Jarum dan gunting merupakan perkakas yang familiar dan selalu ada pada setiap rumah tangga. Namun, tak semua sempat untuk memperhatikan hikmah yang bisa diambil bagi kehidupan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jarum adalah alat jahit yang terbuat dari logam, bentuknya bulat panjang, kecil, berujung runcing, lurus (ada yang bertakuk, berkait, atau melengkung pada bagian ujungnya), dan terdapat lubang tembus pada bagian pangkal tempat memasukkan benang. Sedangkan gunting adalah perkakas untuk memotong kain (rambut dan sebagainya). Keduanya merupakan  peralatan yang dibutuhkan manusia. Meski hanya sebatas digunakan, tapi tak menjadi pelajaran bagi kehidupan. Padahal, keduanya berkaitan dengan sifat dan karakter manusia.

Adapun filosofi jarum dan gunting dalam kehidupan, antara lain : Pertama, jarum bekerjasama dengan benang mampu menyatukan dua sisi yang terpisah dan terkoyak. Meski “tusukan jarum” membuat rasa sakit pada setiap kali tusukannya, namun niat dan tujuannya sangat mulia, yaitu agar dua kutub yang terpisah (terkoyak) menyatu dan kembali menjadi harmonis. Bagai aktivitas penjahit yang selalu berusaha menyatukan beberapa bagian yang terpisah agar manusia bisa tampil lebih elegan. Jarum dan benang menyatukan beberapa bagian terpisah dengan penuh hati-hati, bahkan berupaya agar tak terlihat ada bekas jahitan (tambalan). Walaupun sulit menghilangkan bekas atau tandanya, paling tidak jahitan tersebut telah menghindarkan seseorang dari rasa malu tanpa peradaban.

Demikian dalam kehidupan, manusia sebaiknya berusaha untuk tidak mempermalukan dan memisahkan seseorang. Kalau ada aib seseorang yang diketahui secara tidak sengaja, maka sebaiknya bukan semakin digunting agar semua melihat borok aib saudara. Sebaiknya, manusia bersikap sebagai-mana penjahit menggunakan jarum dan benang untuk menyatukan kain guna menutupi aib sesama. Begitu juga jika ada hubungan seseorang mulai renggang dan berpotensi terkoyak-koyak, maka sebaiknya segera lakukan upaya untuk menyatukannya sebagaimana yang dilakukan jarum jahit yang menyatukan kembali kain yang robek (terkoyak). Hal ini merupakan sifat terpuji dan diperintahkan Allah melalui firman-Nya : ”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat” (QS. al-Hujurat : 10).

Meski jarum diujungnya tajam, tapi dibelakangnya terdapat lobang tempat benang melaksanakan fungsinya menyatukan sisi-sisi yang terpisah. Hanya saja, ketika melaksanakan fungsi dan tugasnya untuk menjahit acapkali membuat jari terluka bila tidak hati-hati. Simbol setiap upaya meraih kebaikan akan bersinggungan dengan kepentingan yang menyebabkan luka atas ketidaksenangan “penikmat keburukan dan aib” yang ada pada sesamanya.

Peran jarum dan benang menawarkan upaya “al-ishlaah”  (mendamaikan) dan perbaikan hubungan antar hamba yang dilakukan secara bijaksana. Sosok yang demikian dinukilkan dalam kata pepatah Melayu “bagai menarik rambut dalam tepung, rambut tak putus dan tepung tak berserakan”.

Ketika ada permusuhan dan kebencian, kehadiran sosok manusia yang berkarakter “jarum dan benang” sangat dibutuhkan agar mampu mendamaikan dan memperbaiki hubungan sesamanya. Semakin “jarum dan benang” mampu melaksanakan fungsinya, maka perdamaian akan terwujud. Dengan kata lain, jika putusnya hubungan di antara dua orang yang bermusuhan lebih besar bahayanya, maka mendamaikan di antara keduanya menjadi semakin ditekankan. Hal ini karena putusnya jalinan silaturahmi dan permusuhan akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar.

Kedua, gunting untuk memotong. Dengan ketajaman dua bagiannya yang saling bertemu, keutuhan kain (benda lainnya) mampu terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Gunting memotong objek yang dekat dengannya. Gunting memotong objek yang dekat dengannya. Bila objek yang jauh dari jangkauannya, gunting tak bisa memotong. Demikian manusia yang berkarakter gunting  biasanya orang yang dekat dengan mereka yang akan “digunting”. Begitu bahaya manusia yang bersifat gunting. Banyak peribahasa Melayu mengingatkan,  “mengail dalam belanga, menggunting dalam lipatan” (mempergunakan kesempatan untuk keuntungan pribadi tanpa memikirkan nasib kawan akibat perbuatannya).

