SUNGGUH, peristiwa isra’ dan mi’raj merupakan perjalanan Nabi Muhammad SAW yang sangat istimewa dan luar biasa di luar jangkauan manusia. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-10 kenabian. Peristiwa ini merupakan perjalanan Rasulullah SAW dari Masjid al-Haram (Makkah) ke Masjid al-Aqsa (Palestina), selanjutnya ke langit satu sampai ketujuh hingga sidratil muntaha.

Hal ini dijelaskan Allah SWT melalui firman-Nya : “Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya) agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. al-Isra’ : 1).

Sungguh, perjalanan mulia ketika Yang Maha Suci memper-jalankan Rasul (hamba-Nya) pilihan yang suci. Perjalanan untuk melihat sebagian bukti kebesaran Ilahi untuk menjadi pelajaran bagi hamba yang peduli. Berbeda dengan manusia yang “minta dijalankan” tentu penuh kepentingan. Sebab, per-jalanan mulia tersebut memiliki beberapa tujuan, antara lain:

Pertama, Menghibur Rasulullah pasca wafatnya Abu Thalib dan Sayyidatina Siti Khadijah. Sosok paman yang senantiasa melindungi dan seorang istri yang dicintai Rasulullah yang berperan besar terhadap kerasulan Nabi Muhammad SAW dan syair agama Islam. Kondisi ini membuat hati Rasulullah begitu sedih atas musibah yang terjadi. Untuk itu, tahun ini disebut ammul huzni (tahun kesedihan).

Dengan kesedihan Rasulullah yang demikian berat, maka Allah SWT hadir menghibur dan mengundangnya melalui peristiwa isra’ mi’raj. Peristiwa ini mengandung pelajaran, bahwa : (1) ketika Rasulullah bahagia, ia selalu ingat Allah, apatahlagi ketika diuji oleh Allah. Maka, ketika Rasulullah sedih, maka Allah hadir memuliakan Rasulullah. Berbeda dengan manusia pada umumnya, ketika bahagia lupa pada Allah, maka giliran sedih maka Allah akan lupa dan hinakan-nya. (2) Rasulullah diperjalankan oleh Allah karena kualitas pribadinya, maka hadir dan dipetik nilai kemuliaan. Semen-tara manusia minta dijalankan karena ketidakmampuannya, maka hadir “juwadah dan hidangan” yang harus dipersiap-kan. Akibatnya, sepanjang perjalanannya akan tersandera dan memetik kehinaan, paling tidak di mata seluruh penghuni langit.

Kedua, Memperlihatkan kuasa Allah pada hamba-Nya. Peristiwa mulia yang hanya dianugerahkan pada sosok hamba-Nya yang mulia. Melalui peristiwa tersebut, Allah SWT memperlihatkan kekuasaan dan kebenaran ayat-ayat-Nya untuk menyadarkan manusia dalam menentukan pilihan. “Video klip” yang demikian nyata untuk pedoman bagi yang menginginkan keselamatan. Tapi, “video klip” tersebut hanya sebatas “pertunjukan” bagi yang ingin mengingkari. Meski, bila Allah berkehendak, tak ada yang mustahil bisa terjadi. Cinta dan pengadilan Allah akan hadir pada setiap hamba sesuai niat dan perbuatan yang dimunculkan. Janji Allah pasti adanya, di tengah ketidakpastian iman, kata, dan perilaku manusia bak “baling-baling dipuncak bukit” yang mengakibatkan antara hati, kata, perbuatan, dan karya yang acapkali berbeda.

Ketiga, Menjelaskan nikmatnya surga dan pedihnya siksaan neraka sebagai i’tibar bagi manusia. Berbagai kenikmatan surga diperlihatkan kepada Rasulullah sebagai motivasi bagi umat untuk bergegas meraihnya. Sementara siksaan sangat pedih yang menimpa penghuni neraka agar manusia takut dan menjauhi semua penyebab murka Allah. Dengan ber-bagai tamsilan nikmat surga dan derita pilu penghuni neraka, dimungkinkan sebagai pilihan pada manusia kemana arah yang akan dituju. Namun, anehnya semua kenikmatan surga yang dikhabarkan hanya sebatas keinginan abstrak. Semen-tara pada tataran realita, pilihan pada neraka lebih nyata. Ternyata, paparan isra’ mi’raj tak mampu menghambat derasnya kemaksiatan dan kejahilan yang dilakukan.

