Boleh jadi setiap orang memiliki kebiasaan-kebiasaan baik dalam hubungannya dengan sesama manusia. Sayangnya, kebiasaan baik itu kadangkala ditinggalkan oleh seseorang ketika ia telah memiliki jabatan atau kedudukan. Namun, tidak demikian halnya dengan Khalifah Abu Bakar Ash Shiddik. Baginya, jabatan atau kedudukan adalah penambah amal shaleh yang membuat amal yang biasa dilakukan sebelum menjadi khalifah tidak harus ditinggalkan, meskipun hal itu masalah yang sangat teknis. Inilah salah satu sebab yang membuatnya menjadi agung.
Abu Bakar memiliki banyak tetangga yang harus ia perlakukan sebaik mungkin, apalagi diantara mereka ada- lah janda para syuhada dan anak-anak yatim. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, ia biasa mengunjungi rumah-rumah itu dan memerahkan susu domba mereka. Bahkan, anak-anak yatim dikunjungi juga untuk memasakkan makanan bagi mereka.
Ketika menjadi khalifah, banyak orang menduga Abu Bakar akan meninggalkan kebiasaannya yang satu ini sehingga terjadi kesenjangan hubungan antara pemimpin dengan rakyatnya. Pada kenyataannya, dugaan mereka itu sama sekali tidak terbukti.
Suatu ketika, Abu Bakar mendatangi rumah yang biasa didatanginya sebelum menjadi khalifah. Ketika seorang gadis kecil membukakan pintu dan mempersilahkannya masuk, ia berseru, “Bu, Pemerah susu kita datang.”
Dengan terburu-buru, sang ibu menemui anaknya dan tentu saja ia amat terkejut karena yang datang adalah seorang khalifah. Dengan perasaan yang amat malu, ia berkata kepada anaknya: “Bodoh kamu, mengapa tidak kamu sebutkan khalifah Abu Bakar yang datang?”
Dengan penuh kesantunan, Abu Bakar berkata, “Biarlah, tidak apa-apa. Sungguh, ia telah memanggil namaku dengan pekerjaan yang paling aku sukai terhadap Allah.”
Tidak heran, Abu Bakar, yang meskipun telah menjadi kha- lifah, tetap saja melanjutkan pekerjaannya itu, bahkan ia juga membuat adonan untuk membuat roti bagi anak-anak yatim.
Ketika seseorang telah menjadi pemimpin dengan menduduki suatu jabatan yang penting bukan berarti ia hanya mau mengerjakan hal-hal yang besar dan strategis. Hal-hal penting meskipun kecil dan sangat teknis tetap saja harus dilakukannya. Sahabat Umar bin Khattab bercerita, “Di dekat rumahku, tinggal seorang wanita tua yang tidak mempunyai siapa-siapa yang bisa melayaninya. Aku ingin melayaninya. Aku lalu pergi ke rumahnya dengan maksud memenuhi keperluannya. Akan tetapi, wanita tua itu menjawab, “Sudah ada seorang laki-laki yang lebih dahulu memberikan bantuan kepadaku.” Aku pun menunggu laki-laki itu agar aku tahu siapa dia sebenarnya. Setelah shalat dzuhur orang yang dimaksud datang, dan ternyata dia adalah Khalifah Abu Bakar Ash Shiddik.”
Demikianlah, Khalifah Abu Bakar yang tanggungjawab sosialnya semakin dimantapkan dan dibuktikan, sesuatu yang amat sulit kita dapati pada para pemimpin zaman sekarang.
Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah:
1. Jabatan atau kedudukan sebagai pemimpin bukanlah sesuatu yang bersifat gengsi yang harus dibangga-banggakan apalagi sampai menjadi sombong.
2. Keagungan seorang pemimpin, salah satunya bila ia merasa biasa-biasa saja dengan posisi kepemimpinan sehingga tidak menjaga jarak dengan orang-orang yang dipimpinnya.
Oleh: Drs. H. Ahmad Yani
Recent Comments