Kebebasan dan hak warga negara mengemukakan pendapat di muka publik merupakan suatu hak yang melekat dalam setiap individu dan negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi maruah kebebasan warga negara di ruang publik. Kehadiran demokrasi minitikberatkan suatu representasi jaminan keberlangsungan hidup warga negara. Namun untuk melihat maju dan mundurnya ranah demokrasi kita dewasa ini iaitu bagaimana ruang publik ini tetap terjaga dan kebebasan sivil tidak dicederai oleh pelbagai bentuk tindakan represif.

Menelisik ke suatu peristiwa masa lalu iaitu ketika kita mengalami pelbagai bentuk pengekangan kebebasan sivil yang ditandai dengan suatu rejim orde baru yang begitu masif memperlakukan kritik dan kebebasan sivil diberangus begitu saja. Namun, situasi ini sudah benar-benar begitu berubah takkala kita hari ini memasuki suatu sistem yang ditandai dengan demokrasi yang menjamin publik untuk menyuarakan pendapat di muka umum.

Publik menaruh semangat tinggi ketika kebebasan itu benar-benar nyata dan terjamin manakala khalayak publik berani mengutarakan opini(pendapat) untuk sekadar memberikan suatu catatan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Situasi ini tidak benar-benar seutuhnya terjamin ketika kebangkitan kaum populisme hari ini yang menjadi ancaman bagi keutuhan demokrasi kita saat ini. Kehadiran tokoh populisme ini rentan menampilkan watak otoriter. Lalu ke mana situasi demokrasi Indonesia hari ini?

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada 2019 sebesar 74.92 poin atau mengalami kenaikan sebesar 2.53 dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut menjadi yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Pada aspek kebebasan sivil terdapat empat variable (pemboleh ubah) yang dinilai BPS. Pertama kebebasan berkumpul dan berserikat (berpersatuan) mendapat 78.03 poin, turun 4.32 poin dari 2018. Kemudian kebebasan berpendapat mencapai 84.29 poin, turun 1.88 poin. Selanjutnya kebebasan berkeyakinan mendapat 83.03 poin, naik 0.17 poin dari 2018. Terakhir kebebasan dari diskriminasi mendapat 92.35 poin, naik 0.58 poin. Jika dirinci lebih dalam, terjadi kemunduran pada indikator yang meliputi ancaman atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat, serta ancaman atau penggunaan kekerasan dari kelompok masyarakat terkait ajaran agama.

Konsolidasi Elite

Pemilihan presiden 2019 kelmarin memberikan sedikit bekas dan coretan hitam dalam laju politik Indonesia hari ini. Kempen hitam dan saling menyebar beragam informasi hoax begitu masif kita saksikan; istilah kampret (sial), cebong (berudu), kandrun (tergila-gila), dan lain-lainnya  menggema. Stigma pemanggalan tersebut membentuk opini publik hari ini bahawa keidentitasan kita akan keragaman politik menjadi ancaman dengan dibenturkannya oleh elit  kepentingan hingga hari ini duduk dengan tenang di tampuk kekuasaan.

Benak publik akan dingatakan dengan suatu kondisi pasca pemilihan tersebut, iaitu konsolidasi para oligarki dengan tujuan naifnya; Pertama untuk memperbaiki citra parpol (parti politik) dan melepaskan semua kepentingan demi mewujudkan tujuan kesatuan nasional. Kedua melakukan tindakan preventif demi mencegah tindakan radikalisme, dan Ketiga wacana amandemen UUD 1945 secara menyeluruh. Terlepas apapun wacana yang diusung, nampak wacana tersebut hanya berupa wujud konsolidasi para oligarki untuk tetap mempertahankan kepentingannya.

