SAAT Presiden George W. Bush menggelorakan Perang Salib (Crusade) melawan terorisme, pasca Tragedi 11 September 2001, sejatinya Bush tidak sedang terpeleset lidah. Sebagai seorang Kristian yang ‘terlahir kembali’ (reborn), Bush sedang mengungkap alam sedarnya, bahawa semangat Crusade kini diperlukan menggalang kekuatan Barat. Berakhirnya Perang Dingin (Cold War), yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet, telah mengubah peta dunia. Barat, dengan serangkaian ideologinya, tidak lagi legitimate untuk eksis.

Padahal, menurut penasihat kawakan politik luar negeri AS, Samuel P. Huntington (1996), untuk self-definition dan membangun motivasi, manusia perlu rival dan musuh. (It is human to hate. For self definition and motivation people need enemies: competitors in business, rivals in achievement, opponents in politics). Maka, konsekuensinya, Barat perlu musuh dan semangat baru, selepas komunisme. Semangat Crusade itulah yang ingin digelorakan oleh Bush. Namun, tidak terlalu sukses. Citra AS di Eropah justeru jeblok. Dalam jajak pendapat di Eropah, awal November 2003, AS menduduki posisi keenam sebagai negara yang mengancam perdamaian dunia, setelah sekutu utamanya, Israel, disusul Korea Utara, Iran, Afghanistan dan Iraq.

Eksistensi Barat memang banyak dipertanyakan, apalagi selepas serangan AS terhadap Irak. Apakah Barat telah berakhir? Thomas L. Friedman, menulis satu kolum di International Herald Tribune (3 November 2003), berjudul “Is this the end of the West?” Barat memang telah pecah. AS dan Eropah, khususnya Jerman dan Perancis, telah berbeza dalam banyak hal prinsip.

Carld Bildt, mantan PM Sweden, menyatakan, bahawa selama satu generasi, Amerika dan Eropah bersepakat dalam hal (tahun): 1945. Selama puluhan tahun, Aliansi Atlantik Utara (Pakatan Atlantik Utara, NATO) membangun komitmen bersama untuk menciptakan pemerintahan demokratik, pasaran bebas, dan menangkal pengaruh komunisme Uni Soviet. Namun, kini, semua itu sudah berubah. Bagi Eropah, tahun penting adalah 1989 (keruntuhan Soviet), sedang bagi AS adalah 2001 (Tragedi WTC). Eropah dan AS juga gagal untuk membangun visi bersama dalam menghadapi isu-isu global. “We have also failed to develop a common vision for where we want to go on global issues confronting us,” kata Bildt.

Fenomena ini telah membuat AS resah. Tulisan Colin Powell di Kompas (29-30 Januari 2004), menunjukkan nada keresahan itu, meskipun, dikemas dengan nada optimis. Kata Powell: “Kemitraan transatlantik yang didasarkan pada kepentingan bersama dan nilai-nilai kuat tidak mungkin dilemahkan oleh keperibadian yang bermusuhan mahupun perbezaan persepsi.”

Maka, dalam situasi seperti itu, Barat memerlukan ‘faktor pemersatu’ (uniting factor). Dan Bush berfikir, Crusade adalah jawabannya. Bush berfikir logik, dan tidak kalap. Perang Salib telah menorehkan bekas yang sangat mendalam pada Barat dan Islam, hingga kini. Buku Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (1991), memberikan gambaran cukup jelas, bagaimana pengaruh Perang Salib terhadap dunia, kini. Di tengah merosotnya pengaruh Gereja dan konflik antara kekuatan Kristian, pada 25 November 1095, Paus Urbanus II, menyerukan Perang Salib.

Paus mengimbau, agar para kesatria Kristian menghentikan konflik antara mereka, dan bersatu padu menghadapi musuh Tuhan, yang mereka sebut “Turks”. “The Turks”, kata Paus, “Adalah bangsa terkutuk, dan membunuh monster seperti mereka itu adalah tindakan suci. Maka, wajib bagi kaum Kristen memusnahkan mereka dari tanah kita.” (Killing these godless monsters was a holy act: it was a Christian duty to exterminate this vile race from our lands).

Seruan Paus Urbanus mendapat sambutan luar biasa. Ratusan ribu pasukan Kristian bergabung, dengan semangat tinggi merebut Jerusalem. Dalam buku klasiknya, Islam and the West (terbit pertama tahun 1960), Norman Daniel menyebut ‘semangat Crusade adalah melakukan pembantaian demi Kasih Tuhan’. (The essence of crusading was to slay for God’s love). Maka, tidak hairan, jika tentera Salib kemudian melakukan pembantaian yang luar biasa sadisnya terhadap Muslim, Yahudi, dan berbagai kelompok masyarakat lain.

