ALAM beserta isinya merupakan ayat-ayat Allah yang terhampar. Eksistensinya bukan sebatas tempat tinggal manusia, pemandangan yang indah, atau dinikmati untuk keperluan hidup. Alam semesta perlu dibaca dan dipahami secara cermat sebagai pesan Allah SWT pada manusia untuk lebih mengenal kebesaran-Nya Yang Maha Agung. Dengan mengenal kebesaran-Nya, dimensi ‘ubudiyah (penghambaan) akan terbangun. Sedangkan dengan memikirkan dan mengelola alam secara bijak, dimensi kekhalifahan di muka Bumi akan terwujud.

Meski alam dan isinya diperuntukkan bagi manusia, namun kesemuanya perlu dikelola secara baik sebagai pengejawan-tahan amanah kekhalifahan yang diberikan-Nya. Hanya melalui pengelolaan yang bijak, maka alam akan berlaku baik pada seluruh isinya. Namun, tatkala manusia serakah dan mengkhianati tugas kekhalifahannya, maka alam akan men-jerit dan meronta akibat ulah manusia. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. ar-Ruum : 41).

Ayat di atas secara jelas mengingatkan agar manusia selalu merawat dan menjaga alam semesta. Di antara cara untuk memperoleh keselamatan di muka bumi, manusia diberi pilihan agar hidup harmonis dan berdampingan bersama alam (lingkungan). Ketika manusia dan alam hidup harmonis dan saling merawat, maka akan terbangun komunikasi antara manusia dan alam. Komunikasi yang mampu membaca perasaan manusia dan alam. Bila hal ini terjadi, maka kebutuhan manusia akan dipenuhi oleh alam dan informasi (harapan) alam akan dipahami oleh manusia. Namun, tatkala manusia dan alam tak terjalin interaksi yang saling memahami, maka akan terputus komunikasi antarkeduanya. Wujud pilihan komunikasi yang diambil bukan dengan mengeksploitasi berlebihan hingga mencemari atau merusak alam. Bila hal ini terjadi, wajar tatkala gerak dan isyarat alam terjadi mendahului pengetahuan manusia. Padahal, seluruh alam semesta disediakan Allah untuk “tunduk” pada manusia. Seyogyanya, alam menghargai manusia yang diberi keistimewaan khusus sebagai khalifah di muka bumi. Hal ini merujuk pada firman-Nya: “Sesungguh-nya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS. al-Baqarah : 30).

Dalam logika sederhana, bila manusia sebagai khalifah (pemimpin), maka alam semesta sebagai rakyat. Idealnya, khalifah melindungi rakyat dan rakyat memberi kontribusi positif kepada khalifahnya. Interaksi harmonis dan saling menghargai kedua kutub ini akan membawa kesejahteraan bersama. Sebab, khalifah dan rakyat saling berijteraksi dan memegang teguh amanah-Nya, bukan saling mengkhianati sesama. Bila harmonisasi khalifah dan rakyat terjaga, maka kedamaian akan terwujud. Namun, tatkala pengkhianatan yang ditampilkan, maka malapetaka yang akan terjadi. Demikian halnya hubungan manusia dan alam semesta.

Ketundukan alam merupakan anugerah yang diberikan pada nabi Adam dan keturunannya. Hal ini merujuk pada firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat : ‘Sujudlah kalian kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur, dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (QS. al-Baqarah: 34).

Ayat di atas demikian nyata, bahwa para malaikat saja bersujud pada nabi Adam AS (manusia) apalagi makhluk alam semesta. Untuk itu, sebenarnya bumi, bulan, matahari, bintang-bintang, laut, gunung, binatang dan tumbuh-tumbuhan semuanya tunduk pada manusia untuk dikelola dalam rangka menyempurnakan kapasitasnya sebagai hamba dan khalifah Allah di muka Bumi. Ketundukan alam semesta bukannya tanpa alasan. Selain adanya perintah langsung Allah SWT, sebab manusia secara defacto memiliki sejumlah keistimewaan yang tidak dimiliki makhluk-Nya yang lain. Namun, alam semesta akan tunduk kepada manusia sepanjang ia menjalankan kapasitas dan fungsi kekhalifahan-nya sesuai aturan Allah dan tauladan hidup Rasulullah SAW secara benar. Untuk itu, dalam menjalankan kapasitas kekhalifahannya, manusia dituntut tidak melampau batas yang dimiliki. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Wahai orang-orang yang beriman ! Janganlah kamu meng-haramkan apa yang baik yang telah dihalalkan Allah kepada-mu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS. al-Maidah : 87).

