Bulan Zulhijah merupakan salah satu bulan yang memiliki banyak keutamaan dan makna yang istimewa. Bagi umat Islam, bulan ini  merupakan kesempatan untuk beribadah haji dan berkurban. Bagi yang tak berangkat ke Mekah, tanggal 9 Zulhijah disunnahkan berpuasa ‘arafah sebagai wujud menghadirkan diri wukuf di Padang ‘Arafah. Sedangkan lontaran sa’i di hari tasyri’ dilakukan pula penyembelihan kurban.

Untuk itu, bulan Zulhijah sering juga disebut ‘Idulqurban. Hanya saja, apa makna ‘idulqurban dalam konteks moden? Sungguh, begitu banyak nikmat yang Allah SWT berikan pada manusia. Bahkan, tanpa batas dan tidak mampu dihitung. Hal ini sesuai dengan  firman Allah SWT: “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. an-Nahl : 18).

Demikian banyak nikmat yang telah diberikan Allah SWT, manusia hanya dituntut untuk “dirikan salat kerana Rabb dan berkurban“. Hal ini dinyatakan Allah SWT melalui firman-Nya: “Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah sholat kerana Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri pada Allah). Sungguh, orang-orang yang membencimu, dialah yang terputus (dari rahmat Allah)” (QS. al-Kautsar : 1-3).

Dari ayat di atas, ada beberapa makna konteks ‘idulqurban yang dapat dikorelasikan dengan kehidupan moden, iaitu: Pertama, sholat untuk berkomunikasi dengan Allah SWT. Tanda bekas sujud (komunikasi dengan Allah SWT) yang esensial ialah tawadhu, dan tidak sombong. Sholat merupakan ibadah istimewa dalam Islam. Semua rangkaian aktivitinya merupakan bentuk penghambaan diri. Niat merupakan pelurusan tujuan, takbir merupakan ikrar membesarkan Allah SWT. Untaian bacaan dalam sholat merupakan komunikasi hamba dan Khaliq. Sujud dilakukan dengan cara meletakkan tujuh anggota badan di atas tanah (muka, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua ujung kaki) cermin sikap merendah diri di hadapan Ilahi. Sedangkan salam bentuk sebaran kebajikan (doa) bagi seluruh makhluk.

Demikian sarat nilai pendidikan shalat yang dihadirkan Allah pada manusia.  Wajar bila Allah menegaskan, “Sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)” (QS Al-‘Alaq: 19). Sujud akan menanamkan ketawadhuan dalam diri kepada sesama manusia dan memancarkan sinar keimanan secara vertikal dan kelembutan (akhlak) secara horizontal. Sungguh, nilai tersebut hanya mampu diraih tatkala sholat dilakukan hanya untuk Rabb (QS al-Kautsar : 2), bukan sekadar melakukan (menggugurkan) kewajiban tanpa menyentuh karakter diri. Apatah lagi dengan melaksanakan sholat berjamaah, sayugianya umat bersatu dalam satu komando imam dan kokoh silaturahmi dengan sesama.

Kedua, berkurban syariat, melalui haiwan perlambang menyisihkan harta untuk berbahagi sesama. Pilihan syariat hanya dua sahaja, antara kurban Habil (memilih kurban terbaik) atau Qabil (memilih sisa-sisa saja).

Ketiga, berkurban hakikat, menyembelih sifat-sifat kebinatangan pada diri. Bila kurban tak mampu membunuh (simbol penyembelihan) sifat-sifat kebinatangan dalam diri, maka merugilah. Aktiviti diri hanya menjadi korban (bukan kurban) atas genggaman iblis. Diri yang menjadi korban “iblis” dengan keserakahan dan kezaliman akan selalu mencari korban-korban atau mengkorbankan yang lain untuk kepentingan diri. Atribut yang dipakai sebatas lipstik untuk menyembunyikan jati diri sebenarnya.

Mungkin manusia awam akan terpana, namun manusia yang dipilih Allah SWT mampu melihat tabir akan melihat yang sebenarnya. Kurban yang dilaksanakan hanya sebatas syariat zahir yang tak mampu menembus syariat hakiki, apatahlagi sampai ke tingkat kurban tertinggi. Ibadah apapun jua sesungguhnya bagai sebatang pohon rindang dengan buah yang lebat. Lebatnya daun menjadi pelindung dari panas dan terpaan hujan makhluk di bawahnya. Akar yang kokoh menjadi tempat bersandar ketika letih dan berpegang ketika angin kencang. Dahan dan rantingnya tempat bertengger burung melepas lelah. Sedangkan buahnya manis dan harum dinikmati semua makhluk. Begitulah gambaran ibadah yang mewarnai seorang hamba.

Pancaran kurban yang dilakukan terlihat pada kehidupan sehari-hari. Bagai seorang yang sholat berjamaah. Bila makna salat berjamaah membentuk diri, maka kuatlah negeri dengan persatuan yang kukuh. Namun acapkali nilai ini terlempar jauh dari kehidupan nyata. Sholat berjemaah hanya ibadah “pamrih” dan mendikte Allah SWT guna memperoleh 27 derajat yang tak menyisakan kesalehan sosial dalam realitas. Pasca sholat berjemaah persatuan menjadi hilang, kesatuan perintah (imam) menjadi sirna, kebajikan sesama (hakikat salam) menjadi iri dengki dan dendam sesama. Jika demikian, maka ibadah hanya menjadi korban “keserakahan amal” dan perolehan taburan sanjungan. Tatkala kedekatan (qarib) tak mampu diraih, bagaimana mungkin kenal secara baik.

Bila perkenalan hamba dan Khaliq hanya sebatas “tegur sapa” maka tidak akan ada tumbuh kerinduan. Bila kedekatan terpatri kerinduan, maka yang terjadi adalah saling berdekatan. Tatkala telah terbangun kedekatan dan berdekatan, maka terbentuklah ihsan. Tatkala ihsan sudah dimiliki, maka tak akan ada aktiviti selain aktiviti yang diinginkan oleh Allah SWT dan dicontohkan Rasulullah SAW semata-mata.

Di mana posisi kita sebenarnya. Berkurban dalam makna sebenarnya, atau hanya sebatas menjadi korban untuk mengkorbankan diri dan orang lain. Hanya diri yang dekat pada Allah SWT mampu menjawab dengan jawaban yang sebenarnya. Apakah sungguh telah melakukan “kurban” atau sekadar menyisakan tampilan “korban” yang dibungkus agama. Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.***

Sumber: Profesor Dr Samsul Nizar, www.riaupos.jawapos.com

Translate »