NEGARA ini (Indonesia) sedang bertempur habis-habisan melawan gelombang kedua COVID-19. Sejak pertengahan Jun 2021, fasilitas (kemudahan) rumah sakit megap-megap  kerana melonjaknya angka penularan COVID-19. Rumah sakit dilanda krisis kamar perawatan, oksigen, alat pelindung diri, ubat dan alat kesihatan, kantong peti jenazah, hingga tenaga kesihatan. Tidak sedikit warga yang terpapar COVID-19 terpaksa menjalani perawatan di rumah dengan segala keterbatasan. Bahkan, sebahagiannya meninggal saat isolasi mandiri (kuarantin kendiri).

Di tengah kengerian yang mendera rakyat, para politikus kita justeru memproduksi pernyataan kontroversial yang memicu kegaduhan publik. Wakil Sekretaris Jenderal DPP PAN Rosaline Rumaseuw, misalnya, meminta pemerintah membuat rumah sakit khusus untuk pejabat yang terkena COVID-19 (7/7/2021). Rosaline konon kecewa kerana saudaranya, John Mirin, yang juga anggota Fraksi PAN DPR meninggal di RSPAD (3/7/2021) kerana penanganan dari pihak rumah sakit yang terlambat.

Kes serupa terjadi di DI (Daerah Istimewa) Jogjakarta ketika seorang anggota DPRD DI Jogjakarta, Wahyu Pradana Ade Putra, mengembuskan nafas terakhir setelah kesulitan mendapatkan ruang ICU. Mirisnya lagi, akibat keterbatasan pelayanan rumah sakit, bupati Bekasi yang terkena Covid-19 harus mencari rumah sakit hingga ke Tangerang untuk memperoleh penanganan lebih lengkap.

TIDAK BERETIKA

Setelah gelombang mudik dan munculnya varian baru Delta yang memicu penularan COVID-19 secara eksponensial, banyak rumah sakit yang kewalahan menangani pasien (pesakit). Bahkan, tim medis terpaksa mengutamakan pasien yang punya harapan hidup lebih panjang untuk ditangani.

Di situasi sedemikian ketir-ketir itu, prinsip humanis kolektif menjadi kunci. Ertinya, seluruh rakyat, termasuk pejabat, secara volunteer mahu tak mahu turun tangan mengibarkan bendera kemanusiaan dengan sama-sama berkontribusi memerangi pandemik dengan semua implikasinya itu. Tidak boleh ada yang merasa diri lebih istimewa/penting. Semua orang, termasuk para pejabat, semestinya memiliki persepsi etis yang sama dalam menghayati situasi krisis (Kumorotomo, 2013: 192).

Kerena itu, apa yang dikeluhkan seorang Rosaline di atas kuranglah tepat. Kecewa dan sedih atas kepergian orang yang kita sayangi tidaklah salah. Itu manusiawi. Bukankah politikus atau pejabat juga manusia. Namun, permintaan Rosaline yang notabene seorang politikus menjadi tak etis diucapkan di saat rakyat tengah dibekap kekhuatiran, kesusahan, kesedihan, dan kehilangan besar atas orang-orang yang dicintainya.

Seluruh dunia dan kita semua sedang bergelut memperjuangkan keselamatan di tengah fasilitas kesihatan dan kesadaran individu terhadap protokol kesihatan yang kian tipis. Itu membuat nilai kehidupan di masa-masa kedaruratan seperti sekarang menjadi ”mahal” dan layak diperjuangkan semua orang tanpa pandang bulu dan kasta. Ketika di tengah masa kritis ada pihak yang mencuba menuntut privilage (keistimewaan) hanya kerana merasa memiliki kuasa, hal tersebut seperti mengggores akal sihat dan nilai berbela rasa (compassion) kita sebagai bangsa. Apalagi, dalam diktum etos pelayanan publik, setiap warga negara wajib hukumnya dilayani secara sama tanpa memihak (Stahl, 1983: 386).

