Rabi’ah Al-Adawiyah adalah seorang sufi wanita yang nama dan ajaranya telah memberikan inspirasi bagi para pecinta illahi. Rabi’ah adalah seorang sufi legendaris. Sejarah hidupnya banyak diungkap oleh berbagai kalangan, baik di dunia sufi maupun akademik.

Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran mahabbah (cinta) ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan illahi).

Kelahiran Rabi’ah

Rabi’ah adalah anak terakhir dari empat saudara. Semuanya perempuan. Ayahnya menamakan Rabi’ah, yang artinya “empat”, tak lain karena ia merupakan anak keempat diantara empat saudaranya itu. Pernah suatu ketika ayahnya berdoa agar dikaruniai seorang anak laki-laki ini.

Namun, keinginan nya pupus untuk memeroleh anak laki-laki dikarenakan keluarga Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tetapi sebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Setiap hari ayahnya memeras keringat untuk menghidupi keluarganya, sedangkan anak-anaknya itu masih terbilang kecil-kecil.

Apalagi, dengan kehadiran Rabi’ah, beban penderitaan ayahnya semakin bertambah berat, sehingga bila dikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang, karena anak laki-laki bisa melindungi seluruh keluarganya.

Paling tidak ia bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan. Keluarganya serba hidup kekurangan, tetapi ayah Rabi’ah selalu hidup zuhud dan penuh kesalehan. Begitu pula dengan Rabi’ah, meskipun sejak kecil hingga dewasanya hidup kekurangan, ia sama sekali tidak menciutkan hatinya untuk terus beribadah kepada Allah.

Sebaliknya, kekurangan keluarganya ia jadikan kunci untuk memasuki dunia sufi, kemudian melegendakan namanya sebagai salah seorang sufi wanita di antara deretan sejarah para sufi.

Rabi’ah lahir pada malam hari. Saat itu sama sekali tidak ada minyak di rumahnya sebagai bahan penerangan, termasuk kain untuk rabi’ah sang bayi. Karena tidak ada lampu, ibunya meminta suaminya ismail, mencari minyak di rumah tetangga. Namun, karena suaminya berjanji tidak akan meminta bantuan orang-orang terdekatnya (kecuali Tuhan), ismail harus pulang dengan tangan kosong.

Saat Ismail tertidur untuk menunggui putri keempatnya yang baru lahir , ia bermimpi didatangi oleh Rasulullah Saw. dan bersabda, “janganlah bersedih hati, sebab anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung, yang pengaruhnya akan dianut oleh tujuh ribu umatku, ”

Rasulullah Saw. Kemudian bersabda lagi, “Besok, kirimkan surat kepada Isa Zadzan, amir Kota Bashrah. Ingatkanlah kepadanya bahwa ia biasanya bershalawat seratus kali untukku dan pada malam jumat sebanyak empat ratus kali.

Tetapi malam jumat ini ia melupakanku, dan sebagai hukumannya ia harus membayar denda kepadamu sebanyak empat ratus dinar. ” Kemudian ayah Rabi’ah terbangun dan menangis. Kemudian ia pun menulis surat dan mengirimkannya kepada amir kota Bashrah, yang dititipkan kepada pembawa surat pemimpin kota itu.

Ketika Amir selesai membaca surat itu, dia berkata: “Berikan dua ribu dinar ini kepada orang miskin sebagai tanda terima kasihku, karena Rasulullah mengingatkanku untuk memberikan empat ratus dinar kepada lelaki tua itu. Temui aku agar aku bisa bertemu dengannya. Tapi kupikir tidak pantas orang seperti itu datang kepadaku. Aku akan datang padanya dan menghapus kesedihannya dengan janggutku”.

Saat Rabi’ah menjadi budak

Ketika rabi’ah mencapai usia dewasa, kedua orang tuanya meniggal. Perlakukan dia seperti yatim piatu. Kesengsaraan terus meningkat di Rabia, terutama setelah kelaparan parah di kota Basra. Rabi’ah harus berpisah dengan saudara -saudaranya, sehingga ia menderita sendirian.

Suatu hari, saat berjalan-jalan di kota Basra, dia bertemu dengan seorang pria dengan motif tersembunyi. Pria itu kemudian meraih Rabi’ah dan menjualnya sebagai budak kepada seorang pria seharga enam dirham.