Keempat, Menjemput perintah shalat. Isra’ dan mi’raj merupa-kan media yang dihadirkan Allah kepada Rasulullah untuk menjemput perintah shalat. Begitu agung dan istimewanya ibadah shalat sehingga secara khusus dijemput dan diterima langsung oleh Rasulullah. Sebab, ibadah shalat merupakan sarana penghambaan hamba pada Sang Khaliq.

Sebagai bentuk cintanya Allah pada Rasulullah, maka kecinta-an tersebut juga diberikan pada umat nabi Muhammad SAW. Berbagai keistimewaan diberikan pada umat Rasulullah. Di antaranya bisa melakukan mi’raj melalui shalat yang benar. Shalat yang membekas, memberi ruh, dan mewarnai pada totalitas  kehidupannya (kaffah). Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “… Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud (bercahaya) …” (QS. al-Fath : 29).

Dalam menafsirkan atsar sujud, para ulama memaknainya cahaya (nur) wajah ahli sujud dan makna efek atau dampak sujud yaitu tidak melakukan pelanggaran terhadap larangan Allah, baik hati, fikiran, lisan, dan adab perbuatannya.

Kelima, Menguji kualitas keimanan dan karakter adab seorang hamba. Berkaitan peristiwa isra’ mi’raj, paling tidak ada 3 (tiga) tipikal keimanan dan karakter adab manusia, yaitu :  (1) Tipikal Abu Bakar ash-Shiddiq yang mengimani dan mentauladani seluruh isi isra’ mi’raj yang disampaikan oleh Rasulullah. Tipikal pemilik keimanan, adab, dan ketaatan atas al-Quran dan hadis secara kaffah. Tidak ada keraguan sedikit jua. Tatkala pesan kebenaran belum bisa diterima akal, hanya disebabkan akal belum mampu men-jangkau kebenaran. Tapi, melalui keimanan yang dibungkus adab, Abu Bakar ash-Shiddiq mengimani dan membenarkan proses dan seluruh peristiwa isra’ mi’raj yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Keimanan yang memunculkan wujud nyata atas apa yang diimani dan berbuah adab yang dituntun ketauladanan pribadi Rasulullah SAW.

(2) Tipikal Abu Lahab dan kelompoknya. Ia mengingkari dan menyatakan peristiwa isra’ mi’raj sebagai kebohongan. Bahkan, perilakunya justeru berorientasi pada sifat penghuni neraka. Tipikal dan sifat Abu Lahab yang mengingkari ajaran Rasulullah dinyatakan Allah secara khusus melalui firman-Nya : “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan memasuki api yang bergejolak (neraka). Begitu pula istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal” (QS. al-Lahab : 1-5).

Tipikal ini jelas eksiatensinya sebagai penentang kebenaran Islam. Kehadirannya merupakan pilihan yang diambil atas kejahilan yang membawa pada keingkaran (kafir). Penolakan Abu Lahab dan pengikutnya atas kebenaran peristiwa isra’ mi’raj berkaitan kejahilan dan ketakutan atas posisi (status sosial) yang mereka miliki. Kekhawatiran status duniawi tersebut menggiring pada penolakan dan menginjak-injak semua kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.

(3) Tipikal “abu hitam”. Tipikal ini sesuai sifat abu yang lembut testurnya tapi hitam semua wujudnya. Lahirnya lembut,  tapi hakikatnya penuh kotoran dan mengotori semua yang menyentuhnya. Meski tujuan membersihkan kuali atau lainnya, tapi dengan cara mengotori dirinya dan semua yang akan dibersihkan. Andai tidak ada air, maka kuali akan semakin kotor. Tipikal ini merupakan perumpama-an sosok manusia yang beriman, membenarkan, dan ikut memperingati (testur fisik) peristiwa isra’ mi’raj, namun pada tataran perilaku, sifat asli, dan tampilan kehidupan justeru bertolak belakang. Lisannya inginkan surga, tapi perilakunya justru rindu neraka. Kehadiran tipikal “abu hitam” sangat ber-bahaya, melebihi bahaya karakter Abu Lahab. Tipikal pemilik karakter “abu hitam” adalah sosok Ibn Muljam. Ia hadir pada majelis Rasulullah dan para sahabat, bahkan secara jasmani memiliki tanda hamba yang shaleh.

