Dalam dongeng fabel, konon awalnya kucing dan tikus merupakan sahabat yang akrab. Kemana saja kucing pergi, tikus selalu ikut bersama. Keduanya seakan tak terpisahkan. Namun, persahabatan keduanya berakhir menjadi permusuhan yang tak berkesudahan. Konon, awalnya terjadi gara-gara “sepotong ikan asin”.
Pada suatu hari, keduanya sepakat untuk mencuri ikan asin yang tergantung di rumah seorang petani. Untuk memuluskan rencananya, tikus mendapat tugas untuk memanjat ikan asin yang tergantung dan kucing menunggu di bawah menjaga bila ikan asin jatuh nantinya. Nanti, bila ikan asin yang jatuh menjadi hak kucing dan boleh dimakan.
Kucing setuju atas usul si tikus. Ketika malam tiba dan si petani lelap tertidur, dalam kegelapan malam kedua-nya melancarkan aksinya. Pembagian kerja dilaksanakan sesuai rencana yang disepakati. Tikus dengan gesit memanjat naik ke atas, meniti tali gantungan ikan asin. Sedangkan kucing dengan sabar menunggu ikan asin yang jatuh.
Begitu lama kucing menunggu, namun ikan asin tak pernah ada yang jatuh. Ternyata, tikus lupa dengan janjinya untuk berbagi dengan kucing. Dengan lahap, ikan asin disantap-nya sendiri dan habis tanpa sisa. Karena kekenyangan, tikus akhirnya terjatuh.
Kucing menyangka yang jatuh adalah ikan asin. Apatahlagi, bau yang jatuh menyisakan aroma ikan asin yang menyengat. Lalu, tikus yang jatuh diterkam dan disantapnya. Ketika itu, tikus berteriak “hai sahabat, aku tikus temanmu, bukan ikan asin”.
Tapi kucing tak peduli karena aroma yang keluar dari mulut tikus menimbulkan aroma ikan asin, bukan bau tikus. Akhirnya tikus mati dimakan kucing. Si kucing tak sadar (kegelapan malam) bahwa yang dimakannya adalah tikus sahabatnya. Sejak itu, hubungan silaturrahim antara kucing dan tikus terputus dan menjadi musuh bebuyutan. Sejak saat itu, kucing selalu memburu tikus dan memangsanya.
Sungguh, kisah tersebut mengandung pelajaran bagi manusia. Meski sekedar cerita fabel pengantar tidur, namun kisah antara kucing dan tikus kalanya hadir di dunia nyata, antara lain:
Pertama, Keserakahan membuat perseteruan dan putusnya silaturrahim. Keduanya saling membenci dan mencurigai. Meski awalnya berteman baik, namun hanya tatkala “kue” yang tak sama, keduanya saling menghabisi. Kucing tahu kelemahan tikus dan tikus tau kelemahan kucing. Keduanya saling mengetahui dan mencari kelemahan, serta saling curiga dan tak percaya.
Demikian halnya dalam kehidupan. Pertemanan hanya sepanjang kepentingan. Sedangkan keperluan hadir sepanjang zaman. Begitu tipisnya ikatan pertemanan bila berhadapan urusan keperluan.
Kedua, Tempo dulu, kucing ditakuti tikus. Sejak awal permusuhan, kucing mengintai, mengejar, dan menerkam tikus untuk disantapnya. Hanya melihat bayang atau suara kucing, semua tikus lari menyelamatkan diri. Sebab, kucing tak pernah memberi ampun menghajar dan melumat tikus sampai mati. Tapi, seiring kucing terbiasa menikmati makanan enak, ia tak lagi mau makan tikus yang busuk dan menjijikan.
Demikian manusia pemilik kebenaran sejak dulu ditakuti dan disegani oleh pemilik kesalahan. Namun, suguhan hidangan penuh nikmat membuat pelaku kesalahan tak lagi takut dengan nilai kebenaran. Mungkin, kebenaran “sedang kenyang” dan tak perlu memikirkan untuk memperbaiki kesalahan.