Sebagai seorang budak, Rabi tidak manusiawi. Siang dan malam, energi Rabbi terkuas tanpa disadari. Suatu ketika, ada seorang bule yang mendatanggi Rabi tanpa mengenakan kerudung. Rabi’ah meronta dan terpeleset saat pria itu mendekatinya. Dia meletakkan wajahnya di pasir panas dan berkata:

” Ya Allah, aku seorang mufashir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu, seorang budak. Aku jatuh dan terluka. Tapi, aku tidak menyesalinya. Aku hanya ingin menyenangkanmu. Aku benar-benar ingin tahu apakah kamu puas dengan saya?

Setelah mendengar suara berkata : ”jangan bersedih, karena pada hari perhitungan, derajatmu akan sama dengan orang-orang yang paling dekat dengan Allah di surga”.

Setelah itu. Rabi’ah kembali kepada orang tuanya dan melanjutkan puasanya sambil melakukan pekerjaannya sehari-hari. Artinya, ia mampu berdiri hingga tengah hari saat melakukan ibadah.

Suatu malam, ketika orang tuanya terbangun dari tidurnya, dia melihat Rabiah berlutut dari jendela kamar tidurnya. Rabi’ah berdoa dalam doanya:

”Ya Allah, ya tuhanku, Engkau-lah yang Maha Mengetahui keinginan dalam hatiku untuk selalu menuruti perintah-perintahmu jika persoalanya hanyalah terletak padaku, maka aku tidak akan berhenti satu jam pun untuk beribadah kepadamu ya Allah, karena Engkau lah yang menciptakanku.

Saat Rabi’ah masih khusyuk berdoa, orang tuanya tampak melihat sebuah lentera tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa seutas tali pun. Lentera yang menerangi seluruh rumah adalah lampu rahmat ilahi. Majikan Rabi’ah secara alami ketakutan dengan apa yang terjadi pada budak mereka.

Kemudian dia bangkit dan kembali ke tempat tidur aslinya. Dia tertegun sampai subuh. Tak lama kemudian, dia memanggil Rabi’ah dan berbicara dengan ramah padanya, sekaligus membebaskan Rabi’ah sebagai budak. Rabi’ah pun mengucapkan selamat tinggal, dan terus mengembara di gurun tandus.

Dalam pengembaraannya, Rabi’ah bercita-cita untuk berziarah ke Mekkah. Akhirnya ia pun berangkat dengan seekor keledai sebagai pengangkut barang-barangnya. Sayangnya, keledai itu mati mendadak dalam perjalanan ke Mekkah.

Kemudian dia menemukan sebuah karavan, dan mereka menawarkan untuk meminta Rabia membantunya membawakan barang-barangnya. Namun, ia menolak tawaran tersebut dengan alasan tidak ingin mencari pertolongan kepada siapapun selain Tuhannya. Dia hanya percaya pada pertolongan Allah, bukan pada ciptaan-Nya.

Menjelang hari kematian Rabi’ah

Narasi Rabi’ah telah hidup selama kurang lebih delapan puluh tahun. Selama itu, dia hanya melayani Allah sebagai penciptanya sendiri sampai malaikat Azrael menjemputnya. Tentu Rabi juga mengalami saat-saat ketika Allah selalu dekat dengannya.

Ulama yang tahu betul tentang Rabiah mengatakan, “Rabbiah ada sampai dia kembali ke akhirat dan tidak pernah berpikir untuk memiliki keinginan sedikit pun selain ta’zhim (pujian) Allah. Dia menuntut sangat sedikit dari makhluknya.

menjelang akhir kehidupan. Rabi’ah tinggal bersama sahabatnya Abdah binti Abi Syawal yang tinggal bersamanya sampai akhir hayatnya. Rabi’ah tidak ingin menyusahkan siapapun, maka dia meminta Abdah untuk membungkus tubuhnya nanti dengan kain kafan yang telah dia siapkan sebelumnya.

Di ranjang kematiannya, banyak orang saleh ingin menemaninya, tetapi Rabi menolak. Ia diperkirakan meninggal pada tahun 801 M atau 185 H dalam usia 83 tahun dan dimakamkan di Basra, Irak.

Kematian Rabiah membuat hampir semua orang yang mengenalnya tidak percaya, wanita suci ini meninggalkan dunia fana dan bertemu dengan Tuhannya yang tercinta. Orang-orang merasa kehilangan Rabiah karena dia adalah wanita yang menderita sepanjang hidupnya dan tidak pernah bergantung pada manusia. Semua orang pasti akan mengingat Rabia sebagai seorang sufi yang bertemu dengan Tuhannya.

Sumber : qureta.com

Translate »