Kalam Ilahiah Tentang Berkesudahannya Orang-Orang Terdahulu
Ajakan untuk mematuhi perintah-perintahNya dan berbuat kebajikan di muka bumi, memang selalu diulang-ulang dalam kitab suci.
Agar, setiap KalamNya tak sekedar menggurat, membekas dalam bagi siapapun manusia yang memaknainya. Melainkan pula, menjadi pemicu untuk berpikir, memperpanjang akal yang dikaruniakanNya.
Memperluas makna yang tersurat pun tersirat dalam setiap Kalam, yang bahkan berkali-kali menghabiskan tinta seluas samudera pun, tak bakal kuasa manusia menuliskan kekayaan ilmu dan pengetahuanNya.
Menjadi menarik untuk memaknai hikmah dari kisah-kisah orang terdahulu dan bagaimana jalan berkesudahan mereka, apakah dalam berkah serta kemuliaan atau sebaliknya, bergelimang azab dan siksaan.
Kisah Nuh Hakikat Awal Homo Sapiens, Manusia Modern
Tentang bagaimana nabi Nuh mendapat ilham untuk membangun sebuah bahtera, karena seisi bumi bakal diterjang oleh banjir bandang. Sebuah bahtera yang menyelamatkan sedikit orang yang mengimani akan keberadaan Tuhan.
Sementara orang-orang yang selalu mengejek nabi Nuh saat sedang bersusah payah membuat bahtera, orang-orang yang meragukan keEsanNya, mereka binasa tenggelam tersapu air bah, termasuk Qan’an putra sang nabi.
Bahtera raksasa yang berisikan orang-orang yang berserah diri, hewan-hewan jantan dan betina serta aneka tanaman sebagai bekal berperikehidupan baru, terombang-ambing oleh gelombang-gelombang air setinggi gunung, saat bumi dilanda air banjir bandang global, mengubah daratan menjadi lautan.
Sebaliknya, permukaan dataran baru pun bermunculan. Salah satunya, gunung bernama Judi, yang membuat bahtera Nuh terdampar.
Babak baru yang mengawali sejarah perkembangan peradaban manusia pun dimulai sejak itu. Semenjak air menjadi lebih dominan mengisi bumi, dibandingkan tanah daratan.
Kisah nabi Nuh melanjutkan perjalanan sosok Adam sebagai nabi pertama, bersama Siti Hawa sang istri, mereka berdua adalah sepenuhnya makhluk penghuni langit surga, yang diturunkan ke bumi, demi menjalani amanahNya.
Satu amanah untuk menyentuh akal dan budi pekerti, membimbing manusia sebagai makhluk paling berakal di dalam bumi, agar memuliakan seisi bumi hingga akhir waktu nanti.
Tak lama setelah perjalanan hidup nabi Nuh, adalah Hud, sosok nabi kaum ‘Ad. Suatu kaum yang karena mengingkari ajakan sang nabi untuk mengimani keberadaanNya, mereka pun binasa.
Kebinasaan kaum ‘Ad, bisa termaknai sejalan dengan tenggelamnya sebagian kaum nabi Nuh, yakni ajakan kepada manusia untuk mengimani adanya Tuhan.
Kisah nabi Nuh yang berkelindan dengan kisah nabi Hud, mengawali babak baru peradaban manusia di bumi.
Suatu proses panjang menuju peradaban, bagaimana bumi lalu dihuni oleh manusia yang secara fisik pun akal budi pekerti, sebagaimana sosok manusia seperti sekarang ini.
Berperadaban Tinggi Namun Mengingkari Dzat Yang Maha Tinggi
Betapa, Dia Yang Maha Kuasa, telah menyuratkan kisah-kisah awal peradaban bumi saat tak hanya dihuni oleh manusia modern, namun juga makhluk-makhluk serupa manusia, yang keduanya bisa berkesudahan dengan azab siksaan.
Sementara yang lain, khususnya sedikit dari kaum nabi Nuh, yaitu manusia-manusia modern yang beriman, terselamatkan dan mendapat ijin dariNya guna melanjutkan peradaban di bumi.
Seiring perjalanan waktu, manusia berkembang biak bersama akal budi pekerti serta ilmu pengetahuan selagi berperikehidupan, membentuk peradaban.
Lalu, akankah pesan-pesan Ilahiah berupa berkesudahannya orang-orang terdahulu pada era nabi Nuh dan nabi Hud, bisa termaknai bahwa menjadi beriman itu bisa menyelamatkan manusia dari kebinasaan? Ternyata tidak.
Kaum Tsamud Memperolok Nabi Saleh
Hakikat manusia selalu menjadi lupa, tiada pernah belajar dari berkesudahannya orang-orang terdahulu, menjadi terulangi lagi pada era nabi Saleh, yang mengajak kaumnya, orang-orang Tsamud agar mengimani keberadaan Tuhan.