Tahun 1099, saat menaklukkan Jerusalem, mereka membantai sekitar 30,000 warganya. Puluhan ribu kaum Muslim yang mengungsi di atap al-Aqsha dibantai dengan sadis, tanpa pandang bulu, wanita, anak-anak, atau orang tua. Setahun sebelumnya, 1098, pasukan Salib (dikenal dengan istilah Franks/Crusaders) membantai ratusan ribu kaum Muslim di Marra’t un-Noman, Syria. Paus menjanjikan pengampunan dosa bagi sesiapa pun yang bergabung dalam pasukan Salib dan jaminan syurga bagi yang mati dalam perang suci itu.

Kerana itu, menurut Armstrong, Crusade adalah projek kerjasama besar-besaran Eropah di masa kegelapan mereka. Mereka dicengkam dengan semangat Kristian yang tinnggi. Jelas, Crusade merupakan jawaban terhadap keperluan Kristian Eropa ketika itu. (Clearly, crusading answered a deep need in the Christian of Europe).

Bagaimana dengan Islam?

Dunia Islam ketika itu merupakan ‘superior’ dalam peradaban dibanding semua peradaban yang ada. Islam sedang di puncak keemasan (the Golden Ages of Islam). Sementara Eropah berada dalam kegelapan (The Dark Ages of Europe). Islam, sebagai entiti politik, masih eksis. Kekhilafahan masih tegak, meskipun terbahagi menjadi tiga kekuatan besar (Mesir, Andalusia, dan Baghdad). Fragmentasi politik cukup parah. Pada medio abad 11 M, Syria dan Palestin menjadi ajang rebutan antara Fathimiyah dan Abbasiyah. Fathimi mendominasi Jerusalem antara 869-1073. Sedangkan Abbasiyah menguasai Jerusalem antara 1073-1098.

Di tengah kehebatan peradaban Islam dan eksistensi entiti politik Islam itulah, justeru pasukan Salib berhasil merebut Jerusalem. Upaya penguasa Fathimiyah, Afdal bin Badr al-Jamali, untuk negosiasi dan berdamai dengan Salib ditolak. Semangat pasukan Salib sedang begitu tinggi untuk merebut Jerusalem. Mereka sangat percaya diri, meskipun lebih rendah tingkat peradabannya (hal yang sama terjadi saat Baghdad diduduki pasukan Mongol).

Friksi politik di kalangan Muslim menjadi salah satu faktor utama kekalahan Islam pada tahap awal Perang Salib. Respons Muslim sangat tidak memadai. Dalam buku vThe Crusades: Islamic Perspectivev (1999), Carole Hillenbrand, menggambarkan repons kaum Muslim yang sangat tidak memadai dalam menghadapi serbuan besar pasukan Salib. Muslim didominasi sikap apatis, terbelit problem internal, dan kompromi. Penguasa-penguasa Muslim di Syria, bukannya melakukan perlawanan terhadap pasukan Salib, tetapi malah berkompromi dengan musuh. Sebaliknya, the Franks justeru menunjukkan semangat tinggi, fanatik (vibrant with fanaticism), dan memiliki motivasi tinggi untuk mencapai tujuannya (highly motivated to gain their target).

Pada situasi seperti itulah, tampil Syekh Ali al-Sulami (1039-1106), seorang ulama bermazhab Syafi’i. Ia menulis kitab berjudul Kitab al-Jihad. Tampaknya, banyak ulama dan cendekiawan Muslim belum mengkaji kitab ini. Yusuf al-Qaradhawi, dalam bukunya, Al-Imam al-Ghazali Bayna Madihihi wa Naqidihi, misalnya, sama sekali tidak merujuk karya al-Sulami, saat membahas posisi al-Ghazali dalam Perang Salib. Padahal, kitab ini sangat penting untuk memahami kisah sukses kaum Muslim dalam merebut kembali Jerusalem dari tangan Pasukan Salib– termasuk peranan al-Ghazali di dalamnya.

Ali al-Sulami melihat, kelemahan Muslim bukan hanya di bidang politik, tetapi menyangkut soal sikap keagamaan. Melihat kondisi Muslim yang parah, al-Sulami merumuskan strategi jihad dalam dua tahap: (1) melakukan perbaikan moral (moral rearmament) untuk mengakhiri kemunduran spiritual kaum Muslim. Ia melihat, kekalahan Muslim adalah pelajaran dan hukuman dari Allah, sebab mereka meningggalkan kewajiban kepada Allah dan mengabaikan kewajiban jihad. (2) melakukan penggalangan potensi kekuatan umat melawan Crusaders.

Dalam tahap perbaikan moral itulah, Al-Sulami banyak mengutip pendapat al-Ghazali, termasuk dalam soal jihad. Tampaknya, al-Sulami bertemu al-Ghazali di Masjid Ummayah Damaskus, saat al-Ghazali melakukan perenungan di Masjid ini pada period awal Perang Salib. Saat-saat itulah al-Ghazali menulis karya monumentalnya, Ihya’ Ulumuddin.