Ketiga, Saat kini, kucing takut dan justru dipermainkan oleh tikus. Nyali dan hasrat kucing untuk memangsa tikus telah sirna. Sebab, kucing sudah terbiasa makan ikan dan sereal yang lezat. Akibatnya, ia tak lagi suka makan tikus. Ia hanya sebatas mempermainkan tikus tanpa memakannya. Kondisi ini menjadikan tikus “merasa lebih aman”. Bahkan, ketika kucing mendapatkan makanan enak dan kenyang, ia justru takut dengan tikus, apatahlagi pada tikus berukuran besar (tikus got atau selokan). Kondisi ini mengakibatkan perkembangan komunitas tikus semakin tak terbendung. Tikus justru banyak mati karena terlindas kendaraan, bukan mati akibat terkaman atau dimakan oleh kucing.
Mungkin kucing saat ini telah kehilangan taring atau nafsu, sementara kemampuan tikus semakin meningkat, bahkan bagaikan kekuatan naga. Bila hal ini terjadi, maka tikus akan menjadi “raja dunia”, mengalahkan singa atau harimau yang hanya sebatas raja hutan. Hal ini terjadi tatkala kucing kehilangan wibawa dan nalurinya untuk membasmi tikus. Sebab, kucing telah lupa atas jati dirinya. Kucing telah terbelenggu oleh asupan “ikan segar” yang nikmat dan selalu mudah didapat.
Namun, kucing tetap tampil elegan. Meski ia tak lagi memakan tikus, tapi ia masih bisa mempermainkannya. Permainan sekadar melemahkan tikus agar makanan-nya tak diambil oleh tikus. Sungguh, fenomena yang merubah karakter kucing terhadap tikus seakan memberikan pelajaran berarti. Ternyata, kesenangan dan kenikmatan dunia telah merubah karakter diri. Semua lupa pada tujuan awal yang luhur dan telah diikrarkan dihadapan Allah SWT. Ikrar sebatas janji yang kalanya dilupakan. Ikrar hamba pada Allah saja dilupakan, apatahlagi ikrar hamba pada sesamanya akan semakin mudah terlupakan. Padahal, Allah telah ingatkan janji tersebut melalui firman-Nya : “…..Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami)… (QS. al-A’raf : 172).
Meski sejak dunia terkembang permusuhan kucing dan tikus telah ada. Namun, pergeseran nilai dan dinamika kepentingan menjadikannya tak lagi berseteru. Justru sebaliknya, hanya tersisa perseteruan antara sesama kucing atau sesama tikus. Perseteruan untuk memperebutkan pembagian “makanan dan wilayah” yang tak sama. Semua bermuara pada sifat serakah yang tak pernah bertepi.
Akibat keserakahan dan merasa nyaman menikmati “makanan lezat”, justru yang menjadi musuh kucing dan tikus adalah teman sejenisnya. Untuk menggapai apa yang diinginkan, justru kedua jenis hewan ini sibuk saling mencari kelemahan sesama jenisnya. Semua disebabkan hanya alasan perebutan “makanan” yang lezat dan melupakan permusuhan warisan leluhurnya.
Sungguh, fenomena yang terjadi di dunia kucing dan tikus saat ini, terkadang berimbas pada dunia manusia dan mungkin semua makhluk. Dulu, kebenaran dan kesalahan tak pernah bertemu. Pemilik jalan kebenaran istiqomah meluruskan perilaku kesalahan. Pemilik kesalahan selalu takut pada pemilik kebenaran. Sebab, hanya pemilik kebenaran yang mampu mengalahkan pemilik kesalahan.
Demikian adanya sunnatullah yang terjadi sejak alam terkembang. Namun, ketika manusia tak lagi mengikuti aturan Allah dan Rasul-Nya, serta berperilaku yang bertentangan dengan akal dan hatinya. Bila kondisi ini terjadi, maka alam semesta akan binasa. Semua terjadi tatkala pemilik kebenaran justru takut terhadap pemilik kesalahan. Orientasi pemilik kebenaran bukan meraih keshalehan, tapi justeru berpihak pada pemilik kesalahan. Kebenar-an hanya sebatas ungkapan lisan. Sementara sejak hulu sampai ke hilir, apa yang diraih hanya melalui tumpukan kesalahan.
Andai upaya pelurusan dilakukan, maka berbagai upaya “pembungkaman” dilakukan agar terbangun ketakutan. Bila saat itu terjadi, peradaban akan “membisu” dan pemilik kebenaran hanya mampu sekadar “bermain-main” dengan pemilik kesalahan, tanpa mampu menyentuhnya. Akibatnya, perilaku kesalahan merasa (dianggap) benar dan pemilik kebenaran dianggap salah.