Hanya sedikit orang yang mengikuti sang nabi, selebihnya tetap tak mau mengimani keberadaan Dzat Yang Maha Kuasa, dengan cara mengolok-olok larangan sang nabi yang berpesan agar tidak menyembelih seekor sapi betina.
“Bersuka citalah kalian selama tiga hari ini.” Begitu sindir nabi Saleh kepada orang-orang yang tak mengindahkan larangannya, yang berarti larangan Tuhan. Karena, nabi Saleh adalah sosok manusia utusan Tuhan.
Tepat setelah hari ketiga, orang-orang Tsamud binasa karena gemuruh guntur. Tak adalagi tempat bagi mereka bersembunyi, bahkan di dalam rumah-rumah mereka yang kokoh di dinding-dinding batuan cadas perbukitan. Mereka mendadak musnah, seolah tiada pernah menghuni bumi.
Kiranya catatan sejarah perjalanan peradaban manusia, pada masa turunnya para nabi, seringkali terputus. Sehingga kisah-kisah orang-orang terdahulu kurang termaknai sehingga masih terjadi kebinasaan-kebinasaan orang-orang yang mengingkari ajakan para utusan Tuhan, nabi-nabi.
Kaum Madyan Berperilaku Curang dalam Berdagang
Penduduk Madyan, sebagian juga binasa karena mengabaikan ajakan nabi Syuaib agar menghindari perilaku buruk berupa kebiasaan mengubah, mengurangi takaran barang dagangan.
Pembelajaran tentang bagaimana berperikehidupan yang beradab di dalam bumi bagi manusia, tak serta merta diturunkan olehNya dalam sekejap. Namun, melalui suatu proses panjang yang membuahkan makna begitu dalam, bagi manusia-manusia generasi mendatang.
Mulai dari ajakan untuk mengimani keberadaan Dzat Yang Maha Mencipta, kemudian mematuhi perintahNya yang dijabarkan melalui keteladanan sosok manusia suci, yakni sang nabi yang menjadi utusanNya. Hingga, mulai masuk dalam era yang mengajarkan tentang bagaimana berperilaku yang beradab, yakni berlaku adil.
Nabi Syuaib menjadi utusanNya yang pertamakali memberi keteladanan bagi kaumnya, agar berperilaku adil, tak merugikan orang lain, dalam bentuk tak mengurangi timbangan barang dagangan.
Pada masa itu, hal sederhana yang sebenarnya bisa dilakukan, yaitu berlaku jujur, ternyata menjadi hal yang sangat luar biasa. Rupanya manusia saat itu belum sepenuhnya memaknai pentingnya berperilaku jujur bagi sesama, yang berujung pada memuliakan seisi bumi.
Kaum Madyan yang tak mengimani perintahNya, yang tersampaikan sebagai ajakan dari nabi Syuaib pun lalu mengalami kebinasaan. Nasib mereka mirip dengan kaum Tsamud, meregang nyawa karena suara guntur yang memekakkan telinga.
Apakah pada masa nabi Saleh dan nabi Syuaib, manusia telah sedemikian modern hingga mampu membangun suatu peradaban?
Beriring ilmu dan pengetahuan yang tinggi, namun mengabaikan pesan-pesan Ilahiah yang sejatinya telah terekam sebagai catatan sejarah tentang berkesudahannya orang-orang terdahulu.
Kemudian, mereka menjadi sombong dan mengolok-olok setiap ajakan pun keteladanan dari sosok suci utusan Tuhan.
Kemusnahan mereka, kaum Tsamud dan Madyan, akibat kesalahan mereka sendiri. Karena, mereka tak mengimbangi peradaban tinggi dengan mengakui setiap perintah dari Sang Maha Tinggi.
Suara gemuruh guntur yang tiba-tiba menggelegar memusnahkan mereka, adalah karya peradaban tinggi yang mengingari ajakan sosok-sosok suci utusan Ilahi. Suatu kecelakaan instalasi nuklir purba? Bisa jadi.
Kisah Nabi Ibrahim Awal Mula Manusia Belajar Tentang Kaidah dan Norma
Waktu terus konstan berjalan, generasi manusia pun turut berganti-ganti, hingga muncul nabi Ibrahim, sosok Bapak dan Kakek dari banyak nabi dan rasul, di dataran bumi wilayah timur tengah.
Banyak kisah tentang nabi Ibrahim yang inspiratif bagi manusia dan terimani kebenarannya hingga kini.
Mulai dari pergulatan batin nabi Ibrahim muda saat berseberangan dengan sang ayahanda dalam memilih sikap beriman pada Tuhan Yang Maha Esa. Lalu, kisah Siti Hajar, istri nabi Ibrahim saat mencari air untuk memberi minum Ismail yang masih bayi.
