Secara hakikat, perjalanan haji dan umrah merupakan kehadiran hamba atas undangan Allah pada hamba pilihan. Undangan untuk melihat kualitas ke-Islaman dan keimanan hamba-Nya, baik melalui napak tilas (historis) secara syariat maupun bangunan rasa (iman) secara hakikat.

Berbagialah diri menjadi hamba yang memperoleh undangan menjadi tamu-Nya. Sebab, masih tersisa hamba yang secara syar’i telah memenuhi syarat, namun belum tergerak hatinya untuk menunaikan haji atau umrah. Hal ini pertanda hamba yang tak memperoleh undangan dan “dikenal-Nya”.

Secara syariat, haji merupakan upaya hamba untuk menyempurnakan wujud ke-Islam-an dan keimanannya. Tentu melalui ketuntasan syahadat, shalat, puasa, zakat, dan keyakinan secara totalitas (kaffah) pada seluruh komponen rukun iman.

Perintah melaksanakan haji dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu (melakukan perjalanan ke Baitullah)…” (QS. Ali Imran : 97).

Secara syariat, para fuqaha memaknai kata “mampu” pada ayat di atas meliputi : (1) sehat jasmani dan rohani. (2) cukup perbekalan bagi yang berangkat dan keluarga yang ditinggalkan. (3) aman selama perjalanan.

Ketiga makna “mampu” di atas menjadi ukuran perintah haji. Meski bila dianalisa atas fenomena yang terjadi pada setiap pelaksanaan haji (era modern), perlu ada persyaratan tambahan atas makna “mampu” yang dimaksud. Adapun persyaratan yang dimaksud antara lain:

Pertama, penguasaan ilmu yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji. Meski pemerintah telah melakukan kebijakan dengan program manasik haji, namun bila dilihat secara objektif, program manasik tidak berjalan maksimal sesuai.harapan ideal. Adapun penyebabnya antara lain: (1) pendekatan manasik pada tataran teoriitis. Sementara jamaah haji yang akan berangkat didominasi kelompok lansia yang tak mampu menyimpan teori yang disampaikan. Padahal, perkembangan psikologi manusia berbeda sesuai ukuran usianya. (2) materi yang disampaikan lebih pada kajian teks book yang panjang dan acapkali sulit dilaksanakan tatkala dilapangan. Perlu pengelompokan materi sesuai usia jamaah. (3) pendekatan psikologi perkembangan (usia lansia) perlu menjadi peehatian dalam manasik.

Kedua, pendampingan (mahrom) jamaah lansia yang dilakukan melalui penunjukan tertulis, tanpa ijab qabul  (antar penerima dan keluarga), dan kesiapannya menerima amanah yang dimaksud. Akibat mahrom sebatas administratif, maka tanggung jawab terhadap jemaah lansia hanya sebatas pemenuhan syarat tertulis dan sulit terealisasi ketika dilapangan. Sebab, secara normatif-teoritis, jamaah tentu lebih memprioritaskan kesempurnaan ibadahnya ketimbang mahrom yang dititipkan. Apatahlagi bila jamaah tersebut membawa muhrim langsung (istri, anak, atau orang tuanya) yang menjadi kewajiban utamanya. Apatahlagi bila eksistensi mahrom titipan dalam kondisi uzur syar’i (jasmani atau mental) akan menambah tanggung jawab yang harus dipikulnya. Untuk itu, pemerintah melalui kementerian Agama dan keluarga jamaah yang akan dititipkan perlu bijaksana untuk menetapkan mahrom yang akan menerima titipan, bukan sekedar penunjukan untuk melengkapi adminitrasi belaka. Sebab, tanggung jawab mahrom di lapangan sangat berat, bukan sekedar pelengkap administrasi belaka.

Ibadah haji bukan rangkaian “permainan” yang dituduhkan kaum kafir, pamer kesalehan, perjalanan “shoping” bak turis, atau sekadar memperoleh “status haji”. Apatahlagi bila momentum haji hanya dijadikan untuk memperoleh keuntungan tertentu. Sebab, haji adalah aktivitas ibadah jasmani dan rohani sebagai wujud ketundukan dan penghambaan setiap diri. Di dalamnya terdapat aktivitas syariat dan nilai hakikat yang mulia. Sebab, aktivitas haji terkumpul gemuruh rasa hamba yang beradab, penuh pengharapan (munajat), rindu, ketundukan, ikhlas, tawadhu’, kepasrahan, kesyukuran, dan ketakjuban atas semua kuasa-Nya.

