Ketika kau terpikat cinta, Islamikanlah dia. Ketika sayapnya merengkuhmu, serahkanlah dia pada Al-Qur’an. Jadikanlah virus yang tersembunyi di balik sayapnya dan vaksin di hatimu.

Seumpama kita sesak nafas terdekap olehnya, Al-Qur’an akan melapangkan kita, hingga kita menjadi sabar dan tegar. Dan kemudian, Allah akan menyinari pelayaran cinta kita dengan cahaya-Nya, hingga kita siap menjadi penyelam suci yang memancarkan kekudusan Tuhan.”

Kita tidak pernah memahami, bagaimana cinta boleh hadir dalam diri. Cinta serasa datang begitu saja, tanpa aba-aba, tanpa rencana matang, lantas dengan polos cinta mengetuk pintu hati kita memberi khabar yang membuat kita kelu tak tentu arah.

Namun, makna cinta yang tersimpul dari kajian psikologi selama ini, telah menghadapkan kita pada dua jalan: Jalan kedewasaan ataupun ghairah, serasa tidak ada Islam di dalamnya. Karena itu Freud pernah berujar bahwa libido adalah roda yang menggerakkan jati diri.

Selain itu, dengan triangular of love-nya, Sternberg pun mengalami benturan. Rasa-rasanya Triangular of Love ala J. Sternberg belum mampu menjelaskan konsep cinta antara anak dan orangtuanya, adik dan ayahnya. Sebab pada esensinya konsep cinta Sternberg mengacu kepada cinta kepada pasangan dan komitmen mempertahankannya, belumlah menyertakan makna keislaman yang mendalam.

Cinta Dalam Islam

Sekarang masalahnya adakah payung ilmu yang boleh menahan erti cinta secara menyeluruh. Apakah ada penjelasan cinta komperhensif dan boleh dibaca dari segala arah bagi kita sebagai umat muslim? Jawabannya? Mari kita lihat bagaimana Islam sebagai agama kita menjelaskan secara tauhidik makna cinta yang amat mendalam.

Kata cinta dalam Al Qur’an disebut Hubb (mahabbah) dan Wudda (mawaddah), keduanya memiliki erti yang sama iaitu menyukai, senang, menyayangi.

Sebagaimana dalam QS Ali Imron : 14 “Dijadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, iaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (syurga).” Dalam ayat ini Hubb adalah suatu naluri yang dimiliki setiap manusia tanpa kecuali baik manusia beriman mahupun manusia durjana.

Adapun Wudda dalam QS Maryam : 96 “ Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal sholeh, kelak Allah yang maha pemurah akan menanamkan dalam hati mereka kasih sayang.” Jadi Wudda (kasih sayang) diberikan Allah SWT sebagai hadiah atas keimanan, amal sholeh manusia.

Dipertegas lagi dalam QS Ar Rum: 21 ketika Allah SWT berfirman, “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah ia menciptakan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Dalam ayat inipun Allah SWT menggambarkan ‘cenderung dan tenteram’ yang dapat diraih dengan pernikahan oleh masing-masing pasangan akan diberi hadiah (ja’ala) kasih sayang dan rahmat.

Dalam fil gharibil Qur’an dijelaskan bahawa hubb sebuah cinta yang meluap-luap, bergelora. Sedangkan wudda adalah cinta yang berupa angan-angan dan tidak akan terraih oleh manusia kecuali Allah SWT menghendaki-Nya, hanya Allah yang akan memberi cinta-Nya kepada hamba yang dkehendaki-Nya.

Allah SWT yang akan mempersatukan hati mereka. Walaupun kamu belanjakan seluruh kekayaan yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan mendapatkan kebahagiaan cinta jika Allah tidak menghendaki-Nya. Oleh karena itu terraihnya cinta—wudda pada satu pasangan itu kerana kualiti keimanan ruhani pasangan tersebut. Semakin ia mendekatkan diri kepada sang Maha Pemilik Cinta maka akan semakin besarlah wudda yang Allah SWT berikan pada pasangan tersebut.

Cinta inilah yang tidak akan luntur sampai di hari akhir nanti sekalipun maut memisahkannya, cinta atas nama Allah SWT, mencintai sesuatu atau seseorang demi dan untuk Allah SWT.

Permasalahan Cinta

Kita mungkin pernah sama-sama merasakan, ada suatu fasa dalam hidup kita saat di mana fikiran, hati, kaki, tangan, dan jiwa kita ditentukan oleh cinta, bagaimana segala kebahagiaan itu ditentukan dari kejayaan cinta dalam balutan ukuran manusia.

Pada pengisian ini kemudian cinta berubah menjadi sayembara yang kerap melontarkan kata-kata penjara jiwa seperti “Hidupku akan mati jika diputus oleh kekasih” atau “Kita tidak boleh hidup tanpa kekasih”. Sedangkan, remaja kerap berkata, “Jika mempunyai kekasih, belajar akan lebih termotivasi”.

Malah boleh jadi ada sumpah seranah yang terlontar kepada laki-laki atau perempuan yang telah mengkhianati cinta? Dan sebelum itu ketika saya kuliah, ada kawan berujar serius . ”Akhi, pacaran adalah keniscayaan untuk merasakan cinta. Engkau harus mencuba, kalau memang mahu faham cinta”.

Saat itu saya tertegun, meretas senyum kepadanya, dan melambungkan mata ke atas untuk mengeri erti cinta sejati. Tanpa disedari kita sudah meletakkan sesuatu yang pasti kepada manusia yang lemah, individu yang tidak tahu masa depan itu sendiri

Ketika kita mulai menjajakan cinta dan pada akhirnya kita gantungkan harapan cinta itu kepada manusia, pasti yang ada kekecewaan, kerana kemampuan manusia terbatas. Ia tidak boleh memastikan, ia tidak boleh menjadi penentu pasti, manusia tetaplah manusia dengan segala kelemahannya.