Perjalanan penuh sikap bersabar dan tawakal tersebut, kelak menjadi salah satu proses ritual beribadah Haji di tanah suci.
Kemudian, paling fenomenal adalah kisah Ismail sang putra semata wayang buah cinta nabi Ibrahim dengan Siti Hajar, yang dengan sabar berserah diri sepenuhnya mengimani kebenaran mimpi sang ayahanda, bahwa Tuhan meminta nabi Ibrahim agar berkenan menyembelih Ismail.
Buah ketakwaan Ismail, sang putra dan nabi Ibrahim sang ayahanda, mereka berdua manusia yang sabar dan salih pun mendapat ganjaran, mukjizat dari Tuhan. Berupa tergantikannya seekor domba besar, sebagai pengganti Ismail.
Kisah yang tersurat dalam kitab suci inipun menginspirasi orang-orang yang berserah diri, untuk menjalankan kegiatan Kurban.
Suatu kegiatan berupa menyembelih hewan-hewan mamalia seperti domba, sapi, kambing, unta, yang tak berkategori haram, dengan menyebut AsmaNya. Lalu daging hewan-hewan sembelihan itu, dibagi-bagi kepada orang-orang yang membutuhkan, fakir miskin.
Adalagi kisah yang mengilhami sikap bersabar dari nabi Ibrahim, saat menanti hadirnya keturunan dari Siti Sarah, sang istri pertama. Kesabaran yang menuai kebahagiaan, bahkan kabar tentang bakal tertanamnya benih seorang anak salih didalam rahim Siti Sarah, disampaikan oleh tiga orang pria yang bertamu ke rumah nabi Ibrahim.
Menyadari bahwa ketiga pria itu adalah malaikat, karena sama sekali tak menyentuh masakan istimewa berupa olahan daging anak sapi panggang, yang bagi masrayakat setempat kala itu menjadi sajian hidangan sangat lezat untuk menghormati tamu, maka nabi Ibrahim pun sempat merasa takut.
Mereka pun lantas menjelaskan bahwa kehadiran mereka adalah singgah ke rumah nabi Ibrahim mengabarkan bahwa sebentar lagi Siti Sarah akan mengandung seorang putra, yang kelak bernama Iskak, kemudian terlahir Yakub dan berturut-turut kemudian lahir nabi-nabi dari kalangan Bani Israil.
“Bagaimana mungkin, aku sudah tua, demikian pula suamiku pun telah renta.” Tanya Siti Sarah.
“Tiada yang tak mungkin apabila Allah berkehendak.” Demikian malaikat menjawab.
Sodom Hancur Karena Ulah Tak Senonoh
Berpamitan dari singgah di rumah nabi Ibrahim, ketiga pria rupawan yang adalah malaikat yang tengah menyaru dalam tubuh manusia, kemudian bertolak hendak bertemu dengan kemenakan nabi Ibrahim, yakni nabi Luth, di negeri Sodom.
Tentu, terdapat suatu permasalahan krusial, yang bahkan seorang nabi, utusan Tuhan, hendak didatangi secara khusus oleh malaikat yang hendak menyampaikan pesan dari Tuhan.
Luth, sosok pria salih utusan Tuhan, kiranya sudah pasrah tiada sanggup mengatasi perilaku kaumnya, orang-orang Sodom, yang bertabiat penyuka sesama jenisnya, homoseksual. Bahkan, nabi Luth tak sanggup menyadarkan istrinya sendiri yang mendukung perilaku itu.
Tuhan selalu memberi pertolongan pada orang-orang yang menjadi utusanNya. Ketiga malaikat yang menampakkan diri sebagai pria-pria rupawan itu, menjadi penolong nabi Luth dan sebagian kecil orang-orang yang patuh padanya. Malaikat-malaikat itu menjadi pengingat terakhir bagi orang-orang Sodom sebelum teraniaya oleh azab.
“Kaumku! Ketiga pria rupawan ini adalah tamuku. Tidak kah kalian lebih tertarik dengan putri-putriku?” Nabi Luth mengingatkan orang-orang Sodom yang menyukai sesama pria.
“Aku tiada sanggup mencegah orang-orang itu yang pasti akan menyentuh kalian.” Nabi Luth balik mengingatkan ketiga tamunya, para malaikat berwajah rupawan.
“Wahai Luth, pria salih utusan Allah, tak usahlah engkau khawatir. Pergilah akhir malam ini, menjauhi tanah ini, bersama orang-orang yang mematuhimu.” Pinta malaikat kepada nabi Luth, mengisyaratkan bakal ada petaka di negeri Sodom.
Selanjutnya, meski tak dikisahkan apakah pria-pria Sodom berbuat tak senonoh, menyentuh ketiga mailaikat itu, namun diterangkan bahwa akhir malam itu, menjelang subuh, orang-orang Sodom yang mengingkari nabi Luth, termasuk istri sang nabi, semua binasa.