Meski demikian tinggi keistimewaan yang dianugerahkan-Nya, namun manusia acapkali alpa, mengingkari, bahkan melampaui batas yang diberikan-Nya. Keistimewaan yang seyogyanya mengayomi dan melindungi alam semesta berubah menjadi mengeksploitasi dan mengkhianati alam. Akibatnya, tak lagi terjadi komunikasi antara manusia dan alam. Alam sebenarnya sedang berulangkali berbicara, menjerit, dan meronta. Namun manusia tak mendengar, tak peduli, atau enggan memahaminya. Sungguh, rintihan dan kekecewaan alam yang terjadi selalu diawali dengan pesan terlebih dahulu. Namun manusia tak memahami dan peduli. Pesan alam sebenarnya wujud kesadaran alam untuk senantiasa “tunduk” pada manusia dengan rintihan-rintihan agar manusia sadar atas peristiwa yang akan terjadi. Di antara rintihan tersebut adalah bencana alam (gempa bumi, tsunami, gunung meletus, iklim yang tak stabil, banjir, longsor, Covid-19, dan varian musibah lainnya). Semua terjadi akibat ketidakharmonisan komunikasi antara manusia dan alam. Ketidakharmonisan tersebut berakibat keseng-saraan yang menimpa mereka yang tak berdosa. Semua akibat kesombongan segelintir manusia yang serakah. Ketika bencana telah terjadi dan merenggut korban, manusia mencari kambing hitam dengan pendekatan ilmiah. Bahkan, tak jarang bencana dimanfaatkan untuk memperkaya diri dan “memperdagangkan” derita sesama. Bencana dan musibah adakalanya dimanfaatkan segelintir oknum untuk mengambil keuntungan (korupsi) dengan bertopeng kepekaan sosial, padahal terkadang hanya “mengambil manfaat di atas penderitaan sesama”. Ada beberapa bentuk perilaku manusia terhadap bencana yang disabdakan alam, antara lain:

Pertama, Manusia alpa dan lemah dalam melakukan mitigasi bencana. Hal ini disebabkan kejahilan manusia yang tak mampu berkomunikasi secara harmonis dengan alam. Kejahilan manusia tersebut dapat dilihat pada 2 (dua) dimensi, yaitu : (1) kejahilan dalam makna ketidaktahuan atas sabda alam, baik masyarakar awam maupun pemegang amanah. (2) kejahilan atas pilihan peralatan pendukung yang minim dan ketinggalan zaman. Akibatnya, media yang digunakan tak mampu membaca sabda alam sesuai ilmu pengetahuan yang demikian dinamis. Semua berhulu pada kualitas kesiagaan pemegang amanah, baik kualitas keahlian maupun tanggungjawab dan berhilir pada lemahnya pengetahuan masyarakat. Padahal, Rasulullah pernah berpesan: “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kondisi di atas diperparah tatkala rendahnya evaluasi yang dilakukan. Akibatnya, bila terjadi kelalaian yang merugikan sesama, maka dianggap biasa saja atau mencari alibi dan sejuta dalil (alasan). Sebab, evaluasi dan tindakan acapkali dilakukan setelah peristiwa terjadi.

Kedua, Aturan yang acapkali tak berkorelasi dengan realita (implementasi). Untuk itu, reward dan funishment yang tegas perlu dijalankan, bukan mencari keuntungan atas musibah atau mencari kambing hitam semata. Dalam konteks ini, semua pihak perlu fokus pada amanah yang diemban. Pemegang amanah menjaga alam jangan terpecah oleh perhatian untuk “cawe-cawe aji mumpung”. Apatahlagi bila motivasi “jatah kue” yang menyilaukan lebih dikedepankan. Hal ini pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW saat perang Uhud. Tatkala pasukan pemanah ingin “sesuatu” sebagai-mana pasukan yang berada di bawah, mereka lupa untuk mentaati perintah dan mendadak turun memperebutkan harta ghanimah. Mereka lalai dan lupa pada tugas utamanya. Akibatnya, terjadi bencana (kekalahan) oleh ketidaktaatan atas amanah yang diberikan. Demikian halnya fenomena saat bencana alam yang terjadi dan akan terus terjadi.

Letusan Gunung Marapi di Sumatera Barat (pengujung 2023) hanya salah satu contoh yang menyisakan pilu. Mungkin hal yang sama sudah dan/atau akan terjadi di tempat lain pada waktu yang berbeda. Padahal, kondisi Gunung Marapi yang aktif perlu selalu diawasi dan diwaspadai. Mengizinkan para pendaki gunung ketika kondisi alam yang “kurang sehat” merupakan tindakan yang perlu dievaluasi. Apatahlagi bila dilakukan dalam jumlah yang demikian banyak, tentu bukan sebatas kealpaan atau ketidaktahuan. Kondisi ini diperparah bila medan yang “sedang sakit” dijelajah tanpa pengawasan, peralatan yang baik, dan rambu-rambu batas jarak yang diperbolehkan.

