Bagi manusia, kehadiran sepasang sandal (atau varian nama lainnya) merupakan benda yang tak asing lagi. Eksistensinya bukan sebatas asesories, tapi keperluan manusia untuk melindungi kaki dari berbagai kotoran, penyakit atau bahaya lainnya.
Namun, fungsi utama sandal acapkali dikalahkan oleh tujuan untuk menunjukan status diri dengan kualitas sandal yang dipakai. Meski tujuan ini tak salah, namun perlu dipagar dengan hati yang tawadhu’ agar tak muncul riya’ pada diri. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya: “Janganlah engkau berjalan di Bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus Bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung” (QS. al-Isra’ : 37).
Meski sandal atau sepatu sering digunakan dan begitu dekat dalam aktivitas manusia sehari-hari, namun kehadirannya hanya sebatas dipakai saja. Sementara pesan Allah melalui sandal atau sepatu tak sempat dipikirkan dan diambil pelajaran dalam kehidupan. Bagi kaum ulul albab, ada beberapa pelajaran dari sepasang sandal, antara lain :
Pertama, sepasang sandal hadir untuk melindungi kaki, bukan untuk menyakiti. Demikian sesama muslim seyogyanya saling melindungi, bukan saling khianat dan menghabisi. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (wahai umat Islam) tidak menjalankan (dasar membantu dan melindungi sesama umat Islam sendiri yang diperintahkan oleh Allah) itu, niscaya akan berlakulah fitnah (kekacauan) di muka Bumi dan kerusakan yang besar” (QS. al-Anfal : 73).
Ayat di atas begitu jelas sikap yang harus dilakukan umat Islam. Tentu pelindung yang dimaksud pada dimensi kebenaran dan kemampuan yang sesuai Al-Qur’an dan hadis. Andai pilihan justru sebaliknya –berbagai alasan–, maka berarti pilihan yang bertentangan dengan firman-Nya.
Kedua, sandal diinjak tapi tak pernah membalas (menginjak). Ia ikhlas atas posisi dan tugasnya untuk melindungi kaki. Meski setelah melaksanakan tugasnya melindungi, menopang tampil anggun, dan menunjang tugas manusia, sandal diletakkan begitu saja. Sungguh, manusia acapkali tak tahu balas budi atau berterima kasih pada sepasang sandal. Setelah dipakai, ia diletakkan bak barang bekas.
Meski demikian, sandal tak pernah mengumpat, berbuat zalim, balas dendam, atau mencungkil buruk dan busuknya kaki yang dibungkusnya. Sendal ternyata mengimplementasikan ajaran dan pesan Rasulullah SAW :“Wahai orang yang beriman dengan lisannya, tetapi tidak beriman dengan hatinya. Janganlah kamu mengumpat kaum muslimin dan janganlah membuka aib mereka. Barang siapa membuka aib saudaranya, niscaya Allah akan membuka aibnya dan siapa yang dibuka Allah akan aibnya, niscaya Allah akan menunjukkan aibnya, meskipun dirahasiakan di lubang semut” (HR. Tirmidzi).
Sementara manusia berpolah sebaliknya. Ingin selamat dengan menganiaya, ingin dipandang mulia dengan menghina sesama, ingin selalu diingat tapi acapkali melupakan, ingin dipuji tapi mencaci maki, ingin tampil saleh tapi selalui berbuat salah, selalu berjanji tapi mengkhianati, tampil bak manusia alim tapi berbuat zalim, dan varian sikap keji lainnya.
Ketiga, meski di bawah, tapi sandal mengemban tugas mulia untuk menopang penampilan dan menjaga si pemakai. Allah berfirman : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. al-Maidah : 2).
Sandal tak pernah “memaksa” untuk ditempatkan pada posisi di atas. Ia sadar bahwa berbuat baik bisa pada posisi di mana saja. Meski di bawah, ia berikan kebaikan pada si pemakai. Sementara, andai sendal diletakkan di atas, maka justru akan lucu dan membawa fitnah atau keburukan pada si pemakai.
Tapi, sebagian manusia justru sebaliknya. Seakan, hanya posisi di atas lebih mulia. Ia tak sadar atas kepatutan dan kepantasan dirinya. Padahal, ketika diposisikan di atas hanya membuat “keanehan” semata. Ia tak memberikan manfaat, tapi hanya akan menjadi celaan dan mudharat belaka.