Mereka diterjang oleh hujan bebatuan dan gempa dahsyat yang meluluhlantakkan tanah Sodom, memorakporandakan bangunan-bangunan kokoh tempat mereka berlindung melakukan tindakan asusila.
Nabi Luth dan sebagian kecil orang-orang Sodom yang meneladani perilaku sang nabi, terselamatkan melalui perantara kehadiran ketiga sosok malaikat.
Kisah negeri Sodom dengan orang-orang yang berperilaku mengingkari ajakan sang utusan Tuhan, harus menerima konsekuensi berakhirnya kehidupan mereka secara menyedihkan. Terkena azab, murka Tuhan.
“Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, selama penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” Demikian janji Tuhan.
Kisah Inspiratif Sang Kalimullah
Kembali sang waktu berjalan, menggurat sejarah menjadi hikmah bagi manusia pada masa-masa mendatang, tentang bagaimana orang-orang terdahulu berkesudahan.
Tiba saatnya kisah tentang seorang nabi, yang paling sering disebut dan kisah-kisahnya sering menjadi Kalam Ilahi dalam kitab suci. Adalah Musa, seorang nabi yang juga mendapat predikat, gelar sebagai Kalimullah, karena karunia atasnya bisa bertemu langsung, mendengar Kalam Tuhan, tanpa perantara malaikat.
Memaknai kisah-kisah perjalanan hidup nabi Musa Alaihis Salam, membawa angan pikiran menembus dimensi ruang dan waktu balik menuju ribuan tahun lampau, di tanah Mesir pada masa-masa kejayaan raja-raja Firaun.
Sosok Israil yang Paling Dicari
Dilahirkan pada masa kezaliman Firaun sang raja Mesir yang menganggap dirinya tuhan, mengkhawatirkan satu mimpinya tentang kedatangan seorang pria dari kaum Israil yang bakal menggantikannya.
Karena ketakutannya itu, Firaun menitahkan pembunuhan terhadap setiap bayi laki-laki yang lahir dari rahim wanita Israil.
Musa masih bayi saat di selamatkan oleh ibunya. Dilarungkannya dia dalam peti kayu di atas sungai Nil, menyusuri sungai yang deras lagi dalam. Seorang bayi mungil mengalami terpaan alam tak terperi, namun ada kekuatan lain yang melindungi. Hingga di ujung tepi sungai Nil, biduk mungil itu terdampar. Bayi di dalamnya diangkat dan diasuh sebagai anak oleh Asiyah, istri Firaun.
Tumbuh dewasa, Musa menjelma sosok pemuda rupawan, tegap bagas, memiliki dua tangan sangat kuat, berbudi pekerti halus dan sangat peduli akan nasib kaumnya yang diperbudak dan dinistakan oleh sang raja.
Dimasa mudanya, demi membela orang Israil, Musa pernah menghajar seorang tentara Firaun hingga mati, hanya dengan satu pukulan saja. Kejadian itu membuatnya mulai dimusuhi Firaun dan dikejar tentaranya. Dia lalu menyelamatkan diri ke negeri Madyan. Di negeri itu, Musa bertemu jodoh seorang wanita salihah, hidup bahagia dan mendapat karunia keturunan.
Dalam kebahagiaannya, Musa melihat setitik api pada suatu lembah di kejauhan. Berkecamuk hatinya karena sering memandang nyala kecil yang seolah memanggil-manggil.
Berharap mendapat manfaat atas dilihatnya nyala api di lembah itu, Musa berpamitan dengan keluarganya. Berjalan jauh dengan keingintahuan, dia tiba penuh harap mendapat jawaban.
Bertemu Tuhan di Lembah Tuwa
“Wahai Musa! Sungguh, Aku adalah Tuhanmu, maka lepaskan kedua terompahmu. Karena sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, Tuwa,” Musa mendengar suara Tuhan.
“Dan Aku telah memilih engkau, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu.”
Di lembah Tuwa, Musa mendapat mukjizat kenabian. Kedua tangannya bisa bercahaya, tongkat kayunya bisa berubah menjadi ular besar yang cekatan melata, bila dilempar ke atas tanah. Permohonan Musa agar adiknya, Harun, mendampinginya selama menjalankan amanah kenabian, juga dikabulkanNya.
Bersama Harun, Musa diminta bertemu Firaun yang disebut Tuhan sebagai orang yang melampaui batas. Dihadapan Firaun, Musa bertutur santun, memberikan gambaran akan kebesaran Tuhan yang sesungguhnya.
“Tuhan yang telah menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan menjadikan jalan-jalan di atasnya bagimu dan yang menurunkan air hujan dari langit, kemudian ditumbuhkanNya dengan air hujan itu berjenis-jenis aneka macam tumbuh-tumbuhan.”