Makna “lipatan” (kain atau kertas) menunjukkan bentuk yang tersembunyi dan sukar dilihat. Bila berada dalam lipatan ketajaman gunting mampu memotong dengan tanpa meninggalkan jejak. Mereka yang memiliki sifat ini acapkali banyak muslihat dan kemunafikan. Dalam diam dan interaksi, bersamaan mencari kelemahan sesama. Dalam pujian, tersembunyi cacian dan penghinaan. Manusia yang berkarakter “gunting”, kehadirannya berujung untuk melukai. Ada pula pribahasa lain “seperti gunting makan di ujung” (perlahan-lahan atau diam-diam tidak kentara, tetapi mengena atau tercapai apa yang dimaksudkan).

Hampir semua pribahasa yang menggunakan kata “gunting” berkonotasi negatif. Semuanya berkaitan dan ditujukan terhadap karakter manusia yang hina. Pribahasa leluhur mengingatkan agar manusia selalu bercermin untuk terhindar dari sifat “gunting”. Sebab, pemilik sifat “gunting” bertujuan pada perpecahan. Akibatnya, muncul kehancuran pada peradaban yang ada. Tak ada yang bisa dibanggakan pemilik sifat “gunting”. Hanya kehancuran yang akan diperoleh. Padahal, sifat ini bertentangan dengan ajaran Allah dan Rasulullah. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk” (QS. Ali Imran : 103).

Meski ayat di atas demikian jelas, namun anehnya pemilik sifat “gunting” acapkali “dipelihara dan diciptakan” untuk kepentingan tertentu. Setiap pemilik sifat “gunting” berasal dari internal dan dekat dengan “kain yang akan digunting”.Upaya antisipasi agar perpecahan tidak terjadi, merupakan upaya yang harus dilakukan oleh setiap pemilik peradaban.

Ajaran Rasulullah melalui “Piagam Madinah” merupakan wujud jarum dan benang yang demikian nyata. Batasan kerja jarum dan benang untuk merajut perbedaan demikian terang. Acuan ini diteruskan oleh umat sesudahnya sampai saat ini. Hanya saja, upaya masih dominan antar pemeluk agama, terutama pada posisi mayoritas terhadap minoritas. Sementara upaya “mendamaikan” intern agama dan fenomena minoritas terhadap mayoritas masih belum maksimal. Bahkan, pada kasus tertentu, intern umat beragama lintas sektor acapkali “bergesekan”, serta terkadang minoritas memanfaatkan posisinya secara tidak bijak dan berperadaban terhadap mayoritas.

Adapula pribahasa leluhur yang menggunakan kata jarum dan gunting secara bersamaan, antara lain “kita membawa jarum, dia menyambut dengan gunting”. Peribahasa ini bermaksud, ketika sesama sibuk mencari jalan supaya bisa bersatu dan harmonis untuk mencapai mufakat, namun ada saja mereka yang selalu berusaha untuk menggagalkan kata mufakat dan berupaya memecah-belah agar terjadi perselisihan yang berujung permusuhan.

Ada beberapa penggunaan kata jarum dan gunting sebagai kata kiasan yang berhubungan prilaku manusia, antara lain : lubang jarum mengisyaratkan makna kebahagiaan atau kesulitan kehidupan yang harus dilalui secara sabar, lulus jarum lulus kelindan bermakna ketika maksud yang satu sudah tercapai maksud yang lain diharapkan tercapai pula, tertusuk ujung jarum yang tajam bermakna melakukan pekerjaan yang sangat sulit dan perlu kehati-hatian agar tidak terluka atau melukai, ujung jarum yang halus berkelindan sutera bermakna kewaspadaan terhadap berbagai tipu muslihat yang sangat halus, jarum bersama benang bermakna ikhtiar menyatukan atau merekatkan yang terpisah, atau varian lainnya. Demikian banyak butiran hikmah yang dinukilkan melalui jarum dan benang.