Adagium, sepandai-padaninya tupai melompat akhirnya jatuh juga, tidak bias makhluk, dan bukan sekadar pepatah dalam rangka mengingatkan ikhtiar manusia, kerana pada kenyataannya, Allah SWT telah menggariskan kemampuan manusia jauh sebelum adagium itu hadir.

Sehubungan ini Allah SWT berfirman: “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.”(QS. An-Nisa, 28).

Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua.” (QS. Rum, 54).

Masih banyak ayat lainnya yang menjelaskan hal serupa, mirip, dan memiliki kesamaan. Bahkan jauh melompat dari kedua ayat di atas, pada momentum ayat yang lainnya, Allah SWT terang-terangan mengidentifikasikan manusia dalam keadaan yang begitu rentan terhadap hati. Dalam surah ke 70 ayat 19, Allah berfirman: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”,

Tidak berakhir di situ, kemudian Allah SWT menjelaskan lagi perihal makhluk hidup ini yang akan membuat kita terangsang untuk lekas mengintropeksi diri, muhasabah, dan kembali kepada khittah kehidupan cinta, yakni firman yang berbunyi selang dua ayat berikutnya, “dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”.

Permasalahan cinta manusia, sudah jauh dilukiskan dengan amat baik oleh Ibnu Qayyim. Dikaji mendalam oleh Imam Ghazali, dan mundur ke belakang ditulis dengan amat menyentuh oleh Ibnu Taimiyyah. Tentu kapasiti penulis teramat jauh dengan kemampuan ulama besar itu yang kerap dikaji, dengan kitab Fenomenal Tazkiyatunnufus.

Ada banyak varian dari timbulnya permasalahan cinta, salah satunya bagaimana kita salah mengelola qalbu dalam cinta. Qolbu adalah wilayah yang urgen dalam kehidupan, hingga Rasullullah SAW pernah mengeluarkan hadisnya yang menyentuh,

Ketahuilah sesungguh dalam jasad ada segumpal darah. Jika ia baik seluruh jasad akan baik pula. Jika ia rusak maka seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.”

Banyaknya manusia yang terpuruk dalam cinta dan dikuasai hawa nafsu tak lepas kerana kita mengingkari kesucian qolbu, hati, dan nilai-nilai fitrah dalam diri. Wilayah sensitif ini menjadi lupa untuk kita perhatikan kerana sudah demikiannya kita jauh dari Allah SWT, dan merasa diri sombong dengan meletakkan ayat-ayat ilahi sebagai keutamaan kedua dalam mengarungi cinta. Naudzubillah.

Kekuatan Hati

Saudaraku, percayalah, hati yang cemas, kikir, gelisah, kotor, dan merasa lelah menjalani hidup, disebabkan kita sudah meletakkan ukuran-ukuran duniawi sebagai syarat kebahagiaan hakiki. Kita rela menyiksa hidup dengan syarat-syarat wahn yang sebenarnta tak boleh kita lakukan. Kalau kita mahu jujur saja, secara hakiki, kesemua itu malah jauh dari sumber kebahagiaan yang sebenarnya, yakni ketenangan batin bagaimana kita selalu dekat dengan Allah SWT.

Saudaraku, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu pernah berkata bahawa “Tidak sempurna keselamatan qalbu seseorang hamba melainkan setelah selamat dari lima perkara: syirik yg menentang tauhid, bid’ah yang menyelisihi as-Sunnah, syahwat yg menyelisihi perintah,  kelalaian yang menyelisihi dzikir dan hawa nafsu yang menyelisihi ikhlas.” Hamba yang memiliki qalbun salim akan selalu mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia yang mana Allah SWT telah mempersiapkan tempatnya di syurga.

Saudaraku, salah satu kunci ketenteraan hidup dimulai dari bagaimana kita mampu membangun suasana hati. Jika hati kita ikhlas  dan bersih dengan penuh ketawadhuan, sesuatu yang kita pandang hina jadi sedemikian mulia, yang tadinya kita pandang kurang ternyata teramat cukup, sesuatu yang kita lihat kecil dan tak berdaya berubah jadi sangat besar dan penuh makna, dan apa yang kita lihat sedikit, dan ternyata terlampau banyak. Dan itu di mulai dari hati.

Sekarang apakah kita mahu melepaskan segala ego, kesombongan, dan sebongkah egoisme besar dalam diri kita?. Kini, apakah kita juga rela berhenti sejenak melepas atribut keduniawian kita untuk menghadap one by one dengan Allah SWT dengan berkata jujur di depan Singgasana-Nya. Jika kita berani, rasakanlah ada aliran kesejukan dan ketenangan yang sebelumnya tidak kita rasakan. Ia mententeramkan. Ia pun mampu merubah paradigma kita tentang cinta, hidup, dunia, ujian, psikologis, dan sebagainya.

Jika tidak itu kembali kepada diri pribadi, apakah kita masih ingin bertahan lama pada topeng-topeng yang khusus diciptakan Allah SWT untuk menguji keimanan kita? Demi Hidup yang digenggam oleh-Nya, percayalah itu kembali kepada kita.

Maka apabila hari kiamat telah datang. Pada hari ketika manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya. Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada tiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia maka sesungguh nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Rabb dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (An Naziat ayat 34-42). Allahua’lam.

Sumber: Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi , https://www.eramuslim.com/

Translate »