PADI merupakan tanaman yang sangat dikenal oleh masyarakat, terutama bagi komunitas yang menjadikannya sebagai makanan pokok. Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, padi merupakan sumber kehidupan dan lambang kemakmuran. Begitu besar manfaat kebaikan yang diberikan padi. Untuk itu, wajar bila banyak pepatah yang mengguna-kan kata “padi” sebagai kiasan kebaikan sifat manusia.
Di antara pepatah yang sering digunakan adalah “bagai padi, semakin runduk semakin berisi” yang menjelaskan sifat orang berilmu yang tawadhu’, atau “padi yang dipanen hari ini, tidak ditanam kemarin sore” yang berarti semua tujuan yang diharapkan memerlukan waktu (berproses).
Ketika masih muda, hamparan padi yang menghijau mampu menyejukkan mata, memberi energi (semangat) bagi petani, dan asupan oksigen bagi alam semesta. Ketika padi tua, warnanya menguning keemasan menyilaukan mata dan membangunkan asa kesejahteraan. Padi yang merunduk berisi membawa khabar bahagia bagi petani. Ia balas jerih payah petani dengan membawa pesan rezeki yang diharap-kan. Sungguh, sejak kecil, muda, sampai tua, padi telah menyebarkan berbagai bentuk kebahagian pada semua.
Eksistensi dan filosofi pesan tumbuhan padi memiliki korelasi terhadap posisi seorang santri. Secara historis-linguistik, kata santri berasal dari istilah Jawa, yaitu “cantrik”. Sebagian menyatakan asal-usul kata santri berasal dari bahasa Sansekerta “shastri” yang berarti melek huruf. Sedangkan secara makna, santri merupakan sebutan bagi penuntut ilmu yang mengikuti pendidikan agama Islam di pondok pesantren. Santri pada umumnya menetap sampai pendidikannya selesai. Meski ada pula segelintirnya sebagai “santri kalong” yang menuntut ilmu agama, tapi tak menetap di pondok pesantren yang ada.
Adapun bila dilihat dalam perspektif historis, istilah santri dan pesantren dapat dikatakan sebagai indigenous (asli) Indonesia. Meski belakangan ada yang berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa Arab yang terambil dari huruf sin, nun, ta, ra, dan ya’. Setiap hurufnya memiliki makna tertentu. Meski pendapat ini sulit dibuktikan dalam konteks historis dan terkesan dicari padanan katanya. Namun, semangatnya dapat dijadikan acuan pada setiap santri.
Terlepas dari perbedaan di atas, perlu diakui bahwa eksistensi santri telah ada sejak berdirinya pondok pesantren di negeri ini. Kontribusinya tak diragukan, baik dalam penyebaran Islam, merebut dan mempertahankan kemerdekaan, serta membangun peradaban di NKRI. Hakikatnya, ruh santri adalah sosok penuntut ilmu yang memiliki adab mulia. Pemilik adab merupakan tanda manusia berperadaban. Sementara tanda pemilik ilmu senantiasa membangun dan menghargai peradaban.
Meski awalnya eksistensi santri dan pesantren dipandang “sebelah mata” dan terkesan lembaga pendidikan second class, namun secara bertahap lembaga ini menampilkan performance dan kualitas yang setara, bahkan melebihi lembaga pendidikan formal lainnya. Sungguh, semangat keikhlasannya menjaga ajaran Islam dan kedaulatan NKRI tak diragukan lagi. Kontribusinya dalam membangun, mewarnai peradaban negeri ini demikian nyata dan telah teruji sepanjang masa. Untuk itu, eksistensinya mendapat-kan momentum tatkala negara hadir mengakui keberadaan dan kontribusinya. Adalah tanggal 22 Oktober 2015, negara (Presiden Joko Widodo) menetapkannya sebagai Hari Santri Nasional. Sebuah penghargaan dan pengakuan negara atas peran para santri dan pondok pesantren sepanjang sejarah dalam merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdeka-an. Torehan sejarah yang tak terlupakan, tertulis dengan tinta emas, dan diingat sepanjang masa.
Meski wajah pesantren saat ini mengalami dinamika signifik-an, namun ruh pesantren dan karakter santri era awal perlu selalu dipertahankan dan dilestarikan, seiring inklusifitas atas dinamika perkembangan zaman. Ruh keikhlasan, adab, kemandirian, ketekunan, keluasan ilmu agama, penjaga al-Quran dan Sunnah, pengawal dan penerus ahlussunnah wal jama’ah, serta kearifan lokal yang menjadi nafas pesantren perlu dipertahankan. Nafas ini menjadi ciri dan citra setiap santri dan lembaga pendidikan pesantren. Para santri dan kelembagaan pesantren dituntut inklusif atas dinamika zaman pada aspek “asesoris” untuk menempatkan pesantren sesuai perkembangan guna menjawab tuntutan zaman tanpa terkelupas identitas dan ruh karakteristiknya.
