SECARA umum, anjing merupakan jenis hewan yang ganas, menakutkan, kotor, dan dikategorikan najis berat. Untuk itu, bagi kebanyakan manusia, kehadirannya selalu dihindari. Bahkan, pada beberapa cerita dongeng mengisahkan anjing sebagai hewan yang serakah dan nakal. Namun, dalam Al-Qur’an, hadis, dan kisah kaum sufi, keberadaan seekor anjing justru menghadirkan pelajaran positif.

Hal ini dapat dilihat pada kisah ashabul kahfi yang diceritakan Allah dalam Al-Qur’an QS. al-Kahfi. Adalah sekelompok pemuda yang mempertahankan imannya (akidah). Mereka hidup pada masa Raja Diqyanus (Romawi) yang sangat kejam, zalim, dan penyembah berhala. Karena ashabul kahfi menolak perintah raja yang zalim tersebut, maka mereka dikejar-kejar untuk dibunuh. Namun, mereka diselamatkan Allah dari kejaran pasukan raja dengan bersembunyi di sebuah gua.

Dalam persembunyian tersebut,  mereka diikuti seekor anjing setia. Sang anjing duduk di mulut gua untuk menjaga keselamatan pemuda ashabul kahfi. Anjing tersebut bernama Qathmair (Kithmir). Meski demikian, kisah yang dinukilkan dalam Al-Qur’an dan terjadi pada kaum sufi, bukan berarti menjadikan anjing hilang kenajisannya. Sebab, kehadiran Qathmair hanya menunggu dan menjaga pintu gua, bukan bersama dalam gua. Keberadaan seekor anjing pada kisah sufi menampilkan pelajaran bahwa meski seekor hewan, kotor dan najis, anjing bisa berbuat kebaikan. Seyogyanya manusia yang fitrah patut malu terhadap seekor anjing dan tampil lebih mulia, bukan justeru sebaliknya.

Dalam kisah lain, Allah juga menghadirkan kisah seekor anjing untuk memberi hikmah kepada Abu Yazid al-Bustami. Dikisahkan bahwa pada suatu malam, ketika Abu Yazid  berjalan sendirian, ia melihat seekor anjing yang terus berjalan mendekat kearahnya. Karena khawatir anjing tersebut akan menyentuh jubah yang dipakainya, maka seketika diangangkat jubahnya. Ia khawatir bila jubahnya najis jika tersentuh anjing tersebut.

Melihat sikap yang demikian, spontan anjing yang mengikutinya berhenti dan memandang Abu Yazid al-Bustami, seraya anjing tersebut (dengan izin Allah) berkata  Tubuhku memang menyebabkan najis padamu. Kalau pun engkau merasa terkena najis, engkau cukup membasuh 7 kali dengan air dan tanah, maka najis di tubuhmu akan hilang. Tapi jika engkau mengangkat jubahmu karena menganggap dirimu lebih mulia, lalu menilaiku sebagai anjing (makhluk) yang hina, maka najis yang menempel di hatimu tidak akan bersih walaupun engkau membasuhnya dengan 7 samudera (lautan),” ujar si anjing jalanan tersebut.

Mendengar ucapan anjing tersebut, Abu Yazid terkejut, malu, dan merasa bersalah. Ia segera meminta maaf pada anjing tersebut atas perilakunya yang tak beradab. Kemudian, Abu Yazid mengajak anjing tersebut untuk bersahabat dengannya sebagai bentuk permohonan maaf yang tulus darinya. Namun, anjing tersebut menolak ajakan tersebut, seraya berkata : “Engkau tidak patut berjalan denganku. Karena mereka yang memuliakanmu akan mencemooh dan melempari aku dengan batu. Aku tidak tahu mengapa mereka menganggapku hina, padahal aku berserah diri hanya pada Allah semata. Sementara sebagian manusia justeru berserah diri pada sesama dan “berhala” untuk mendapatkan yang diinginkannya. Lihatlah, aku tidak menyimpan dan membawa sebuah tulang pun untuk dimakan. Sedangkan engkau masih menyimpan sekarung gandum yang bisa dimakan,” pungkas anjing tersebut seraya berjala meninggalkan Abu Yazid.

Mendengar perkataan anjing tersebut, Abu Yazid menjadi sadar dan berkata, “Ya Allah, untuk berjalan dengan seekor anjing ciptaan-Mu saja aku tidak layak. Bagai-mana aku merasa layak bersama dengan-Mu. Ya Allah, ampunilah aku dan sucikan hatiku dari segala kotoran.”

Sejak peristiwa tersebut, Abu Yazid al-Bustami senantiasa memuliakan semua makhluk Allah tanpa memandang status, bentuk, dan variannya. Sebuah peristiwa yang mengandung pelajaran berarti bagi jiwa yang senantiasa merindukan untuk bersama dengan Allah.