Keempat, sandal yang selalu disemir akan mengkilap. Sementara sandal yang tak pernah disemir akan kusam. Demikian manusia dalam melaksanakan perannya sebagai ‘abd dan khalifah di muka bumi. Bila sendal mengkilap ketika selalu disemir, maka manusia akan berkualitas bila senantiasa belajar, berkumpul dengan majelis ilmu, terbuka untuk menerima kritik dan nasehat, serta senantiasa tawadhu’ dan beradab mulia. Tapi, andai kualitas hati dan pikiran tak diasah, maka wujud karya tak pernah hadir. Ia hanya sebatas “mentimun bungkuk” yang tak pernah memberi pengaruh dan manfaat.
Kelima, sandal akan nyaman dipakai bila sesuai ukuran kaki. Untuk itu, kaki perlu bersandar pada ukuran sendal yang akan dipakai, bukan memaksa sandal yang harus sesuai ukuran kaki atau memaksa kaki yang tak sesuai ukuran sandal. Bila ukuran sandal sesuai ukuran kaki, maka akan diperoleh kenyamanan. Firman Allah:
““Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan-nya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakan-nya…” (QS. al-Baqarah : 286).
Ayat di atas dijelaskan oleh Rasulullah melalui sabdanya: “Apa yang aku larang hendaklah kalian menjauhinya, dan apa yang aku perintahkan maka lakukanlah semampu kalian. Sesungguhnya binasa-nya orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka banyak bertanya dan karena penentangan mereka terhadap para nabi mereka” (HR. Bukhari Muslim)
Ketika perintah atau larangan di atas dikaji secara mendalam, maka ukurannya adalah pada Allah SWT dan Rasulullah SAW, bukan pada akal dan nafsu manusia. Hal yang sama, ukuran kaki perlu bersandar mengikuti ukuran sandal yang ada. Bila demikian, kaki harus mencari ukuran yang sesuai. Sebab, sandal tak memiliki akal. Ia dibuat sesuai ukuran umumnya kaki, bukan kaki yang mengikuti ukuran sandal. Logika ini menghantarkan pada makna, bahwa bila kaki berukuran kecil, maka carilah sandal berukuran kecil. Jangan disebabkan nafsu, kaki yang kecil menginginkan sandal yang berukuran besar. Demikian sebaliknya.
Bila kaki tak menyesuaikan diri dengan ukuran sandal, maka tak mungkin diper-oleh kenyamanan dan fungsinya. Bila dipaksakan, maka akan ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu kaki yang lecet dan sakit atau sandal yang akan koyak.
Begitulah dalam kehidupan ini. Terkadang yang terjadi kemampuan yang terbatas, tapi ingin menguasai persoalan yang luas (besar). Akibatnya, kehancuran akan terjadi dan tak dapat dihindari.
Keenam, pilihan jenis sandal yang baik bila dipakai sesuai kondisi dan posisi yang memakai. Sandal pekerja kebun tentu berbeda dengan pekerja kantoran. Sandal pesenam tentu beda dengan pemain sepak bola. Begitu pula bila dilihat pada kondisi, penggunaan sandal pada acara santai tentu berbeda pada acara formal, dan lain sebagainya.
Penggunaan jenis sandal yang sesuai kondisi dan posisi si pemakai merupakan bentuk kualitas diri dan jenis amanah yang diberikan. Andai diperoleh kualitas sesuai amanah, maka akan terbangun peradaban yang berkualitas. Namun bila sebaliknya, maka kehancuran dipelupuk mata. Sebab, bila pembohong (penipu) menjaga kejujuran, pencuri menjaga harta, manusia rakus menjaga makanan, manusia bodoh menjaga ilmu, pemfitnah menjaga persatuan, kriminal menjaga hukum, harimau menjaga kambing, atau musang menjaga ayam, maka semua akan memetik kekecewaan. Sebab, semua yang dimanahkan akan punah, bahkan peradaban kemanusiaan akan hancur. Sebab, semua yang diamanahkan akan sirna tanpa tersisa.
Semua hal di atas terjadi disebabkan kesalahan manusia yang menitipkan amanah pada orang yang tak tepat dan tanpa berpikir bijak.