Firaun terperanjat, wajahnya merah meradang. Dia merasa tak mampu melakukan semua yang dikatakan Musa tentang makna Tuhan. Selama ini dalam benaknya, tuhan adalah menguasai dan memperdaya, seperti yang dia lakukan selama ini terhadap sesama manusia.
Ditantangnya Musa bertemu sekali lagi di suatu tempat terbuka, pagi hari saat hari raya. Agar banyak orang berdatangan bisa melihat membuktikan bahwa kemampuannya bukanlah sihir, melainkan mukjizat.
Tapi belakangan, Firaun diam-diam memanggil pesihir terbaik seluruh negeri, untuk mengimbangi kekuatan Musa saat pertemuan.
Menjadi Beriman, Mengingkari tuhan Palsu
Hari yang ditentukan tiba, ramai orang berdatangan, karena hari raya. Musa terhenyak melihat Firaun tak datang seorang diri, tapi dikawal pesihir sakti berjumlah puluhan.
“Celakalah kalian! Janganlah kalian mengada-adakan kedustaan terhadap Allah! Dia bakal membinasakan kalian dengan adzab!” Musa mewanti-wanti.
Mendengar itu, nyali para pesihir pun mengecil, ciut. Mereka paham, Musa bukan sembarangan. Satu-satunya orang Israil yang berhasil lolos dari kejaran tentara Firaun setelah membunuh salah satu dari mereka, hanya sekali pukulan.
“Degh!” Sekali pukulan telak tangan kanan Musa menghujam. “Segh!” Kesadaran si penerima pukulan sontak menghilang. “Brugh!” Pria itu pun ambruk mendarat ke tanah. Lalu, tentara Firaun yang bernasib malang itu, merem selamanya.
“Apakah engkau yang melemparkan dulu, atau kami yang lebih dulu melemparkan?” tanya pesihir menantang.
Musa persilakan para pesihir memulai melemparkan tongkat dan temalinya. Riuh ratusan tongkat dan temali lari menjalar, meliuk-liuk di tanah lalu beterbangan paut-memaut membentuk jala, beringas menyasar Harun dan Musa.
“Jangan takut! Sungguh engkaulah yang menang!” Tuhan berbisik kepada Musa yang sempat ketakutan.
Musa melemparkan tongkat kayunya, menghujam tanah lalu menjadi seekor ular besar melata, meliuk-meliuk lebih cepat, bergulat dengan ratusan tongkat dan jala. Tanpa ampun, satu persatu dibelit lalu ditelannya. Tak ada sisa.
Para pesihir seketika sadar jika Firaun bukan Tuhan. Mereka takluk, mengakui adanya kekuatan hebat yang membuat Musa mampu mengalahkan mereka. Bukan kekuatan tuhan, tapi Tuhan. Luluh hati mereka, mengimani keberadaan Tuhan yang pernah disebut Musa.
“Sungguh akan kusiksa kalian! kusalib kalian di pangkal pohon kurma! kalian bakal mengetahui siapa yang lebih pedih dan lebih kekal siksaannya!” Firaun marah besar. Diancamnya para pesihir, namun mereka bergeming.
Keimanan mereka pada Tuhan tak luntur oleh ancaman mengerikan sekalipun. Firaun lalu dendam. Berselang waktu kemudian, dia berencana kerahkan tentaranya mengejar dan menghabisi semua kaum Israil pengikut Musa. Pria, wanita, tua, muda, anak-anak sekalipun.
Tenggelam Dalam Samudera Karena Berbuat Nista
Tuhan lalu berpesan agar Musa membawa kaumnya pada malam hari, menuju kea rah laut. Musa dibantu Harun, lalu mengumpulkan kaum Israil, membimbing mereka berjalan menuju laut merah.
Mereka menyusuri padang pasir, menyisir ngarai, tak kenal lelah demi menghindari kejaran Firaun dan tentaranya.
Musa dan kaumnya tiba di tepi laut merah. Apa yang hendak dilakukan untuk ke seberang? Perahu bahkan sampan pun tiada. Musa lalu menengadah, berdoa.
“Pukul lah untuk mereka jalan yang kering di laut itu. Tak perlu takut akan tersusul dan tak usah khawatir bakal tenggelam.” Tuhan memberi jaminan akan keselamatan Musa bersama kaumnya.
Musa lalu memukul tongkat kayunya di atas air, di tepi laut merah. Plak! kecipak air tersibak ke kanan dan ke kiri. Lambat laun membesar membentuk ombak yang menggulung berlawanan arah.