Seekor anjing telah mengajarkan seorang sufi makna adab pada semua makhluk. Sementara segelintir manusia justru memperlihatkan diri sebagai makhluk tak beradab. Dengan sesama manusia saja tanpa adab, apatahlagi terhadap makhluk Allah lainnya. Ternyata, demikian kotornya manusia tanpa adab yang berjalan dengan angkuh di bumi Allah SWT.

Ada beberapa pelajaran atas kisah seekor anjing yang dinukilkan Allah SWT sebagai pelajaran bagi manusia, antara lain :

Pertama, Jangan melihat kemuliaan dan keburukan pada tampilan lahiriyah atau jenis keturunan (varian) semata. Mulia dan hina bukan hanya milik manusia (terutama tertentu) semata. Semua makhluk memiliki sisi kemuliaan dan potensi kehinaannya. Semua tergantung pada setiap makhluk. Ada 3 (tiga) bentuk sifat makhluk, yaitu bila Iblis dengan kesombongannya senantiasa ingkar, manusia kadang taat dan kadang ingkar, sementara makhluk yang lainnya selalu bertasybih melalui caranya untuk meraih kemuliaan disisi-Nya. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Dan tidak ada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji Nya, tapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka” (QS. al-Isra : 44).

Sungguh tamparan bagi manusia yang berakal. Untaian tasybih hamba pada hakikatnya bukan sebatas ucapan lisan, tapi menyadarkan bahwa diri hanya sebatas hamba. Kesadaran yang mampu membangun hadirnya sifat malu dan tawadhu’ atas semua yang dilakukan. Sebab, semua makhluk begitu dhaif (lemah) dan semua yang dilakukan jelas terlihat dihadapan Allah. Meski dihadapan manusia ia mampu “bersandiwara” dan menutupi aibnya dengan berbagai cara, namun semua tak mampu ditutupi dihadapan Allah SWT. Semua asesoris kemuliaan tak akan berguna bila isi sebenarnya justeru berbuat kesalahan semata. Pada waktunya, “bangkai” busuk akan tercium dan terkuak sendirinya. Kebaikan hakiki bukan untuk dipublikasi, tapi untuk dipersembahkan hanya pada Ilahi. Bagi hamba yang mengerti, tampilan pakaian lahiriyah hanya sebatas “kain kafan” penutup badan. Pada waktunya akan lapuk dan hancur bersama hancur-nya tubuh. Pakaian hakiki hanya kebajikan dan amal yang beradab untuk dibawa menuju Ilahi. Untuk itu, Rasulullah SAW mengingatkan bahwa : Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian, tetapi Ia melihat hati dan amal kalian” (HR. Bukhari).

Hadis di atas begitu jelas dan mengguna-kan kata yang tegas nan lugas. Namun, manusia seakan tak memperdulikan apa yang disabdakannya. Manusia digiring hanya menilai pada tataran material (harta, tahta, keturunan, dan varian lainnya). Ketika aspek tersebut dimiliki, sanjungan tak bertepi, penghormatan tiada henti, dan aroma busuk akan dinilai semerbak mewangi.  Akibatnya, semua standard kemuliaan hanya tatkala aspek material dimiliki. Ketika aspek materi telah sirna, kemuliaan sebelumnya tak lagi bernilai sedikit jua. Tak ada lagi penghargaan, tak ada lagi kemuliaan, dan tak ada lagi kepatuhan. Semua berubah menjadi barang tak berharga, ditelantarkan dengan kehinaan, dan dikucilkan bak bangkai hidup yang tak berguna. Sikap yang memperlakukan sesama yang demikian hanya hadir pada manusia kerdil dan hina.

Kedua, Jangan menilai dan menghakimi sesama dengan pandangan zalim. Sikap menghakimi orang lain seringkali dijumpai dalam kehidupan. Ada penilaian yang “main hakim” sendiri sampai menghakimi sesama. Meski banyak alasan dan variabel penyebab terjadinya perilaku yang demi-kian. Semua tergantung kualitas setiap diri. Berbuat benar memang perilaku ter-puji, namun merasa paling benar merupa-kan perilaku tercela. Menilai orang lain salah akan memunculkan perilaku “main hakim” dibangun peradaban “bar bar” dengan dasar “hukum rimba”. Sementara ada pula penilaian yang menghakimi dengan pola “pisau tajam ke bawah dan tumpul ke atas”. Penilaian yang demikian hanya dilakukan pada peradaban Romawi kuno dan bangsa bar-bar. Penilaian negatif terhadap sesama dalam pandangan subjektif lebih dominan dibanding penilaian positif. Informasi negatif menjadi “makanan empuk nan enak” untuk dibicarakan, ketimbang informasi positif yang selalu kurang diminati. Informasi negatif pada sesama, khususnya “lawan” yang tak disenangi menjadi bualan renyah untuk dibahas, sementara informasi baik selalu disepele-kan dan dipandang sebelah mata. Sikap ini berujung pada kebencian, penyebaran fitnah, dendam, buruk sangka, dan ghibah.