Bukan hanya itu, kegaduhan publik yang dipicu statemen (pernyataan) dan perilaku yang berlawanan dengan logika persatuan melawan pandemik adalah sebuah ketidakpantasan moral yang semestinya disingkirkan. Seperti pernyataan Ketua Fraksi Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono yang mengkhuatirkan bangsa ini akan disebut bangsa gagal kerana tidak mampu menyelamatkan rakyatnya. Statemen tersebut kemudian dibantah Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kota Tangerang Selatan, Wanto Sugito. Dia bahkan menyarankan Ibas mengurus Partai Demokrat saja. Namun, ada juga politikus dari parti lain yang menganggap pernyataan Ibas sebagai sebuah wake-up call (alarm) agar pemerintah lebih serius menangani pandemik.

‘GELEMBUNG SABUN’

Dalam preseden (pendulu) politik kita, polemik seperti itu hanya berujung ”gelembung sabun” sensasi dan keriuhan kontraproduktif. Politikus kerap mengoleksi ucapannya di etalase (depan kedai) publik sebagai ajang (peristiwa) mencari simpati electoral (pengundi). Ketimbang menjadikan argumennya sebagai alat memperjuangkan kepentingan rakyat dengan menyodorkan solusi yang konstruktif dan solutif.

Masalahnya, publik membaca yang diucapkan politikus kerap tidak selaras dengan track record perilakunya. Sehingga seliweran (mundar-mandir atau bolak-balik) argumen (hujah) mereka di layar pemberitaan mahupun media sosial ditanggapi rakyat dengan sinisme (menyindir) dan kecurigaan, sampai kemudian argumen tersebut meruap tidak berbekas.

Di tengah tingkat kewaspadaan nasional terhadap bahaya COVID-19 yang sedemikian genting ini, jiwa sosial dan akal sehat tak boleh tidak aktif (hibernation). Sebaliknya harus lebih dinyalakan. Kita kian ada dalam kesukaran kolektif untuk menembus kemacetan (bottleneck) kesedaran rasional dalam menekan laju penularan COVID-19. Antara lain juga kerana ngeyel-nya (membebel) kita sekadar untuk mematuhi protokol kesihatan 5M (mencuci tangan, memakai masker (pelitup muka), menjaga jarak, menghindari kerumunan, mengurangi pergerakan).

Mirisnya  sikap melawan itu justeru ditunjukkan para elit itu sendiri. Sikap anggota DPR, Guspardi Gaus yang menolak menjalani kuarantin  dari perjalanannya ke Kirgystan atau lurah Depok yang nekat menyelenggarakan resepsi pernikahan di hari pertama penerapan PPKM darurat beberapa waktu lalu adalah contoh betapa infantilnya (keanak-anakan) penjabat kita dalam menaati aturan.

Padahal, seperti anjuran sebuah meme di media sosial, ”Kalau sudah tak mampu menerapkan 3M atau 5M, ya sudah, kalian 1M saja, MANUT”. [Manut bererti patut atau taat]

Ya, manut atau ketaatan seorang pejabat terhadap protokol melawan COVID-19 menjadi momentum moral dan edukasi (mendidik) bagi sebahagian rakyat yang masih tidak percaya bahwa COVID-19 yang sepaket dengan peti mati itu benar-benar ada.

Tidak pasti sampai bila kita menyudahi perang melawan corona. Yang pasti ialah pengorbanan, terutama dari elit/pejabat untuk mempelopori semangat kolektif (bersama atau solidarity), termasuk dalam menaati protokol kesihatan, sangat dibutuhkan.

Ketimbang komat-kamit menyemburkan nada pesimistis yang mengakumulasi ketakutan sehingga menurunkan imuniti sosial, selayaknyalah politikus bersatu turun ke rakyat. Menyedekahkan seluruh fikiran, tenaga, dan nafasnya dalam satu barikade volunter untuk menyelamatkan nyawa rakyat dari COVID-19. Jangan terus saling mengkambinghitamkan. Itu hanya akan melemahkan imuniti bangsa.

Sumber: UMBU T.W. PARIANGU, Dosen FISIP (Pensyarah Fakulti Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Universitas Nusa Cendana, Kupang, https://www.jawapos.com/

Translate »