Berbeda dengan fungsi gunting. Dengan ketajamannya, gunting mampu memotong (kain, benang, atau sejenisnya). Sesuatu yang awalnya utuh, melalui ketajaman gunting mampu menjadi terpotong-potong menjadi berbagai bentuk. Sifat gunting sangat berbahaya bila dimiliki seorang manusia. Wajar bila pepatah Melayu mengingatkan : “Janganlah berjalan seperti gunting. Meskipun lurus tapi memisahkan apa yang sudah menyatu. Jadilah seperti jarum. Meskipun menusuk dan menyakitkan tapi dapat menyatukan apa yang sudah terpisah”. Sifat gunting dapat dilihat pada bentuk perbuatan atau kata-kata yang keluar dari diri manusia. Terlihat katanya lurus seakan berpihak pada kebenaran, namun sebenarnya ingin menghancurkan. Fenomena ini demikian mudah terlihat terutama di era media sosial saat ini. Acapkali sifat gunting terbawa pada ungkapan atau postingan yang disampaikan. Kedangkalan berpikir dan tidak bijaksana bermedia berakibat fitnah dan kata yang menyakitkan. Bahkan, acapkali sifat gunting menjadi pilihan untuk memperoleh “pundi” memenuhi kebutuhan. Seyogyanya media sosial dijadikan media “jarum dan benang” yang mencerdaskan. Namun, pilihannya media sosial sebagai “gunting” menyebarkan kebencian dan perpecahan. Padahal, Rasulullah telah mengingatkan manusia melalui sabdanya : “Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat” (HR. Muslim).

Demikian bahaya ucapan yang keluar dari mulut manusia berkarakter gunting. Katanya tanpa difikirkan terlebih dahulu. Ketika media sosial era modern lebih efektif menawarkan informasi terkirim secepat cahaya, namun semua tergantung penggunanya, apakah berkarakter jarum dan benang atau gunting. Bila kata atau informasi bernas dan berisi kebaikan, maka ia akan menjadi jarum dan benang yang mampu mengikat diri dengan ilmu untuk menjahit baju diri (karakter) dengan pakaian yang indah. Namun, bila kata atau informasi “bangkai” dan berisi keburukan, maka ia hanya akan menjadi gunting yang akan menjadi media memecahbelah dan menyakiti hati sesama.

Pribadi pemilik karakter jarum dan gunting menunjukkan kualitas diri yang sebenarnya. Hal ini diingatkan Sayidina Ali bin Abi Thalib melalui pesannya : Lidah (berikut varian tulisan *pen) orang berakal berada di belakang hatinya, dan hati orang bodoh berada di belakang lidahnya (tulisan *pen).”  Demikian dalam dan begitu jelas nasehat yang disampaikan Sayidina Ali, sekaligus menjadi cermin kualitas diri bagi manusia yang mau berkaca. Namun, bagi manusia yang tak pernah dan tak mau “berkaca”, jangan nasehat sesama, bahkan sabda Rasulullah dan firman Allah sekali-pun seakan tak mampu menyadarkannya.

Dalam realita, jarum dan gunting selalu hadir berdampingan. Bagaikan hadirnya pemersatu dan pemecah dalam kehidupan. Memilih karakter jarum dan benang memang sulit dibanding pilihan gunting yang lebih disukai. Namun, di tangan manusia yang bijak, keduanya digunakan untuk kebaikan. Jarum akan dijadikan sebagai media untuk menyatukan yang “koyak” dan gunting digunakan untuk memotong “benalu” yang merusak tanaman. Ketika benalu terpotong oleh gunting, pohon bisa diselamatkan dan hidup subur untuk selanjutnya memberikan buah yang terbaik.

Demikian kehidupan sosial, diperlukan sosok pemimpin cerdas untuk menggunakan gunting guna memotong “rumput liar dan benalu beracun” agar tatanan peradaban menjadi rapi, sehat, dan tumbuh subur. Ditangannya terbangun pula kebijakan menggunakan jarum dan benang hanya untuk menyatukan yang sepatut atau sepantasnya disatukan. Profesionalitas dan kualitas didahulukan untuk terbangun peradaban. Namun, terkadang bagi manusia pemilik “kedunguan peradaban”, eksistensi jarum dan benang hanya digunakan untuk menyatukan “keluarga atau koleganya” (nepotisme) yang “sakit dipandang mata” dan jauh dari adab (peradaban). Sementara “gunting” hanya akan digunakan untuk “memotong” semua yang di luar “ikat pinggangnya”, semua halangan yang menghadang keinginannya, atau setiap manusia pemilik peradaban yang dikhawatirkan menghalangi tujuannya. Semua dilakukan untuk menutupi “kedunguan” diri yang tak cerdas dan tak  beradab, mengabadikan kekuatan yang dimiliki atau sebagai upaya merebut kuasa yang diinginkannya.

Meski semua pilihan dan konsekuensi atas pilihan demikian jelas, namun pilihan tergantung kualitas karakter diri yang akan memilih. Pilihan bijak akan mengangkat martabat kemanusiaan dan peradaban. Sementara pilihan yang membajak akan memijak sisi kemanusiaan dan keadilan hanya akan menggiring pada martabat kehinaan. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.

Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 24 Juli 2023

Oleh : Samsul Nizar (Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis)

Translate »