Akibatnya, tak ada yang menyangka disebalik keshalehannya justeru ia merupakan aktor pembunuh berdarah dingin yang menewaskan sayidina Ali bin Abi Thalib. Tipikal ini tampil layaknya manusia baik, namun menyimpan sifat busuk, dengki, sombong, tamak, khianat, dan variannya. Sifat manusia tipikal ini dinyatakan Allah secara rinci pada surat yang khusus, yaitu pada QS. al-Munafiqun : 1-11. Seluruh isi surah ini berisi sifat dan penyakit kemunafikan yang demikian nyata. Untuk itu, Allah mengingatkan agar manusia tak mencederai imannya dengan perbuatan yang mengingkari kebenaran Ilahi. Setiap kemunafikan akan memunculkan kehinaan. Semua akan terlihat nyata perbedaan antara ucapan dan perbuatannya. Namun, semua dianggap biasa, ditolerir, dan bahkan ditutupi oleh komunitas yang sama.

Eksistensi pemilik tipikal sifat “abu hitam” sangat berbahaya. Sebab, kehadiran lahiriyahnya seakan bertipikal Abu Bakar ash-Shiddiq, namun sebenarnya bertipikal Abu Lahab dan berdarah Ibn Muljam. Tipikal Abu Bakar ash-Shiddiq  dipilih hanya sebatas tampilan asesoris untuk menunjukan keshalehan guna menutupi isi diri yang sebenarnya. Sedang-kan karakter Abu Lahab digunakan untuk menolak semua penghalang nafsunya. Bila upayanya ini gagal, maka muncul tipikal Ibn Muljam dengan melakukan “pembunuhan” karakter setiap yang menghalanginya. Tipikal ini merupakan tipikal “abu hitam” (munafik) yang sangat berbahaya, baik pada diri apatahlagi bagi keummatan dan alam semesta.

Dominasi hadirnya tipikal ini terlihat nyata tatkala peristiwa isra’ mi’raj tetap diimani, seluruh kisahnya diketahui, rang-kaian peringatannya dilakukan dengan gegap gempita, serta asesoris dan munajatnya bak penduduk surga. Namun anehnya, hati dan hampir semua wujud perilaku yang dipilih atau dipraktekan merupakan kebiasaan tanpa adab yang dilakukan manusia penghuni neraka. Pilihan sifat kemunafik-an ini mempertegas tampilan wujud manusia yang dinyata-kan Allah melalui QS. al-Munafiqun 1-11 begitu nyata. Seakan, harap pinta menuju surga, tapi pilihan jalan yang ditempuh nyata merindukan neraka. Apatahlagi, umumnya pilihan yang diambil acapkali difasilitasi pemilik karakter yang sama. Akibatnya, pilihan jalan neraka menjadi tradisi yang dinilai wajar dan memperoleh legalitas komunal. Semua kejahilan dihamparkan dan disaksikan seluruh alam.

Padahal, alam tak pernah mentolerir kesalahan yang dilaku-kan. Untuk itu, pada waktunya alam akan berbicara dan membuka tipu muslihat yang disembunyikan selama ini. Fenomena terhadap manusia yang memiliki tipikal “abu hitam” justeru begitu banyak yang menghuni isi neraka. Hal ini dilihat oleh Rasulullah secara langsung berbagai bentuk azab yang diberikan Allah pada mereka. Di antara penyebab hadirnya manusia bertipikal “abu hitam” akibat pengaruh teman yang bertipikal sama. Untuk itu, Rasulullah berpesan agar umatnya bijak memilih teman.

