HARI ini mengingatkanku peristiwa sembilan belas tahun yang lalu, saat aku, sebagai kader, pertama kali ditugaskan mengabdi di Batam. Kala itu, setelah wisuda (bergraduan), tiba masa dibacakan tempat tugas setelah menyelesaikan studi di S1 (sarjana muda). Sayup terdengar dipanggil namaku dan tempat tugas, Kota Batam.
Tidak terbersit sedetikpun, aku akan ditugaskan sedemikian jauh dari tanah kelahiranku. Kulihat nun jauh di deretan kursi tamu undangan, wajah kedua orang tuaku sembab mendengar keputusan tersebut.
Menjelang hari-hari keberangkatan, aku menggali informasi tempat bertugas nantinya. Aku melihat di peta, Batam tampak noktah kecil, terpisah dari gugusan pulau lainnya.
Sebelum berangkat, aku mengumpulkan informasi terkait lembaga pendidikan tempatku akan mengabdi. Beberapa informasi yang aku peroleh, lembaga pendidikan di tempat baru nanti sudah sampai pada jenjang SMA kelas 3.
Jadual keberangkatan pun tiba. Diiringi isak tangis dan nasihat orang tua. Aku menebalkan tekad menuju tempat tugas.
Ujian pertama menuju Batam datang. Nampak penumpang tumpah ruah di kapal. Tiket ditanganku ada cap non-seat yang baru aku sedari, bahawa aku tidak dapat tempat tidur. Maklum, inilah pertama kali seumur hidupku naik kapal laut.
Perjalanan memakan waktu sehari semalam. Aku memilih di ruangan sempit bawah tangga besi, menyatu dengan berbagai aroma bau dan berpadu bunyi hentakan kaki penumpang.
Ujian belum berakhir, saya mendapatkan informasi, bahawa penumpang yang tidak ber-KTP (Kartu Tetap Penduduk) Batam tidak boleh masuk jika tidak ada orang yang menjamin. Dalam kondisi fizikal terkuras fizikzl dan galau, aku teringat nasihat para guru saat di kampong. “Sebagai kader harus memiliki mental pantang surut lari dari gelanggang perjuangan karena Allah di mana tempat tugas kalian adalah Allah yang ada di Surabaya.”
Segera kuambil wudhu dan aku lanjutkan bermunajat. “Ya Allah sekiranya perjalananku menjalankan tugas ini membawa manafaat dunia dan akhirat, maka mudahkanlah Ya Allah.”
Belum kering rasanya bekas wudhu, ternyata Allah yang Maha Mendengar langsung mengirimkan bantuannya. Seorang bapak, yang tidak aku kenal sebelumnya tiba-tiba siap menjadi penjaminku di Batam nanti.
“Saya bersedia menjaminkan diri tanpa syarat apapun nanti setelah kapal sampai di Batam. Mas tenang saja,” katanya.
Ucapan syukur tak hentinya kupanjatkan kepada Allah SWT. Alhamdulillah ya Allah atas kemudahan-Mu. Hamba belum berbuat Engkau telah berikan pertolongan tak terduga.
Kapal bersandar waktu Dhuha 28 Desember 2002. Setelah keluar dengan jaminan pria baik tadi, kulangkahkan kaki keluar dek kapal.
Aku masih belum percaya bahwa takdir hari ini menghantarkan aku menuju tempat yang sangat jauh dari desaku. Ini adalah peristiwa istimewa kerana aku sampai di tempat tugas yang benar-benar “basah“, istilah gurauan teman-teman di kampus dulu.
Memang kenyataannya seperti itulah Batam, lahan “basah” kerana dikelilingi lautan. Bahkan sekretariat kantor (pejabat) yang kami tuju, benar-benar sangat basah kerana bahagian samping dan belakangnya membentang luas danau sepanjang mata memandang.
Ujian ternyata tidak hanya di lautan, bahkan di daratan, di hari pertama aku diperkenalkan ke sekolah, membuat benar-benar shock. Ternyata pendidikan di tempat ini bukan kelas 3 SMA (Sekolah Menengah Atas) sebagaimana informasi awal, melainkan kelas 3 SD (sekolah dasar atau rendah).
Buyar sudah rencana yang sudah kubuat, termasuk referensi yang telah aku pelajari dari Jawa. Ertinya, aku benar-benar ` harus mulai belajar dari nol lagi, sebagaimana slogan SPBU.
Bahkan berdasar pengamatan dan informasi, SD tempatku akan mengajar ini, dalam keadaan emergency yang harus segera mendapatkan tindakan penyelamatan. Jika tidak, tahun depan siap-siap tidak akan ada murid yang akan datang untuk belajar.
Alhamdulillah ala kulli hal, seiring waktu, dibarengi mujahadah maksimal pengurus yayasan, orang tua serta berbagai pihak yang peduli pendidikan, kini di usianya yang ke-23, pendidikan Hidayatullah, tempatku berhidmat, sudah sangat maju dengan bukti dari 4 kampus yang ada sudah terdapat pendidikan dari jenjang TK sampai perguruan tinggi dengan murid ribuan, subhanallah.
Kini setelah 19 tahun berlalu, aku masih menjalani ujian di lautan mahupun daratan. Yakni, ujian menjalankan tugas amanah di Pulau Karimun, menyeberangi lautan satu setengah jam dari Batam.
Aku berbahagi kisah untuk sarjana kader di manapun yang ditugaskan. Pada intinya, ‘tolonglah Allah’ niscaya Allah akan menolongmu di manapun berada. Sebagaimana firman-Nya;
Ertinya: “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS: Muhammad [47]:7)
Dan memoir ini aku akhiri dengan satu nasihat guru kami KH Abdurrahman Muhammad, “Tidak ada satu sistem pengkaderan yang paling unggul melebihi dari penugasan.” Selamat bertugas para kader-kader dakwah baru.
Sumber: Sumarno, STIT Mumtaz Karimun, https://www.hidayatullah.com/
Recent Comments