauladani, mungkin si pencari merupakan sosok yang diulang sebanyak 31 kali dalam QS. ar-Rahman “maka nikmat Allah mana lagi yang kamu dustakan ?”. Untuk itu, Allah mengingatkan manusia agar bijak dalam bersikap dan menetapkan sosok yang patut ditauladani. Hal ini sesuai firman-Nya : “Wahai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepadamu mem-bawa suatu berita, maka telitilah kebenaran-nya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu” (QS. al-Hujurat : 6).

Ayat di atas mengingatkan manusia sepanjang masa, terutama generasi akhir zaman. Informasi begitu cepat tanpa terbendung. Jangan berprilaku menyesatkan, sumber fitnah, dan melakukan kezaliman. Sosok bijaksana sangat diperlukan, baik dalam menentukan sikap atau bersikap atas informasi yang ada.

Meski hanya sekelumit paparan pembuktian ketauladanan Rasulullah di atas, semua tak pernah dimiliki oleh manusia yang ada di bumi ini. Sungguh, bila seluruh pohon dan air yang ada di muka bumi tak pernah cukup (bahkan perlu ditambah) untuk menuliskan nikmat Allah (QS. Lukman : 27), maka diperlukan seluruh pohon dan air yang ada di muka bumi ini untuk memaparkan ketauladanan Rasulullah. Untuk itu, masihkah mengidolakan (tauladan) manusia karena dinilai mulia oleh statusnya. Padahal, hanya perlu sesendok tinta dan sebatang ranting untuk menuliskan kebaikannya.

Semoga momentum maulid Nabi Muhammad SAW menghadirkan kerinduan umat atas ketauladanannya. Jadikan maulid sebagai momentum memperbaiki diri yang mungkin telah jauh dari akhlak Rasulullah. Bukan sebatas tampilan seremonial untuk memperlihatkan keshalehan, tapi batin dan prilaku yang acapkali (biang) berbuat kesalahan. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar STAIN Bengkalis

Sumber: jawapos.com

Translate »