FITRAH manusia sebagai makhkuk yang ingin tahu. Melalui fitrah yang dimilikinya, ia berupaya memenuhi keingintahuannya dengan cara menuntut ilmu. Untuk itu, ilmu merupakan keperluan asasi dan kewajiban setiap manusia.

Melalui ilmu, ia akan terangkat derajatnya, baik di hadapan Allah, apatahlagi di mata makhluk. Hal ini dijanjikan Allah melalui firman-Nya: “Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman di antaramu, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. al-Mujadalah : 11).

Janji Allah pada ayat di atas hanya hadir pada manusia yang berilmu dan beradab, bukan sekadar atau “seakan-akan” berilmu tanpa adab. Ada beberapa tingkatan manusia berkaitan dengan ilmu, yaitu:

Pertama, Manusia tak berilmu dan tak berupaya mencari ilmu secara formal. Banyak faktor penyebab yang menjadi alasan, terutama ekonomi. Ia sadar atas keterbatasannya dan hidup pada kepasrahan. Tipikal ini hadir pada komunitas yang hanya melakukan aktivitas rutin tanpa mengharapkan perubahan signifikan. Ia sadar atas keterbatasannya dan berharap generasi sesudahnya akan lebih baik dan memiliki ilmu yang tak mampu dimilikinya.

Bagi yang tak berilmu, maka kesalahan atas ketidaktahuannya akan memperoleh ampunan-Nya. Hal ini merujuk pada firman-Nya: “Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), sungguh, Tuhanmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. an-Nahl : 119).

Meski demikian, kualiti amalnya juga disamakan atas ketidaktahuannya. Untuk itu, berilmu menjadi syarat kualiti amal.

Kedua, Manusia tak berilmu dan malas berusaha mencari ilmu, tapi ia menginginkan status seakan orang berilmu. Berbagai upaya dilakukan untuk memperoleh status berilmu. Dengan mengedepankan keberanian, tampilan, dan  kelincahan bicara, ia tampil bagai seorang yang berilmu. Padahal, ilmu yang dimiliki sekadar “pelepas status” dan pura-pura belaka. Untuk mem-perkuat status dan memperoleh kepercayaan, maka ia berusaha memiliki “bukti keilmuan” dengan cara pintas dan tak wajar.

Sepertinya, fenomena pemilik tipikal di atas tumbuh oleh hadirnya fasilitator. Mereka merupakan penyedia “jasa” yang mengantarkan cara culas terwujud. Kehadiran penyedia jasa ini hadir bagai “hantu”. Ada nama dan wujud, tapi hanya segelintir yang mampu tersentuh. Pertemuan manusia asesories (pemburu gelar) dan penyedia jasa terikat tumpukan materi. Cara ini hanya ditempuh tatkala diri telah kehilangan muru’ah. Anehnya, tipikal ini justru memiliki peluang meraih status sosial yang diharapkan. Akibatnya, ia bisa mengatur kaum intelektual melalui statusnya. Fenomena ini pertanda akhir zaman. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah SAW: “Di antara tanda-tanda kiamat (yaitu) ilmu diperoleh dari orang-orang lebih rendah (ilmunya)” (HR. Ath-Thabrani).

Dalam kitab Mafahim Yajibu ‘an Tushah-hah karya Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki, bahwa Imam Syafi’i berkata:“Setiap kali berdebat dengan kelompok intelektual, aku selalu menang. Tetapi anehnya, kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tanpa daya”. Maksudnya, akan bermanfaat bila tukar pikiran dengan pemilik ilmu. Sebab, orang berilmu akan menambah ilmu yang ada. Tapi, hanya kerja sia-sia bila berbicara dengan manusia yang tak berilmu. Sebab, orang tak berilmu hanya akan membangun pendapat yang “gagal paham” dan membuat diskusi sering kali sebatas “debat kusir” yang tak berujung dan melelahkan.

Ketiga, Manusia berilmu dan mengikuti proses formal, tapi belum menemukan inti ilmu. Bila masih pada level ini, acapkali menganggap diri paling tau, serba tau, dan paling benar. Fenomena pemilik ilmu tipe ini hanya mengedepankan publikasi diri (flexing style) atas kehebatannya bersama koleganya. Semua aktivitasnya tersebar di media. Publikasi yang dilakukan acapkali tanpa filter kewajaran, kepatutan, atau kepantasan. Padahal, apa yang disampai-kan hampa nilai. Anehnya, aktivitas yang demikian biasanya selalu mendapatkan respon dan pujian oleh pemilik kualiti ilmu yang sama (sederajat).