Atau mungkin peralatan dan rambu-rambu telah diambil oleh “tangan jahil” yang tak bertanggungjawab. Bila hal ini yang terjadi, masihkah akal sehat sebagai manusia dimiliki. Aturan yang ada pada tataran tertulis demikian menumpuk, namun realita (implementasi) bak hidup di era purbakala. Kealpaan atas amanah dan peralatan yang berkualitas rendah telah menorehkan luka dan derita yang mendalam. Tak ada yang bertanggungjawab atas peristiwa sabda alam. Semua alasan dikembalikan sebagai musibah. Padahal, Gunung Marapi telah berulang kali menyampaikan pesan, namun pesan yang tak menjadi perhatian secara serius.

Ketiga, Alam merupakan ayat Allah untuk menjadi pelajaran, bukan sebatas fenomena tanpa pesan. Bahkan, fenomena alam kadang seperti alarm yang hadir untuk membangunkan manusia yang sedang “ketiduran”. Sebab, semua pasti ada pesan sebab akibat yang berkelin-dan. Dalam perspektif agama, mungkin semua yang terjadi merupakan teguran Allah atas pembangkangan yang dilakukan segelintir manusia yang telah melupakan-Nya. Sementara dalam persepektif ilmiah, masih kurangnya kajian untuk berdialog dengan alam. Berkaca wilayah Jepang yang rawan gempa, banyak para ilmuannya fokus pada keahlian mitigasi gempa. Semua bidang ilmu yang dikembangkan berbasis gempa bumi. Banyak teori dihasilkan untuk meminimalkan dampak bencana yang disebabkan gempa bumi. Mereka menjawab komunikasi gempa bumi dengan ilmu, bukan sekedar pasrah menerima apa yang terjadi sebatas takdir semata.

Keempat, Jeritan alam ada yang bersifat rutin dan ada pula yang bersifat temporer. Semua jeritan alam perlu dijawab dengan ilmu, iman, dan kesiagaan. Namun, segelintir manusia acapkali tak pernah mengambil pelajaran. Wajar tatkala Allah berulangkali (31 kali) mengingatkan melalui firman-Nya dalam QS. ar-Rahman : “maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan”. Pengulangan tersebut dimaksudkan agar manusia selalu ingat untuk bersyukur dan tidak kufur terhadap nikmat-nikmat yang dilimpahkan-Nya. Di sisi lain, Allah SWT telah berulangkali menunjukkan kekuasaan dan rahmat-Nya, namun manusia jarang yang menyadari dan mensyukurinya.

Kelima, Keterlambatan mengantisipasi alam disebabkan kesombongan manusia terhadap alam. Hal ini diperparah oleh kejahilan manusia, baik kejahilan dalam makna kebodohan atau kejahilan dalam makna kesombongan dengan menganggap sepele apa yang disampaikan oleh alam. Sungguh, alam telah menyampaikan pesan Rahman dan Rahim-Nya pada manusia. Namun, manusia alpa, tak mampu memahami, atau kadangkala mengingkari semua yang disampaikannya. Padahal, alam semesta, semua kisah, kejadian, dan perumpamaan merupakan kalam Allah SWT untuk difikirkan dengan akal dan hati. Hal ini dinyatakan melalui firman-Nya : “Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir” (QS. al-A’raf : 176).

Semua fenomena alam bagai jarum jam yang aka terus berputar dan berulang. Namun, sebagian manusia hanya sebatas menjalani tanpa belajar untuk lebih baik atas siklus yang terjadi. Mungkin manusia semakin tak mampu lagi menjalankan tugas kekhalifahanya di muka bumi. Namun, nafsu manusia sebagai khalifah (pemegang amanah) di muka bumi terus menjulang tinggi, tanpa sadar atas ketidakmampuannya untuk berdialog dengan alam. Kesalahan demi kesalahan, kegagalan demi kegagalan, derita demi derita, bahkan pelanggaran demi pelanggaran terus terjadi. Meski setelah terjadi, bersamaan hadir penyesalan dan mencari alasan. Namun, semua bagai makan cabe. Bila rasa pedas telah hilang, cabe akan dicari lagi untuk dibuat sambal dengan varian baru dan lebih pedas lagi. Kapan seluruh elemen akan memiliki kesadaran dan kepekaan preventif atas sabda alam ? Entahlah…Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis)

Sumber: www.riaupos.jawapos.com

Translate »