Peringatan Hari Santri Nasional tahun 2023 mengangkat tema “Jihad Santri ; Jayakan Negeri”. Tema ini sangat relevan untuk menjawab kondisi saat ini. Makna jihad pada konteks santri dipahami sebagai upaya sungguh-sungguh, cerdas, berkarakter, dan terbangun idealisme kebangsaan untuk mencapai kebaikan manusia secara keseluruhan di NKRI.
Hal ini disampaikan Gus Yaqut (Menteri Agama RI) bahwa “makna jihad pada konteks ini meliputi jihad santri jayakan negeri dan jihad santri di era transformasi digital”. Titik tuju tema ini merupakan tantangan bagi seluruh elemen, terutama pengelola pesantren agar bersama mengayunkan langkah mencapai maksud yang diharapkan. Jihad santri berorientasi pada kesungguhan menuntut ilmu, menyebar-kan ilmu, mengamalkan ilmu (adab), mengembangkan ilmu, dan menjadikan ilmu untuk membangun NKRI. Tema bijak di atas perlu dipahami secara komprehensif, antara lain :
Pertama, Belajar dan menuntut ilmu tak pernah jemu. Para santri perlu bersungguh-sungguh dan meluruskan niat untuk menuntut ilmu. Pesantren bukan sekedar trend tatkala segelintir pendidikan di luar pesantren mengalami pergeser-an. Bahkan, civitas pesantren perlu memiliki daya imun (daya tangkal) agar perilaku su’ul adab dan melanggar aturan tak menjangkiti wilayahnya. Kehadiran pesantren bukan semata-mata berorientasi bisnis atau prestise segelintir personal yang hanya mengejar status sosial dan “dipolitisasi”. Eksistensi pesantren harus istiqamah pada tujuan luhur agar mampu menghantarkan para santri memiliki semangat jihad menegakkan agama Allah dan membangun NKRI. Melalui upaya ini, diharapkan gerak juang (jihad) para santri memiliki dan menguasai sejumlah ilmu yang mendalam mampu menghantarkannya tampil aktif bagi membangun peradaban di negeri ini. Melalui ilmu yang dimiliki, derajat santri dan pesantren akan terangkat. Demikian janji Allah dan Rasu-Nya. Hal ini dinukilkan melalui firman-Nya : “niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. al-Mujadalah : 11).
Demikian pula pada beberapa hadis, Rasulullah mengingat-kan melalui sabdanya : “Barangsiapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia pulang kembali” (HR. Tirmidzi).
Ayat dan hadis di atas menjadi motivasi bagi setiap pemilik “ruh santri” pada dirinya untuk senantiasa mencari ilmu (tak bertepi), memahami ilmu, mengamalkan ilmu, mencintai ilmu, mengembangkan ilmu, dan menyebarkan ilmu. Semua dilakukan bukan untuk memamerkan diri meraih pujian, tapi semata-mata untuk menemukan jalan menuju cinta-Nya dan mendapatkan derajat yang dijanjikan-Nya.
Kedua, Berkarya, berbakti untuk negeri, dan menyebarkan ilmu tiada henti. Para santri perlu melahirkan berbagai karya dan inovasi nyata sesuai bidang keahlian yang dimiliki. Melalui jihad ini, santri akan tampil aktif membangun per-adaban dan menyebarkan ilmu (karya) yang akan berman-faat bagi kemanusiaan dan kemakhlukan. Bila jihad ini mampu dilaksanakan, maka para santri telah mengimplemen-tasikan sabda Rasulullah : “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia” (HR. Ahmad).
Model jihad dengan melahirkan karya cerdas untuk mem-bangun peradaban seperti ini telah dilakukan para ulama muslim era keemasan. Adalah sosok Ibnu Sina, Ibn Khaldun, Ibn Haitham, al-Khawarizmi, Imam Syafi’i, dan ratusan ulama muslim lainnya. Semuanya hadir melalui jihad dalam menuntut ilmu tanpa jemu, berkarya tiada riya’, dan mengabdi untuk Ilahi bagi terbangun peradaban negeri.
Tentu, karya yang dilahirkan para santri era modern perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pendekatannya perlu berbasis digital dan bersifat implementatif. Melalui pendekatan karya cerdas para santri yang berbasis digital, dimungkinkan akan mampu mewarnai era ini dengan nilai-nilai religius yang kental bagi tertanamnya adab (mulia) bagi peradaban manusia.