Secara hakikat, haji merupakan undangan-Nya yang penuh misteri. Kemisterian haji sebagai undangan-Nya dapat dilihat pada beberapa indikasi, antara lain : (1) Tak semua jamaah haji berasal dari strata masyarakat yang kaya secara materi dengan perbekalan yang melimpah. Sebab, tak sedikit jamaah yang berangkat berasal dari strata ekonomi menengah ke bawah dengan perbekalan materi yang pas-pasan. Bahkan, tak sedikit di antaranya belum pernah naik pesawat dan keluar negeri. (2) Tak semua jamaah haji memiliki kondisi fisik yang kuat, tapi gejolak hatinya yang rindu hadir di Baitullah, menghadirkan kekuatan yang tak bisa dilogikan. (3) Tak semua jamaah haji memiliki ilmu dan berpendidikan tinggi. Bahkan, sebagian jemaah tak pernah mengenyam pendidikan (buta huruf) dan tanpa pengalaman.

Meski kondisi di atas terjadi, namun Allah mengundang mereka sebagai tamu-Nya. Sementara, dalamntataran realitas tak sedikit yang mampu secara materi, sehat bugar secara jasmani dan rohani, berilmu dan berpendidikan (tinggi), bahkan hampir setiap waktu melanglang buana seantero dunia, namun tak pernah memperoleh undangan-Nya (rindu) ke Baitullah. Padahal, kelompok ini telah memenuhi persyaratan menunaikan haji secara syariat, namun mengalpakannya. Padahal, Rasulullah telah mengingatkan melalui sabdanya : “Wahai manusia, sungguh Allah telah mewajibkan haji atas kamu sekalian, maka kerjakanlah haji” (HR. Muslim).

Perjalanan ke baitullah pada hakikatnya merupakan undangan Allah pada hamba-Nya yang terpilih. Pada dasarnya, nikmat undangan-Nya dapat dikategorikan pada 3 (tiga) alasan, antara lain :

Pertama, hamba yang dikenal Allah atas kualitas hati atau amaliah yang dilakukan sebelumnya. Ketika ia selalu mengingat dan mengenal-Nya (keadaan sempit dan lapang), maka Allah akan mengingat dan mengenalnya. Tipikal tamu yang demikian senantiasa beradab dan mengisi waktu untuk meningkatkan amaliah sebaik mungkin selama di haramain. Kehadirannya memenuhi undangan Allah sebagai sosok hamba yang mengharap ampunan dan cinta-Nya semata. Hadir kesyukuran dan rindu yang tak bertepi hanya untuk-Nya semata. Pemilik tipikal ini merupakan tamu yang dinantikan-Nya.

Kedua, Kesempatan untuk muhasabah diri bagi hamba yang selalu lupa atau melupakan “nikmat-Nya”. Hal ini merupakan bentuk rahman dan rahim-Nya. Namun, tipikal ini kalanya hadir dengan iman yang bertepi. Akibatnya, terjadi keimanan yang fluktuatif. Tipikal sosok tamu yang demikian terbagi menjadi 3 (tiga) karakter, antara lain : (1) sadar atas kesalahan dan kelalaian diri. Untuk itu, ia berusaha meraih kesempatan untuk membersihkan noda dan dosa yang ada. (2) menggunakan kesempatan untuk meraih “status” shaleh. Amaliahnya hanya sebatas penyelesaian rukun  dan syarat (melihat hidangan), bukan menikmati kelezatan “hidangan” yang disuguhkan Allah padanya. Akibat-nya, aktivitas selama di haramain bagai perjalanan biasa, layaknya sebagai turis belaka. Aktivitasnya dipenuhi swafoto dan gebu shoping selama di haramain. (3) tanpa rasa dan menganggap haramain bagai di negerinya sendiri. Apa yang menjadi kebiasaan selama di Tanah Air akan terbawa dan dilakukan pula selama di haramain. Hal ini terjadi tatkala sebelum berangkat menuju baitullah, muhasabah keinsafan diri tak dilakukan dan niat tak pula diluruskan. Untuk itu, wajar bila viral beberapa prilaku jamaah selama di tanah suci. Ada yang sibuk membuat video untuk konten di media sosial, euforia berlebihan dalam beribadah yang mengganggu atau menarik perhatian, bahkan sibuk main game di gadgetnya meski di depan baitullah. Sungguh, perilaku ini merupakan salah satu wujud kebiasaan yang dilakukan ketika di tanah air. Mungkin masih tersisa kebiasaan yang tak menunjang ibadah di haramain yang masih dilakukan ketika menjadi tamu-Nya.

Secara sederhana, bagai tamu yang datang pada undang pernikahan. Ada yang datang untuk menghormati dan bersilatur-rahim dengan tuan rumah, ada yang ingin menikmati hidangan yang disediakan, ada yang sekedar pamer asesoris yang dimiliki, ada yang ingin menanam “investasi” bila ia melakukan acara yang sama, ada yang hanya ingin melihat kondisi dan kualitas majelis yang mengundang, ada yang usil atau masa bodoh, dan berbagai varian alasan lainnya. Demikian sifat dan karakter segelintir manusia. Semua tentu sangat tergantung pada niat dan karakter sosok tamu yang diundang.