Melalui status, aktivitas, publikasi, dan tanda kepemilikan ilmu yang dimiliki, ia menganggap seakan telah mampu “menggenggam” dunia dan serba tau atas semua yang ada. Tipe ini hanya bertujuan memperoleh pujian dan pengakuan semu. Padahal, ia tak mampu menghadirkan wujud peradaban hakiki yang berdimensi rahmatan lil ‘aalamiin. Namun anehnya, pemilik type kedua dan ketiga justru lebih mendapat kepercayaan dan kesempatan.

Dengan sifat di atas, semua orang akan dipandang rendah, hadir kesombongan, arogan, memandang remeh, dan bertindak sewenang-wenang pada sesamanya. Ia lupa atas firman-Nya: Dan janganlah engkau berjalan di muka Bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan bisa menembus Bumi dan tidak akan mampu menjulang seperti gunung” (QS. al-Isra : 37).

Bahkan, secara tegas Allah SWT kembali mengingatkan pada manusia atas keterbatasan ilmu yang dimiliki. Hal ini terlihat jelas pada firman-Nya: … sedangkan kamu tidak diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit” (QS. al-Isra’ : 85).

Manusia pada tingkatan kedua dan ketiga merupakan sosok yang belum menemukan inti ilmu dan “berpakaian adab”. Tapi, ia pandai “berwajah seribu”. Akibatnya, tatanan peradaban menjadi rusak olehnya. Ia hanya mendahulukan keinginan diri, meski harus meninggalkan agama. Ia lebih mementingkan hak diri dan koleganya. Ia lebih mendahulukan euforia ketimbang melaksanakan kewajiban yang diamanah-kan. Wajar bila kajian ilmu dan kebenaran dari hamba yang dinilai berseberangan hanya akan dipandang sampah belaka.  Untuk itu, “jangan pikir semua manusia senang padamu dan karyamu. Tersisa ada yang tak senang dan peduli. Padahal, tak ada kesalahan yang pernah engkau lakukan. Justeru, dia yang pernah berbuat salah padamu. Anehnya, ia akan mengajak orang lain memusuhi dan menyingkirkan-mu. Sebab, ia tak mampu berbuat baik sepertimu. Kehadiranmu dianggap membuka kebodohannya dan menghalanginya berbuat jahat. Hanya segelintir teman yang benar-benar baik, maka temukan yang segelintir tersebut”.

Andai kehadiran ketiga tipikal di atas lebih dominan tampil ke permukaan dalam pranata sosial peradaban manusia, maka tak terbayangkan dampak kerusakan yang akan ditimbulkan (lihat QS. ar-Ruum : 41). Namun, tak bisa dielakkan bila ketiga tipikal di atas lebih dominan hadir dalam lintas sejarah manusia. Meski demikian, kehadir-an ketiga tipikal tersebut dapat diminimali-sir tatkala hadir sosok “Umar bin Abdul Aziz” yang bijaksana dalam memilih dan memilah sosok pemegang amanah yang akan diberikannya. Melalui hadirnya sosok “Umar bin Abdul Aziz”, pranata peradaban akan dapat dikembalikan sesuai aturan yang ada, bukan oleh kemauan yang ada.

Keempat, Manusia berilmu dan meraih inti ilmu untuk mengenal Allah. Pemilik ilmu tipikal ini akan hadir sifat tawadhu’, syukur, dan beradab. Hal ini sebagaimana terlihat pada sifat nabi Sulaiman AS yang dinukilkan Allah melalui firman-Nya : “Maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai ; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh” (QS. an-Naml : 19).

Bagi pemilik ilmu yang tawadhu’, ilmu yang dimiliki akan membuahkan adab. Ia sadar, semuanya milik-Nya semata. Sifat ini diingatkan Allah melalui firman-Nya :

“….. Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain yang Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Maha Pengetahui, Maha Bijaksana” (QS. al-Baqarah : 32).

Meskipun mutiara Ilahi yang disampaikan, tapi tak semua mampu memperoleh. Sementara segelintirnya tak menghargai mutiara Ilahi yang ada. Sebab, tak mampu untuk memahami akibat kejahilan yang melekat. Wajar bila mutiara Ilahi kurang dihargai dan kalah indah oleh pernik publikasi duniawi yang penuh ambisi dan kepentingan.