Baginya, kebaikan dan kebenaran hanya milik diri dan koleganya. Semua informasi yang disampaikan hanya bertujuan mempublikasikan kehebatan diri dan koleganya. Sikap ini berhilir tumbuhnya sum’ah yang berharap pujian dan sanjungan belaka. Bila pemilik kuasa berbicara, meski sebatas “sampah” akan dinilai permata. Sementara, bila yang berbicara tanpa “status” dan dianggap lawan, meski yang disampaikan permata, tapi akan dinilai sebatas tumpukan kotoran belaka.

Allah SWT melarang sikap yang menilai dan menghakimi sesama secara zalim tanpa adab sebagai perbuatan tercela. Hal ini diingatkan melalui firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejek-an. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. al-Hujurat : 11).

Anehnya, meski demikian jelas firman-Nya disampaikan dan adab Rasulullah SAW telah dicontohkan, namun pilihan manusia justeru mendustakan semuanya. Manusia yang hanya memandang diri paling mulia, sebenarnya sedang menutupi perilaku nista dan meniru penghuni neraka. Menilai semua lawan begitu hina, padahal mereka dinantikan surga.

Bila anjing ashabul kahfi mampu menjaga hamba yang shaleh atas ancaman pelaku kesalahan, maka tersentak sisi kemanusiaan dan pilu hati bila pilihan manusia justeru sebaliknya. Bila pilihan yang diambil untuk menjaga pelaku kesalahan dan menindas pemilik keshaleh-an, maka murka Allah akan hadir. Murka yang hadir sebagai azab bagi pelaku kesalahan, peringatan bagi yang ragu, dan nikmat bagi pemilik keshalehan

Ketiga, Kemuliaan tak dinilai oleh diri sendiri dan/atau sesama (kolega setara), apatahlagi bila dipaksakan. Tapi, penilaian hakiki hanya diberikan oleh Allah Yang Maha Mengetahui. Gelar dan kemuliaan yang diperoleh tak perlu membuat “busung dada”, lupa diri, dan merasa paling mulia. Kelemahan lawan bukan untuk dibuka dan dicari agar ia menjadi hina. Sebab, sifat dan sikap yang demikian sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Untuk itu, Allah mengingatkan melalui firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan sakprasangka (kecurigaan), karena sebagian dari sakprasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburuk-an orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. al-Hujurāt : 12).

Bagi sosok seorang berilmu dan beradab, ayat di atas membuat diri tunduk malu. Hal ini dapat dilihat pada cerminan kisah hidup seorang ulama yang bijaksana. Suatu hari, ia didatangi oleh seorang tamu. Tamu ter-sebut berkata ; ‘tuan, apakah sudah tau cerita tentang temanmu ?’ Sebelum si tamu melanjutkan ceritanya, si ulama terlebih dahulu berkata, “sebelum kamu ceritakan kisahnya padaku, jawablah terlebih dahulu pertanyaanku ; (1) apakah bisa dijamin kebenaran berita tersebut ?. (2) apakah berita yang ingin disampaikan merupakan kebaikan ?. (3) apakah berita yang disampaikan akan memberikan manfaat ?.

Begitu bijaksana dan hati-hati sang ulama pemilik hati yang senantiasa bertasybih pada Allah dalam menerima informasi. Ia tak ingin larut dan terwarnai oleh informasi yang diterima. Ia hadirkan akal dan nafsu ketika menerima informasi. Layaknya peran usus 12 jari yang memproses makanan, maka demikian sifat hamba yang bijaksana. Tapi, ketika hidup bagai pipa paralon bocor, maka informasi yang diterima akan keluar berikut membawa kotoran yang ada dalam pipa. Untuk itu, hadirlah bersama Allah dengan keikhlasan dan kerinduan. Jangan hadirkan diri deng-an kemunafikan, apatahlagi dengan cara dipaksa, memaksa, atau keterpaksaan.

Dalam al-Quran dan kisah sufi, seekor anjing mengajarkan sejuta pelajaran bahwa“derajat kemuliaan diperoleh tatkala tunduk pada Yang Maha Mulia”. Untuk itu, ingat asal diri dan akhir kehidupan (tanah).

Jangan angkuh dengan nyaringnya gong-gongan dan tajamnya taring. Bagi manusia yang tak bernyali akan hadir kekaguman dan takut pada “gonggongan”. Namun, bagi manusia yang mengerti, “gonggong-an” hanya menjadi bahan canda dan tawa. Sungguh, seekor burung mengajarkan, meski ia mampu terbang menembus awan, tapi ia sadar bahwa pada waktunya akan kembali kesarang. Meski diri pada posisi setinggi langit, tapi pada waktunya akan kembali ke bumi. Tak ada yang abadi. Semua bermula dan berakhir pada waktu-nya. Hanya tersisa wujud penilaian pasca “kehebatan” yang diagungkan telah sirna. Meski semua manusia sadar, tapi tak semua mau menyadari dan memperbaiki dirinya. Mungkin pilhan sikap bak pepatah “anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar STAIN Bengkalis)

Sumber: riaupos.jawapos.com

Translate »