Jalan menuju seberang pun membentang. Musa dan Harun lalu membimbing kaumnya agar segera meniti belahan lautan itu tanpa ragu. Sementara itu, gunungan air berombak seperti diikat langit, mematung setinggi ratusan hasta di sebelah kanan dan kiri.
Ratusan pasukan berkuda telah tiba di tengah jalan laut terbelah, saat Musa dan kaumnya telah tiba di seberang. Tiba-tiba kedua sisi air laut yang mematung miring, bagai dilepas tali pengikatnya oleh langit.
Milyaran kubik air berkekuatan dahsyat pun semburat bergulung menghujam ke tengah berkecepatan ganas. Bersama bala tentaranya, Firaun dihajar pusaran air, lalu mati berbekal catatan kehidupan miris, tanpa iman.
“Wahai bani Israil! sungguh Kami telah menyelamatkan kalian dari musuh kalian. Dan Kami telah mengadakan perjanjian dengan kalian untuk bermunajat di sebelah kanan gunung Sinai. Dan Kami telah menurunkan kalian, manna dan salwa.” Demikian Tuhan berpesan bagi kaum nabi Musa, bani Israil yang beriman.
Betapa, sejatinya kaum Israil adalah kaum yang dimuliakan oleh Tuhan. Dibebaskan dari perbudakaan serta penistaan, lalu dilimpahkan buah manna yang manis dan unggas salwa yang gurih jika dimasak.
Dengan hati tenteram, mereka pun melanjutkan perjalanan menuju gunung Sinai.
Berserah Diri Menerima Ujian Selanjutnya
Langkah Musa begitu cepat melebihi kaumnya yang tertinggal di belakang, demi segera mendaki gunung Sinai memenuhi panggilan Ilahi.
Ditemani terpaan angin dan sengatan matahari, Musa tabah mendaki. Batu-batu terjal yang dilaluinya adalah lantunan doa. Udara yang dihembuskannya adalah ungkapan syukur. Tetes peluh yang mengalir adalah harapan bagi kaumnya. Lapar dahaga adalah keberserahan dirinya pada Pencipta.
Musa merenung dalam kesunyian puncak gunung Sinai. Sungguh bahagia dia, kelak bisa bermunajat bersama kaumnya, menyembah Tuhan yang sama. Tak terbersit sedikitpun keinginan dalam hati Musa, kelak kaumnya binasa karena kemurkaanNya.
“Wahai Musa, mengapa engkau datang lebih cepat dari kaum mu?” Suara yang sangat dikenal Musa lembut menyapa. Suara yang pertamakali didengarnya saat di lembah Tuwa.
“Mereka sedang menyusul aku dan aku bersegera kepadaMu ya Tuhanku, agar engkau rida” jawab Musa, senyumnya mengembang. Bahagia tak terkira, sangat lega hatinya. Segala jerih payah dan munajatnya dihargai oleh Tuhan yang mengunjunginya sekarang.
Hening sejenak.
“Sungguh, Kami telah menguji kaummu, setelah engkau tinggalkan.” Tuhan kembali melanjutkan FirmanNya.
Musa terpaku. Senyumnya terhenti. Wajahnya menengadah ke titik kosong. Apa yang telah terjadi pada kaumku? Mengapa mereka tak kunjung tiba? batin Musa mulai bergolak.
“Dan mereka telah disesatkan oleh Samiri.” suara Tuhan mengakhiri.
Mendadak kebahagiaan Musa sirna saat Tuhan mengingatkannya bahwa kaumnya yang dititipkan ke Harun, telah disesatkan oleh Samiri. Jantungnya berhenti sesaat. Doa yang dilantunkan, syukur yang diungkapkan, harapan yang dipanjatkan, keberserahan dirinya, mendadak sia-sia baginya.
Terperangkap Tipu Daya Samiri
Tergopoh Musa segera turun dari puncak Sinai agar segera bertemu kaumnya. Dalam pikirannya, selalu hanya keselamatan kaumnya. Apalagi yang menimpa mereka selepas dari Firaun? Apa yang dilakukan Harun? Apa yang diperbuat Samiri? Semua pikiran itu menggelayut hatinya, membuatnya marah dan bersedih.
Musa bin Zafar namanya. Orang mengenalnya sebagai Samiri. Saat belia, Samiri sering bersua malaikat Jibril. Lalu dikenalnya Musa bin Imran satu-satunya sosok penuh harap bagi kaum Israil agar terbebas dari perbudakan, mencerahkan nasib.
Sejak pertemuannya dengan Musa, maka Samiri pun sangat mengaguminya. Seingatnya, jibril pernah berkata bahwa setiap jejak langkah rasul adalah mukjizat. Oleh karenanya dia selalu kumpulkan tanah bekas kaki Musa melangkah. Dia menyimpannya, agar kelak kemukjizatan menular padanya.