Sementara penerima amanah berupaya memperoleh apa yang bukan haknya dengan menghalalkan segala cara. Padahal, alam semesta telah mengajarkan, tatkala Allah memberikan amanah pada Bumi, gunung, dan langit untuk menjadi khalifah, maka semuanya sadar atas ketidakmampuannya. Amanah yang akan diberi Allah justru “ditolak” dengan bijak. Sebab, mereka sadar atas ketidakmampuannya. Berbeda dengan manusia, meski sadar tak mampu tetap berkeinginan dengan hasrat menggebu. Allah mengingatkan melalui firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikul-lah amanat itu oleh manusia. Sesungguh-nya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh” (QS. al-Ahzab : 72).
Begitu terang ayat Allah agar manusia menyadari, bukan mengingkari. Hanya dengan bersikap bijak akan bermuara kebajikan.
Ketujuh, sepasang sandal berbeda posisi, tapi saling mengisi dan setia. Bersama kaki kanan dan kiri, ia selalu rukun. Ke mana kaki melangkah, ia akan ikut bersama. Keduanya harmonis dalam keikhlasan dan tak saling mengkhianati. Sandal kanan tak memandang dirinya mulia dan sandal kiri tak pula hina. Demikian simbol bangunan keikhlasan dan kemuliaan adab. Jasmani menampilkan sikap mulia seirama dengan sifat rohani yang ikhlas. Pada tingkatan ini, manusia kalanya tak mampu meniru sepasang sendal. Tampilan ikhlas lahiriyah acapkali tak berkorelasi dengan keikhlasan pada sisi batiniyah. Akibatnya, terhadap dirinya (jasmani dan rohani) saja ia dustai, apatah-lagi terhadap yang di luar dirinya. Kondisi ini mengakibatkan kualitas manusia lebih rendah dari sepasang sendal, bahkan hewan. Hal ini telah diingatkan Allah SWT : “… mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga tapi tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang, bahkan mereka lebih sesat lagi…” (QS. al-A’raf : 179).
Seyogyanya, manusia tersentuh pada ayat-Nya di atas. Sebab, “hidup ada batas masanya. Hadirkan bakti yang dikenang sepanjang masa”. Sepasang sendal tak pernah menjadi “batu api”, menghasut kaki agar ingkar janji, pongah, dan arogan.
Kedelapan, nilai sandal akan menaikkan penampilan pemakai. Sedangkan status pemakai akan menaikkan nilai sandal. Si pemakai dan sandal saling melengkapi, bukan saling mengkhianati. Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian, tetapi Ia melihat hati dan amal kalian” (HR. Bukhari).
Demikian dalam kehidupan. Manusia yang berhasil dan hebat hadir melalui kerjasama yang harmonis. Tak mungkin hadir sebuah kehebatan secara individual. Keberhasilan hadir melalui proses yang panjang, bukan sekonyong-konyong. Kondisi ini semakin diperparah tatkala hadir manusia “penjilat” yang mencari muka. Pujian selangit karena muslihat semata. Politik belah bambu dilakukan dengan mengijak sisi lain (lawan) agar terangkat dirinya.
Ketika manusia melupakan proses dan kontribusi sesama (sebelum dan pada masanya), berarti telah hadir sifat angkuh pada dirinya. Hal ini hadir disebabkan ia tak memiliki sifat menghargai, tapi hanya ingin dihargai. Andai demikian, pada waktu-nya ia akan gagal dan tak akan dihargai.
Seyogyanya, manusia bisa belajar dari sepasang sandal. Keduanya harmonis saling menaikkan martabat, bukan saling membabat. Sebab, tak ada kanan bila tanpa kiri, tak ada wujud sekarang tanpa wujud sebelumnya (dulu). Sungguh, tak ada manusia yang hebat bila tak saling membantu dan menghargai. Demikian janji Allah dalam rangkaian firman-Nya.
Terkadang, manusia seyogyanya malu dengan sepasang sendal. Sebab, keharmonisannya memberi manfaat bagi manusia. Sementara, hal tersebut kadangkala tak ditemukan pada manusia (konon berilmu), tapi tak beradab. Masihkah mengatakan diri hebat dan mulia, tatkala berhadapan dengan sepasang sandal saja ternyata manusia tak mampu beradab, ikhlas, dan berbuat kebaikan pada sesamanya. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***
Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)
Recent Comments