Fenomena di atas bisa terjadi pada waktunya andai prilaku kucing dan tikus terjadi di dunia manusia. Semua hanya disebabkan oleh “makanan” yang tersedia bersamaan hilangnya harga diri, matinya hati nurani, dan tumpulnya akal sehat.
Bila kucing kehilangan kekuatan, maka tikus akan semakin merajalela. Ketika hal ini terjadi, berbagai penyakit akan merebak dan mudah tertular. Apatahlagi tatkala imun (iman) diri telah sirna dan rasa malu telah punah, maka harga diri tergadaikan. Andai ini yang terjadi, maka peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan akan mudah diluluhlantak-kan oleh nilai kehewanan.
Ketika kepunahan peradaban terjadi, hadir upaya mencari “kambing hitam” untuk dijadikan tumbal penebus kesalahan.
Berbagai upaya penyelamatan dilakukan agar dipandang mulia. Strategi fitnah, adu domba, menjilat atau mencari muka, dan sejenisnya tanpa malu dilakukan secara fulgar.
Tujuannya agar bisa mendapatkan apa yang diinginkan atau menyelamatkan diri dari kesalahan yang menjerat atau menumpuk. Ketika kondisi ini terjadi, maka hadir manusia berkarakter sejenis (pelaku serupa) yang saling membantu agar kedua-nya rukun.
Akhirnya, tikus semakin berani “melanggang” meski di depan kucing. Mungkin, saatnya kucing dan tikus akan makan ikan bersama yang diselingi canda tawa. Bila hal ini terjadi, mungkin keduanya telah melupakan “sumpah leluhur”. Atau mungkin kucing dan tikus telah melakukan rekonsiliasi (berdamai). Sebab, keduanya telah menikmati dan dimanjakan oleh model makanan modern yang lezat dan mengenyangkan.
Fenomena kebencian kucing terhadap tikus yang terjadi selama ini, ternyata mengalami perubahan yang signifikan. Begitu pula sifat manusia, awalnya benci berubah suka atau suka menjadi benci. Sifat suka yang bermuara sanjungan tak bertepi. Suka karena hajat telah sampai. Sementara sifat benci tak pula bisa diobati. Kebencian yang disebabkan kekerdilan yang melihat diri paling sempurna dan menilai lawan posisi hina. Bait gurindam penulis sajikan, pedoman hidup bagi diri dan setiap insan :
“Sadarlah wahai diri, saling merendahkan tak membuatmu menjadi tinggi. Menghina sesama, tak membuatmu jadi mulia. Membuka kelemahan sesama, justru membuka aibmu jua. Gemuruh sanjungan akan menutupi pintu hati, taburan pujian tak mampu mengharumkan busuknya diri. Benci hanya menghanguskan rerumputan, tapi tak mampu menghadirkan kesuburan.
Untuk apa memiliki ilmu, tapi tak jadi panutan dan digugu. Untuk apa bersolek jasmani, bila rohani beraroma busuk dan berkudis. Jadilah diri apa adanya, suluh diri pada agama. Bersikap tawadhu’ patut ditiru, jaga adab tanda berilmu. Menyebar aroma kasturi wangian surga, memberi manfaat alam semesta” (SN).
Sungguh, fenomena permusuhan kucing dan tikus tak lagi mengikuti sumpah leluhurnya. Akibatnya, kucing kehilangan taring dan kuasa, sementara tikus semakin merajalela. Kucing tak lagi bisa “menjaga rumah”, sebab rumah telah dikuasai tikus sepenuhnya. Seiring dinamisnya populasi tikus, mungkin pada waktunya justru manusia akan takut dan dipermainkan oleh “kawanan tikus” yang semakin lihai dan pintar. Bisa jadi pada waktunya tikus akan memperoleh dan dianugerahkan gelar untuk menunjukan intelektualitasnya. Sungguh, dunia tetap berputar sesuai sunnatullah. Hanya saja, isinya acapkali yang berubah melanggar aturan yang telah ditetapkan-Nya.
Entah apa lagi perubahan isi alam yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Namun, semua tak lepas sebagai ayat Allah pada manusia pilihan untuk bisa mengambil pelajaran atas semuanya. Atau, mungkin semua ini pertanda akhir zaman. Meski jelas terjadi dipelupuk mata, namun manusia menjadi jahil dan dibutakan kenikmatan duniawi yang menyilaukan, membelenggu, dan menyesatkan. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***
Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)
Recent Comments