Dalam kitabnya, al-Sulami mendeskripsikan secara jelas kondisi, situasi dan strategi mengalahkan pasukan Salib. Jihad ke dalam, memerangi hawa nafsu, dan jihad ke luar memerangi musuh, dipadukan menjadi satu kekuatan yang dahsyat. Salah satu strategi al-Sulami ialah menyedarkan kaum Muslim tentang perbezaan yang besar antara mereka dengan kaum kafir.

Selama puluhan tahun, dakwah Al-Sulami tidak mendapat sambutan bererti. Titik terang mulai muncul saat pasukan Muslim di bawah pimpinan Imamuddin Zanki, merebut Edessa pada 1144.

Sukses Imamuddin dilanjutkan puteranya, Nuruddin Zanki, yang mengalahkan pasukan Salib pada 1149. Para penulis menggambarkan Nuruddin merupakan sosok religius dan pahlawan jihad. Sepeninggalan Nuruddin (1174), tampil keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi sebagai komandan pasukan Muslim. Tokoh inilah yang berhasil membebaskan Jerusalem dari pasukan Salib pada 1187.

Refleksi

Dalam berbagai hal, kondisi kaum Muslim kini, serupa dengan kondisi saat Perang Salib berlangsung. Perang ini sendiri memakan waktu yang panjang (1096-1204). Pasukan Salib hanya berhasil menduduki Jerusalem sekitar 87 tahun (1099-1187). Kelemahan aqidah, moral, dan politik umat Islam dipandang sebagai satu problem.

Solusi al-Sulami yang melihat problem umat secara komprehensif dan mengajukan solusi secara integral, perlu dijadualkan pelajaran berharga. Problem politik, ekonomi, dan militer umat, tidak dipisahkan dari problem pendidikan dan dakwah. Bahkan, ia menempatkan aspek ini pada tahap awal, sebelum menyelesaikan problem politik dan militer.

Namun, kondisi kaum Muslim kini tentu jauh lebih rumit. Ibarat penyakit, saat Perang Salib, umat Islam hanya terserang semacam “infeksi batu ginjal” (batu karang dalam buah pinggang). Setelah batunya dikeluarkan, dan infeksinya diubati, maka kondisi umat pun kembali pulih.

Kini, boleh dikatakan, umat Islam terserang penyakit kompleks, sejenis kanser ganas yang menghancurkan sel-sel tubuh. Bukan hanya secara ekonomi, politik, dan militer (untuk kawasan tertentu, seperti Palestin), kaum Muslim terhegemoni. Tapi, secara moral, konsep keilmuan, dan semangat pun, banyak yang tidak “PD” (percaya diri) pada konsep Islam.

Bahkan, lebih jauh, tak sedikit cendekiawan, ulama, dan tokoh Islam sendiri, yang meyakini bahawa peradaban Barat – dengan nilai-nilai sekular dan liberalnya – adalah jalan kebangkitan umat Islam. Mereka menyerang habis-habisan pandangan tentang “keunikan Islam”.

Bahawa, Islam dan juga al-Qur’an sama saja dengan agama dan kitab lain. Konsep “inna al-diina ‘indallahi al-islam” dan “al-islaamu ya’luu wa yu’laa ‘alaihi” diputar balik dan ditentang jauh-jauh.

Padahal, Barat masih percaya dan memaksakan konsep sekuler-liberalnya sebagai pandangan hidup dunia. Pada saat yang sama, justeru langkah ulama-ulama yang mumpuni dalam konsep keilmuan Islam dan sekaligus mumpuni mengkounter konsep destruktif terhadap Islam.

Jalan kebangkitan adalah satu sunnatullah. Al-Qur’an banyak menjelaskan tentang jatuh bangunnya satu kaum atau peradaban (Misalnya, QS 6:44, 17:16). Jika umat Islam gagal belajar dari sejarah – sebagaimana diperintahkan al-Qur’an – dan gagal merumuskan masalahnya secara komprehensif, serta hanya melihat dan menangani masalahnya secara parsial (sebahagian) dan superfisial (dipermukaan), sulit dibayangkan, kebangkitan Islam akan terjadi dalam waktu dekat.

Jangan-jangan, kebangkitan nanti menunggu munculnya generasi baru yang dijanjikan Allah SWT (QS 5:54). Sebab, generasi yang ada didominasi oleh pangabaian terhadap problem keilmuan, aqidah, syariah, ukhuwah, dan terlalu sibuk untuk mengejar kepentingan dan kemenangan komunal, parsial, dan sesaat. Wallahu a’lam.

Sumber: Dr Adian Husaini, https://www.hidayatullah.com/

Translate »