Saat saya menuliskan hal ini, bukan bererti saya tahu banyak tentang kisah Ibnu Batutah, apalagi sempat membaca karya-karyanya yang pernah disusun. Sebenarnya, saya hanya tahu sekilas saja tentang perjalanan dirinya. Dan itu pun hanya melalui sebuah cerita.

Saya menuliskan paragraf pertama ini agar menjadi spoiler atau bocoran bagi pembaca sebelum saya menulis lebih banyak dan bercerita lebih jauh. Saya menuliskan bocorannya agar siapa saja berkesempatan untuk langsung pergi meninggalkan tulisan saya ini setelah memahami bocoran isi tulisan saya.

Mereka yang mungkin saja akan pergi adalah yang berharap akan memperoleh banyak kisah tentang Ibnu Batutah, yang kerana keterbatasan pengetahuan saya, tidak mungkin dapat saya ceritakan di sini. Sebab, saya mendapat cerita tentangnya pun hanya dari sebuah penuturan seorang rektor, yakni pada saat beliau mengisi kultum ba’da dzuhur di masjid kampus.

Melalui mimbar kultum itu, pak rektor menceritakan pengalaman-pengalamannya saat malang melintang di pelbagai daerah di nusantara mahupun mancanegara (pelbagai negara). Dia menceritakan bahawa seakan perjalanannya ini adalah semacam perjalanan Ibnu Batutah saat mengharungi samudera dan mengelilingi dunia.

Pak rektor menjelaskan, bahawa di sela-sela perjalanannya, Ibnu Batutah selalu menyempatkan diri untuk menuliskan kisah-kisah perjalanannya sehingga dia mampu merangkum beberapa kondisi yang ada dan yang terjadi di pelbagai belahan dunia.

Dan rupanya, aktiviti menulis Ibnu Batutah inilah yang menginspirasi pak rektor untuk membuat semacam catatan perjalanan di sela-sela kesibukannya mengemban amanah di kampus. Dan hal itu pula yang sepertinya ingin beliau tularkan pada seluruh sivitas (warga) akademik di kampusnya tersebut. Yakni, ingin membentuk budaya gemar menulis di kampus. Baik untuk para dosen (pensyarah) mahupun para mahasiswa.

Dengan gemar menyusun karya tulis, maka setidaknya sivitas akademik akan terbiasa dalam menyusun laporan hasil pemikiran mereka sebagai kontribusi (sumbangan) yang didedikasikan dari perguruan tinggi.

Dan pak rektor pun telah memberikan langkah teladan untuk mewujudkan hal itu. Langkah yang ia tempuh adalah dengan mewajibkan dirinya menulis satu artikel setiap hari. Beliau menceritakan, bahawa pada pagi hari, ba’da shalat subuh, beliau telah rutin menulis sebuah artikel.

Dan atas seizin Allah SWT, beliau pun dapat melakukan rutinitasnya ini secara konsisten selama tiga tahun berturut-turut. Dan bahkan, beliau juga telah memperoleh rekor MURI sebagai seorang rektor yang menulis satu artikel setiap hari tanpa henti selama tiga tahun.

Ceramah pak rektor itu rupanya telah mengendap dalam fikiran saya dan menginspirasi saya untuk dapat meneladani kebiasaannya yang sangat baik ini. Sekaligus, kalau boleh, mungkin saya juga ingin menjadi seperti Ibnu Batutah. Namun, kerena saya termasuk orang tidak pernah ke mana-mana, maka hal yang paling masuk akal bagi saya adalah melaksanakan apa yang telah menjadi kebiasaannya, yakni menulis.

Mungkin saja, saya belum pernah pergi ke luar negeri dan mencatat kisah-kisah menarik yang ada di sana.

Namun saya menganggap hal itu bukanlah alasan bagi saya untuk tidak menulis. Sebab, meski saya tidak pernah ke mana-mana, nyatanya saya masih berkesempatan untuk menuliskan apa saja yang ada dan terjadi di sekeliling saya. Atau jika tidak demikian, saya juga masih berkesempatan untuk menuliskan apa yang mengendap dalam kepala saya.

Saya menyesali keadaan ini? Tentu saja tidak. Sebab memang itulah kondisi saya saat ini dan mungkin ini telah menjadi jatah saya. Dan, sejujurnya, saya tetap mensyukuri keadaan ini sebab kurniaan Allah SWT yang dapat dijadikan sebagai bahan untuk menulis pun ternyata menghampar di mana-mana. Bahkan, tanpa saya harus keluar dari rumah atau ruangan saya.

Sekali lagi, apakah ini bererti saya tidak ingin menjadi seperti Ibnu Batutah atau pak rektor yang telah mengelilingi dunia tadi? Tentu saja saya ingin melakukannya, jika itu menjadi keperluan saya dan saya pun berkemampuan untuk mewujudkannya.

Entah kemampuan yang berwujud modal finansial (kewangan), waktu, ataupun tenaga. Namun, jika saya tidak memiliki kemampuan-kemampuan ini, maka bagi saya juga tidak masalah. Sebab saya meyakini bahawa Tuhan telah menyiapkan kemampuan untuk saya pada bidang yang lainnya.

Apa yang ada di sekitar saya inilah yang akan menjadi modal bagi saya untuk menulis. Menelurkan karya sebagai bentuk cara saya untuk menikmati dan menyedari karya-karya agung dari Sang Maha Pencipta. Dan saya kira dengan menikmati, mengamati segala maha karya-Nya yang menghampar di sekitar kita ini, kita tetap akan mendapatkan bahan, ide, dan inspirasi yang berharga bagi tulisan-tulisan kita.

Biarlah saya hanya mampu menjadi Ibnu Batutah kelas lokalan (tem[atan atau kampong)  sahaja, asalkan tidak sampai menyurutkan niat saya untuk tetap menulis dan berkarya.

Di balik keterbatasan itu, saya meyakini masih akan terbuka  kesempatan yang luas untuk menapaki jalan kepenulisan. Dan, meskipun saya tidak mampu mengelaborasikan keduanya dalam lingkup yang luas, setidaknya saya masih berkesempatan untuk mempelajari dan menggali kearifannya dari skala kecil, yang tersedia di sekitar kita ini.

Sumber: Muhammad Adib Mawardi , https://www.qureta.com/

 

Translate »