Rupanya Samiri telah menghasut kaum Israil menyembah sebuah patung emas berwujud anak sapi, saat Musa tengah bermunajat di gunung Sinai. Sebagian dari mereka mengikuti hasutan itu, bahkan tetap menjadi penyembah patung itu meski Harun mengingatkannya.
“Inilah tuhan kalian dan tuhannya Musa! Tapi Musa telah lupa!” hasut Samiri.
Patung anak sapi itu dibuat dari perhiasan emas milik Firaun yang dibawa serta oleh sebagian kaum Israil. Samiri bersekongkol dengan mereka untuk membuat patung anak sapi yang bisa melenguh, lalu mengabarkan ke semua orang bahwa patung itulah tuhan yang patut disembah.
Musa sangat bersedih dan marah mengetahui kaumnya kembali menyembah berhala. Sementara Musa bermunajat di gunung Sinai, kaum Israil dititipkan ke adiknya, Harun.
“Wahai Harun! Apa yang menghalangimu ketika engkau melihat mereka telah sesat?”
Belum sempat Harun menjawab, Musa mendekatkan wajahnya. Kedua tangan Musa mencengkeram kepala dan menjambak janggut Harun.
“Sehingga engkau tak mengikuti aku? Apakah engkau telah sengaja melanggar perintahku?” amarah Musa tak terbendung.
“Wahai purta Ibuku! janganlah engkau pegang janggutku dan jangan pula kepalaku,” sergah Harun, hatinya turut bersedih kakak tercintanya murka padanya.
“Aku sungguh khawatir engkau akan berkata padaku ‘engkau telah memecah belah antara bani Israil dan engkau tak memelihara amanatku’.” ucapnya terbata.
Melihat kesungguhan adiknya, hati Musa melunak. Berbalik dia menghadap umatnya.
“Apa yang mendorongmu berbuat demikian, wahai Samiri?” tanya Musa, mendekat.
Samiri tengah memangku kedua tangannya berdiri di depan orang-orang, kepalanya miring memandang. Tatapan matanya kosong, tak menatap Musa sebenarnya. Kedua bola matanya menepi ke kiri atas, benaknya mencari-cari alasan.
Membuat tuhan Palsu Karena Terbujuk Nafsu
Tiada lagi alasan! Di puncak Sinai, Musa telah mendapat wahyu Tuhan. Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan, sang pencipta alam semesta, beserta makhluk di dalamnya. Tuhan yang menganugerahkan ruang dan waktu, hingga mengatur dedaunan yang berjatuhan. Bukan tuhan dari ceruk tanah berbara api, cetakan patung anak sapi.
Samiri tak bakal bisa berdalih dihadapan Musa. Dia harus menjawab apa yang sebenarnya, berikut imbas pada dirinya. Dia menghela nafas dalam.
“Aku mengetahui sesuatu yang tidak mereka ketahui.” sergah Samiri
“Jadi aku ambil segenggam tanah dari jejak rasul, lalu aku melemparkannya ke dalam bara api,” lidahnya lancar mengurai sebab, ada kekuasaan hebat yang menjadikannya tiada kuasa berdusta.
“Demikianlah nafsuku membujukku.” Suara Samiri terdengar lirih, lalu membisu.
Tanah jejak kaki Musa yang selalu dikeruk oleh tangan Samiri dan disimpan selama hidupnya, dia tebar ke dalam bara api peleleh emas bahan pembuat patung anak sapi, sebagai pengalih mukjizat.
Tapi, mukjizat yang diharapkan Samiri, tak pernah singgah. Sepanjang waktu, patung itu membatu. Keluar suara lenguhan hanya karena angin menembus lubang berongga di dalamnya.
Lidah Samiri kelu. Mimpinya agar mukjizat Musa beralih padanya tak pernah terwujud. Dia membawa kaum Israil sekali lagi teperdaya oleh tuhan palsu.
“Pergilah kau!” kata Musa geram. Tangannya menunjuk tempat yang jauh dan sunyi.
“Sungguh didalam hidupmu di dunia, engkau hanya dapat mengatakan ‘jangan sentuh aku’ dan engkau pasti mendapat hukuman yang telah dijanjikan dalam akhirat yang tak bakal dapat engkau hindari.” tatapan Musa sangat tajam, mengurai masa depan Samiri.
Musa berjalan ke tempat yang lebih tinggi, meraih patung anak sapi yang sedari tadi berdiam diri. Ditunjukkannya di depan Samiri dan orang-orang yang berdiri. Diangkatnya tinggi-tinggi itu patung anak sapi.
“Kami pasti akan membakarnya, kemudian sungguh kami akan menghamburkan abunya, berserakan ke dalam laut!”
“Sungguh Tuhan kalian hanyalah Allah. Tiada Tuhan selain Dia. PengetahuanNya meliputi segala sesuatu.” seraya berkata lantang.