Ketiga, hamba yang secara hakikat diundang oleh Allah, tapi melalui cara “subhat” (berbagai alasan yang dibuat). Sungguh, cara ini telah mengambil “hak” hamba lain yang seyogyanya menjadi tamu-Nya. Meski semua gerak hanya milik-Nya, tapi pilihan melalui jalan “subhat” merupakan cara Allah memperlihatkan karakter diri hamba yang sebenarnya. Ia sekedar tamu-Nya, tapi derajat tamu yang “berbeda” kualitasnya. Hal yang demikian secara tak disadari telah memperlihat kebiasaan yang selama ini dilakukan. Untuk itu, Rasulullah SAW telah mengingat-kan melalui sabdanya : “Barangsiapa yang mengambil hak orang lain walau hanya sejengkal tanah, maka akan dikalungkan ke lehernya (di hari kiamat) seberat tujuh lapis bumi” (HR. Bukhari dan Muslim).

Meski hadis di atas meunjuk pada prilaku khusus (persoalan tanah), tapi sifatnya bermakna lebih luas. Akibatnya, upaya menjadi tamu-Nya melalui cara “subhat” akan sulit memperoleh manisnya nilai-nilai ibadah, apalagi membekas pada dirinya setelah kembali ke tanah air. Perilakunya acapkali tak mengalami perubahan berarti.

Sungguh, indikator kenikmatan amaliah ada pada atsar pasca beribadah. Hal ini merujuk pada firman Allah : “….. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud (bercahaya)…..” (QS. al-Fath : 29).

Menurut Buya Hamka dalam tafsir al-Azhar, kata atsar al-sujud pada ayat di atas dimaknai secara zahir dan batin. Secara zahir, wajah yang “bersinar”, beradab, dan berperilaku mulia. Sedangkan secara batin hadir keikhlasan, tawadhu’, amanah, jujur, dan sifat mulia lainnya. Atsar atas lahir dan batin hamba yang demikian pertanda buah atas semua amal yang dilakukannya.

Untuk meraih atsar amaliah tentu perlu menghadirkan sisi penghambaan yang tulus. Penghambaan sebagai keperluan, bukan sebatas melakukan kewajiban. Munajat pinta penuh harap pada-Nya diapungkan. Perbanyak mengingat-Nya dalam setiap denyut nadi. Isi seluruh pori-pori untuk berharap cinta-Nya. Alirkan asma-Nya dalam setiap aliran darah dan hentakan napas kehidupan. Ketika semua ini dapat diraih dan dimiliki, maka tak ada kenikmatan tertinggi selain hanya ketika bisa bersama-Nya.

Namun, tatkala bekas amal (atsar) tak mampu diperoleh, pertanda amal sebatas pepatah “bagai air di daun keladi (talas)”. Ia hanya sekedar membasahi seketika, namun sirna tak berbekas setelah hujan berhenti. Atau pepatah lain menyebutkan “bagai melukis di atas air”. Semua yang dilakukan hanya hampa belaka. Sebab, ibadahnya sebatas kewajiban (syarat dan rukun), beramal hanya berharap pundi pahala, menghadirkan Allah bila ada kesempitan dan lupa pada saat memiliki kelapangan, mengedepankan asesories keshalehan untuk menutupi kesalahan, dan hilang keikhlasan oleh dominasi harap keuntungan atau sanjungan.

Padahal, kesempatan menjadi “tamu Allah” berkunjung ke baitullah demikian agung. Begitu banyak kemuliaan ditunjukan-Nya. Sejak keberangkatan, selama di haramain, bahkan ketika kembali ke tanah air. Berduyun penduduk bumi menghantar dan menyambut dengan kemuliaan. Moga penduduk langit melakukan hal yang sama terhadap para tamu Allah (dhuyuf ar-rahman) yang berharap dan mempertahan-kan atsar adab selama menjadi tamu-Nya. Semoga hamba yang dhaif  ini (berikut keluarga penulis), serta semua yang sedang atau pernah menjadi tamu-Nya memperoleh atsar atas kualitas haji yang mabrur. Demikian pula bagi hamba yang belum mendapat kesempatan menjadi tamu-Nya, minimal memperoleh percikan cinta-Nya sebagaimana hamba pilihan yang memperoleh kualitas haji mabrur. Aamiin Yaa Rabb al-‘Aalamiin. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Oleh: Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar STAIN Bengkalis

Translate »