Robison dan Hadiz (2004) mendefiniskan oligarki sebagai suatu sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan terjadinya pengumpulan kekayaan dan kewenangan di tangan segelintir elit, beserta seperangkat mekanisme untuk mempertahankannya. Sedangkan menurut Winters (2011) mendefinisikan sebagai politik pertahanan kekayaan di antara para aktor yang menguasainya. Dari ketiga pemahaman sarjana tersebut secara inhen ada mekanisme persekutuan para oligarki untuk mempertahankan kekayaan dan kekuasaan politiknya. Kehadiran oligarki menjadi masalah besar bagi wajah demokrasi. Bersamaan dengan hal itu terjadi suatu kemunduran arah demokrasi dan pelemahan peran masyarakat sivil.

Krisis dan Ancaman Publik

Pertama Normalisasi Kampus, dalam hal ini kebabasan akademik dibumihanguskan oleh para kepentingan ditandai dengan adanya wujud intervensi penguasa terhadap para akademisi maupun aktivis kampus yang lantang menyuarakan pelbagai aspirasinya yang tidak lain mengenai pelbagai kebijakan yang tidak memiliki relevansi dengan keadaan, selain itu adanya kriminalisasi para akademisi dan para aktivisi kampus yang terlihat lantang mengkritisi pemerintah. Mengapa hal ini terjadi kerana para oligarki ini ikut membaur dalam keputusan pemerintah dan takut kepentingannya tergangangu.

Kedua Kooptasi masyarakat sipil ke dalam lingkaran kekuasaan dan pada saat yang sama mendeskreditkan mereka yang berada di luar kekuasaan. Pelbagai kasus dan kriminaliasi terjadi terhadap masyarakat sivil mereka yang terkadang lantang menyuarakan aspirasinya dihadapkan pada situasi kriminaliasinya, terkadang hal ini dilakukan dengan dalil di mana menyebarkan berita hoax maupun pencemaran nama baik terhadap institusi, apa yang menampilkan situasi tersebut pada dasarnya menampilkan bahawa demokrasi kita hari ini mengalami kemunduran.

Ketiga kooptasi media sosial dan media mainstream oleh kekuataan oligarki. Kebebasan dan mengkritisi di media sosial maupun media mainstream hari ini cukup rentan. dimonopolinya akses media mainstream yang di mana para pemiliknya iaitu oligarki yang memiliki majoriti perusahaan media. Sehingga terkadang berita yang ditampilkan publik benar-benar tidak murni kerana adanya campur tangan kepentingan. Mengenai media sosial kooptasi ini melibatkan para masyarakat sivpil atau pejuang hak-hak demokrasi mendapatkan berupa ancaman intimidasi mahupun pembajakan media sosial. Yang lebih parah lagi adanya penggerakan buzzer di mana narasi yang dibangunpun tidak rasional, yang lebih berotientasi terhadap pemecahan dan penggiringan opini publik.

Wajah demokrasi kita tidak benar-benar utuh menjamin khalayak publik untuk berani mengutarakan opini (pendapat) dan lantang memberikan kritik pada penguasa. Situasi ini cukup memperihatinkan ditambah dengan masifnya para buzzer yang sangat lantang membela dan menggiring opini demi memecah belah kondisi bangsa hari ini. Lalu, kita tidak benar-benar merasa nyaman ketika kita lantang menyuarakan bentuk opini publik di media massa. Kerentanan ini dilihat adanya police siber yang hendak bersiap mengeksekusi jika hal demikian tidak pantas diunggah oleh pemilik akaun dan rentan terjerat UU ITE. Jelas kemunduran demokrasi kita benar-benar menuju arah yang bukan berkembang.

Hari ini demokrasi di Indonesia telah memasuki situasi regresi, stagnasi dan menuju ke arah autorianisme. Kritik dimaknai sebagai pemecah dan pemenjaraan masyarakat sivil begitu rentan di situasi demokrasi hari ini. Selain itu banyaknya pelemahan-pelemahan lembaga publik yang dilakukan demi kepentingan para penguasa yang terjadi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Alih-alih demokrasi kita semakin berkembang menuju demokrasi yang matang, nampaknya kita memasuki jurang regresi, demokrasi kita menuju rejim yang anti kritik dan autorianisme.

Sumber: Hamzah Jamaludin,https://www.qureta.com/

Translate »