Lalu dibantingnya patung itu. Buum! Terhempas tak berdaya di atas bumi. Tak bergerak sama sekali. Karena sejak dibuatnya, patung emas itu sejatinya adalah hanya sekedar benda mati.
Sama-Sama Bernama Musa Namun Berbeda Menebar Teladan
Hampa jiwa Samiri. Dia melangkah menjauhi Musa bersama orang-orang Israil yang beriman. Tatapannya kosong meski seolah memandang ke depan. Kehidupannya yang selalu tanpa kebersyukuran, menjadikan jalan hidupnya dari waktu ke waktu hanyalah kegagalan yang berulang.
“Jangan sentuh aku, jangan sentuh aku, jangan sentuh aku, jangan sentuh aku.” Ribuan kali kata-kata itu diulang-ulang oleh Samiri hingga melekat dalam benaknya, terpatri.
Kata-kata itupun mengiringi langkahnya menjauhi orang-orang, menuju ke tempat sangat jauh membentang, yang siapapun belum pernah bertandang. Tiada satupun pengikutnya mendampingi, tak juga orang-orang. Samiri benar-benar terbuang.
Musa pun dibantu Harun kembali melanjutkan perjalanannya bersama kaum Israil, seraya terus bersyukur dan bermunajat, menuju tanah harapan berlimpah manna dan salwa, sebagaimana Tuhan pernah janjikan.
Perilaku mulia Musa selama menjalankan amanah kenabian, kemudian menjadi kisah teladan tersendiri bagi kaum Israil yang mengimani ajarannya. Keteladanannya diingat, dituliskan, dituturkan turun temurun tak hanya untuk kaumnya namun juga bagi umat manusia yang terlahir mendatang.
Sementara, keburukan Samiri, juga menjadi pengingat bahwa sejak keterasingannya, dengan cara yang tak tersentuh, maka dia pun tiada pernah berhenti mengajak banyak orang bersekongkol untuk tak mengimani kuasa Tuhan.
Berperadaban di Bumi Selalu Memaknai Kalam-Kalam Ilahi
Bumi terus berputar, lalu beredar mengelilingi matahari dalam tata surya yang menjadi noktah sangat kecil dalam galaksi Bimasakti.
Bimasakti pun demikian, hanya percikan cahaya di antara milyaran galaksi dalam gugusan galaksi.
Demikian juga gugusan galaksi, sekedar melengkapi binar-binar kirana yang terhubung satu sama lain pada jejaring kosmik dalam super gugus galaksi.
Berangkaian seterusnya, hingga alam semesta ternyata sangatlah kecil dalam genggaman Sang Pencipta.
Ratusan juta tahun lalu, perjalanan waktu diawali oleh sebuah dentuman besar yang memecah kesunyian satu ruang hening. Triliunan materi ledakannya lalu menyebar, berkembang menjadi bebatuan angkasa dan bintang-bintang bercahaya.
Tak hanya materi, namun black hole yang anti materi tanpa setitik pun pendaran cahaya, juga memenuhi tiap sudut angkasa. Sejak waktu tercipta, jagat raya tak lagi kosong melompong menjemukan, melainkan jauh lebih marak, memikat.
Bumi yang menjadi satu-satunya tempat tinggal bagi manusia beserta waktu yang berjalan didalamnya, hanyalah sekian milyar belahan setitik debu dalam maha luasnya alam semesta.
Hingga, kelak sangkala berhenti berdetak, manusia bakal selalu dihadapkan dengan kebaikan, sebagaimana Musa selalu teladankan maupun keburukan seperti Samiri pernah lakukan. Kelak, siapapun pengikut salah satu diantara keduanya, bakal mendapatkan timbangan yang sepadan, dihadapan Tuhan.
Bahwa, setiap kejadian yang dialami oleh manusia dalam perjalanan sejarah, hanyalah ulangan putaran waktu ribuan tahun lalu, yang juga pernah terjadi. Kejadian-kejadian yang meski tak sama persis, namun sejatinya menjadi pemerkaya bagi ruang akal manusia yang terus menggali ilmu pengetahuan, membentuk peradaban.
Sejalan para nabi dan rasul memberi teladan untuk selalu mensyukuri karuniaNya dan tetap beriman padaNya.
Tiada lain. Bukan pada matahari, bukan pula bulan, bukan bintang, bukan galaksi, apalagi, bukan black hole. Juga, bukan pada fatamorgana pernak pernik duniawi pemikat pandangan, peluruh iman.
“Shadaqallahul Azhim, maha benar Tuhan Yang Maha Agung.”
Bahan bacaan menginspirasi tulisan;
- Quran Surah ke-11; Hud,
- Quran Surah ke-14; Ibrahim,
- Quran Surah ke-20; Taha,
- Quran Surah ke-37; As-Saffat.