Kelima, Manusia berilmu yang mengantarnya untuk mengenal Allah. Tipikal pemilik ilmu yang demikian akan hadir rasa takut dan malu mengatakan ia tau. Sungguh, tipe ini merupakan manusia pemilik ilmu yang hakiki. Ia lebih memilih mengatakan tidak tau, padahal ia sebenarnya tau. Sebab baginya ia tidak tau apa-apa kecuali yang Allah anugerahkan padanya. Ia sadar, bahwa semuanya milik Allah dan hanya diberikan pada hamba yang dikehendaki. Andai ia mengetahui, semua atas izin Allah dan wujud cinta-Nya. Pemilik ilmu pada tingkatan ini akan takut dan malu mengata-kan diri berilmu. Ketakutan akan murka Allah dan malu pada Rasulullah. Sebab, ia hamba yang dhaif. Ia khawatir bila tak mendapatkan cinta-Nya dan syafaat Rasulullah. Tingkatan ini merupakan karakter seorang sufi. Hal ini dinyatakan Allah dalam firman-Nya : “….. Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun” (QS. al-Fathir : 28).

Sungguh, pemilik ilmu pada tingkatan keempat dan kelima adalah sosok hamba yang sebenarnya berilmu dan beradab yang membedakannya dengan pemilik ilmu pada tingkatan sebelumnya. Hal ini dinyatakan Allah SWT : “Katakanlah, ‘apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak menge-tahui ?’ Sungguh, hanya orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran” (QS. az-Zumar : 9).

Bagi pemiliki ilmu tingkatan ini, semua ayat Allah seakan sedang bercerita padanya tentang seluruh keagungan-Nya. Melalui nikmat-Nya ini, menjadikan pemilik ilmu sebagai hamba yang beradab. Bila hal ini telah mampu diraih, maka janji Allah pasti adanya. Janji derajat kemuliaan dan dimuliakan-Nya (QS. al-Mujadalah : 11).

Untuk itu, Fakhruddin al-Razi menerangkan persyaratan meraih janji Allah ter-sebut. Menurutnya, Allah SWT akan mengangkat derajat orang beriman yang taat kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang berilmu di antara mereka pada tingkatan derajat yang khusus (spesial). Kemuliaan derajat atas iman dan ilmu yang menghadirkan adab mulia. Di antara janji kemuliaan yang akan diraih adalah : (1) Ia akan diangkat kedudukannya sebagai-mana orang yang pernah hadir pada majelis ilmu bersama Rasulullah SAW. (2) ia akan diberikan pahala dan martabat tinggi sebagai hamba yang diridhai-Nya. (3) Allah akan memberikan pahala di akhirat dan kemuliaan ketika di dunia. Untuk itu, al-Maraghi menambahkan, bahwa derajat tersebut berupa kemuliaan dan matartabat yang tinggi di sisi-Nya. Meski mungkin penduduk Bumi tak pernah menghargainya, tapi seluruh penduduk langit akan selalu memuji dan menantikannya. Demikian janji Allah pada hamba-Nya yang berilmu, beradab, dan terpilih.

Sungguh, menuntut ilmu dan memiliki ilmu merupakan keperluan. Tapi, membingkai ilmu dengan adab dan membuahkan ilmu dengan bangunan peradaban jauh lebih penting. Ilmu bukan untuk disombongkan, tapi jadi penyuluh agar tawadhu’. Alangkah beruntung dan mulia pemilik ilmu berbingkai adab. Hal ini diumpamakan oleh Rasulullah melalui sabdanya :“Keutamaan ahli ilmu (beradab) dibanding ahli ibadah, bagaikan keutamaan bulan pada malam purnama dibanding bintang-bintang lain-nya” (HR. Ahmad,Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Perumpamaan yang begitu nyata, baik dari perbandingan kualiti cahaya dan jumlahnya. Andai perumpamaan yang dinukilkan Rasulullah di atas ditarik pada kehidupan, maka pemilik ilmu yang beradab bagaikan bulan purnama, ahli ibadah bagaikan bintang, maka pemilik ilmu yang tak beradab dan penuh kemunafikan bagai debu pekat di malam hari. Ia hanya menyebabkan kegelapan, menyakitkan mata, dan merusak kesehatan.

Andai melalui perumpamaan di atas tak juga membuat pemilik ilmu sadar diri, malu, dan termotivasi memperbaiki diri, maka berarti ia tak akan berpeluang meraih derajat kemuliaan di sisi Allah dan Rasul-Nya. Lalu, pada tingkatan mana setiap diri. Pilihan subyektif tentu ingin meraih tingkatan tinggi dan mulia, tapi penilaian Allah yang paling objektif dan utama. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)

Sumber: riaupos.jawapos.com

Translate »