Hanya teman pemilik karakter Abu Bakar ash-Shiddiq yang bisa membantu menuju jalan kebenaran. Hal ini dinyatakan melalui sabdanya : “Setelah orang-orang mukmin itu dibebaskan dari neraka, demi Allah, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian begitu gigih dalam memohon kepada Allah untuk memperjuangkan hak untuk saudara-saudaranya yang ber-ada di dalam neraka pada hari kiamat. Mereka memohon : “Wahai Tuhan kami, mereka itu (yang tinggal di neraka) pernah berpuasa bersama kami, shalat, dan juga haji.” Dijawab : ”Keluarkan (dari neraka) orang-orang yang kalian kenal.” Hingga wajah mereka diharamkan untuk dibakar oleh api neraka. Para mukminin inipun mengeluarkan banyak saudaranya yang telah dibakar di neraka, ada yang dibakar sampai betisnya dan ada yang sampai lututnya. Kemudian orang mukmin itu lapor kepada Allah, ”Ya Tuhan kami, orang yang Engkau perintahkan untuk dientaskan dari neraka, sudah tidak tersisa.” Allah berfirman, ”Kembali lagi, keluarkanlah yang masih memiliki iman seberat dinar.” Maka dikeluar-kanlah orang mukmin banyak sekali yang disiksa di neraka. Kemudian mereka melapor, ”Wahai Tuhan kami, kami tidak meninggalkan seorangpun orang yang Engkau perintahkan untuk dientas” (HR. Muslim).

Sayangnya, karakter teman yang dikatakan Rasulullah di atas semakin sulit ditemukan. Seiring semakin besarnya tarikan pragmatisme untuk melakukan memanfaatkan peluang kejahatan secara pribadi dan kolektif. Seakan, pemilik tipikal “abu hitam” mendapatkan momentum berkembang biak tanpa terkendali, seiring semakin jelas kebenaran firman Allah pada QS. al-Baqarah : 7-9. Semua begitu nyata terlihat di tengah semaraknya peringatan isra’ mi’raj yang rutin dilaku-kan dan fasih disenandungkan. Fenomena ini menempatkan peringatan isra’ mi’raj seakan hanya sebatas cerita (kisah) belaka, tanpa makna dan pesa (i’tibar) untuk memperbaiki diri. Sungguh, demikian nyata firman-Nya : “Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu peng-huni neraka, mereka kekal di dalamnya” (QS. al-Baqarah : 39).

Meski ayat demikian jelas, seiring semakin terang pula pelanggaran ajaran agama dan adab nyata didustakan. Semua hanya sebatas kisah dan asesories, tanpa mampu menyadarkan diri menjadi lebih baik. Begitu berani manusia menafikan dan mengingkari janji dengan-Nya pada QS. al-A’raf : 172. Dengan Allah saja manusia berani mengingkari, apatahlagi janji dengan sesama, bahkan meski mengatas-namakan Allah dan sisi kemanusiaan. Katanya seakan “dihadirkan” Allah. Padahal, semua diraih melalui “tuhan-tuhan sesembahan” dan mengangkangi firman-Nya. Semua sebatas lipstik pemanis bibir untuk mencapai kepentingan diri atau komunitasnya. Sungguh, telah sirna iman, punah keyakinan, dan hilang adab kesopanan sebagai manusia beradab. Sosok yang berselindung dengan berbagai asesories keshalehan untuk menutupi dan “menghalalkan” kesalahan. Seakan dirinya begitu suci dan telah memiliki kaplingan surga. Sementara perilaku kesombongan dan kesalahan tetap dilakukan dengan sengaja. Anehnya, secara personal ia bangga memilih jalan penghuni neraka dengan iringan tepukan dan pujian yang menggema. Tanpa disadari, perilaku komunal yang demikian menjadikannya semakin tergelincir dan menganggap sebagai hal yang wajar (lumrah).

Semua i’tibar atas konsekuensi perbuatan telah nyata dijelas-kan melalui peristiwa isra’ mi’raj, baik kebahagiaan penghuni surga maupun siksa nestapa penghuni neraka. Andai setiap manusia bijak memilih dengan sandaran iman, hati, dan akal yang dimiliki, bangunan peradaban akan lebih baik. Namun, isra’ mi’raj seakan hanya sebuah kisah yang tak membuat diri menjadi ingat dan sadar pada janji-Nya Yang Maha Pasti. Seakan, manusia justeru menantang dan mempertanyakan kebenaran atas apa yang dilihat Rasulullah SAW.  Sadar atau tak disadari, manusia dengan bangga sedang mempertonton-kan pentas sinetron keangkuhan dan menunjukan sifat “kehewanan” di muka bumi. Tak tersisa adab yang diperjuang-kan oleh Rasulullah SAW dan semua aturan yang firmankan-Nya. Kondisi ini diperparah dengan tumbuhnya karakter bak pepatah “bersutan di mata, beraja di hati” di atas bumi Allah. Na’uzubillah min dzaalik. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar STAIN Bengkalis

Sumber: riaupos.jawapos.com

Translate »