Untuk itu, jihad dalam konteks ini dengan melakukan apa yang menjadi kewajiban, bukan mengurusi yang bukan kewajiban. Memikirkan apa yang diamanahkan, bukan memikirkan amanah yang ada pada orang lain. Makna jihad yang demikian merupakan jihad seluruh anak bangsa di negeri ini, di tengah demikian “liar” dunia digital memberi ruang hadirnya “keusilan” informasi hoax yang dipolitisir.
Ketiga, Mengamalkan ilmu dengan adab yang bercermin pada akhlak Rasulullah SAW. Hal ini sesuai pesan Rasulullah melalui sabdanya : “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Baihaqi).
Secara historis, peradaban era jahiliyah telah maju untuk zamannya. Kata jahilyah yang disematkan pada era tersebut disebabkan peradaban yang dimiliki tanpa adab (akhlak). Dari hadis di atas, terlihat bahwa adab berada di atas ilmu. Setiap pemilik adab pasti pemilik ilmu, sementara pemilik ilmu belum tentu memiliki adab (bahkan tak beradab). Hal ini secara tegas diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalau-nya diulurkannya lidah-nya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpa-maan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir (QS. al-A’raf : 176)
Keempat, Kemandirian diri dan berfikir kreatif tanpa ber-pangku tangan. Santri harus memiliki karakter pantang mengemis dan meminta-minta, apatahlagi “menjual” harga dirinya. Sebab, di pundaknya terpikul risalah agama yang harus dijaga. Untuk itu, pesantren perlu membangun kemandirian santri dibangun melalui melalui kemandirian pesantren. Para santri memiliki akal yang perlu dikembang-kan untuk berfikir bagi terpenuhi kebutuhannya.
Kemandirian pesantren menjadi tantangan sekaligus kebutuhan yang mendesak. Pesantren perlu mengembang-kan semangat interpreneurship dengan memanfaatkan sumber alam (lokal) yang ada. Melalui upaya ini, eksistensi pesantren akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat lebih baik. Penekanan kemandirian bukan pada aspek ekonomi semata, tapi bertujuan edukasi agar santri memiliki jiwa kemandirian dan membuka lapangan kerja. Pada aspek lain, melalui kemandirian pesantren, eksistensinya akan menjadi pelopor “tangan di atas” yang bermartabat di tengah tradisi “tangan di bawah” yang menjamur.
Kelima, Menjaga NKRI dari seluruh anasir yang mengganggu keutuhan negeri ini. Semangat patriotik para pahlawan nasional yang lahir dari pondok pesantren untuk merebut, membela, mempertahankan, dan mengisi NKRI harus diteruskan. Mereka antara lain : Pangeran Diponegoro, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Wahid Hasyim, KH. Zainal Arifin, KH. Zainal Musthafa, KH. Noer Ali, dan masih banyak lagi tokoh santri yang telah “berjihad” untuk negeri ini. Mereka berjihad dengan ikhlas dan tawadhu’ melalui semua lini dan ruang. Kesemuanya terukir indah dengan bangunan karakter adab yang dicontohkan dan warisan yang ditinggalkan dalam membangun peradaban yang telah dinikmati sampai saat ini.
Ruh semangat para tokoh santri dalam lintas sejarah di atas perlu diwariskan dan diteruskan oleh seluruh anak negeri, terutama harus dimiliki oleh setiap santri. Sikap ini merupa-kan pengejawantahan padi yang menguning, runduk, dan berisi. Ia wakafkan dirinya pada manusia dan seluruh alam. Bukan sebagai ilalang yang hanya tegak menjulang (seakan hebat), namun tanpa isi dan tak memberi manfaat sedikit jua. Dunia pesantren dan para santri perlu meneruskan semangat padi. Senantiasa memberikan kebaikan meski terkadang di tengah “asupan air dan pupuk” yang kurang.
Sungguh momentum peringatan Hari Santri Nasional 2023 menjadi sangat strategis dan penting, terutama menjelang “tahun politik”. Untuk itu, dunia pesantren dan para santri harus menampilkan high politic dengan keteduhan dan sikap bijaksana di tengah dinamika eskalasi politik yang menguat. Para santri perlu menjadi motor penggerak dan pengawal politik santun nan beradab. Sikap keteduhan yang dilakukan dan kemandirian yang dimiliki para santri akan memperlihat-kan ketinggian adab yang mewarnai martabat demokrasi dan kualitas peradaban NKRI sebagai wujud jihad para santri.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Oleh: Prof Samsul Nizar (Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis)
Sumber: www.riaupos.jawapos.com
Recent Comments