PADA tahun 969 M, wilayah Palestina lepas dari kekuasaan Bani Abbasiyah setelah direbut oleh Dinasti Fathimiyah yang berkuasa di Afrika Utara, Mesir, dan Suriah. Ketika itu Dinasti Fathimiyah yang Syiah ini secara resmi mengumumkan bahwa mereka adalah khalifah tandingan Dinasti Abbasiyah yang mulai melemah.
Pada saat bersamaan, muncullah Dinasti Seljuk yang mengontrol kekhalifahan Abbasiyah. Dinasti Seljuk, atau biasa dikenal dengan sebutan Turki Seljuk, didirikan oleh Oghuz Khan. Pada perkembangannya, dinasti ini berhasil menguasai Asia Tengah dan Timur Tengah dari abad ke-11 hingga abad ke-14.
Pada tahun 1071, pasukan Turki Seljuk dibawah komando Alp Arslan, sultan ketiga Dinasti Seljuk, berhasil mengalahkan tentara Romawi yang didukung Prancis dan Armenia dalam sebuah pertempuran bernama Manzikart. Kekalahan ini membuat pasukan Romawi murka dan ingin membalas dendam kepada Seljuk.
Di sisi lain, pada tahun 1073 (beberapa catatan menyebut tahun 1076), Dinasti Seljuk berhasil merebut sebagian besar wilayah Palestina, termasuk al-Quds atau Yerusalem, kecuali wilayah Askalon, dari tangan Dinasti Fathimiyah yang kala itu dipimpin Al-Musta’li.
Keberhasilan Dinasti Seljuk merebut Yerusalem dimanfaatkan oleh Kaisar Romawi Timur (Bizantium), Alexios I Komnenos, untuk mengajak Paus Urbanus II menyeru kepada seluruh umat Kristen di Eropa agar melakukan “Perang Suci”. Perang ini kelak lebih dikenal dengan nama Perang Salib I.
Kepada Paus, Kaisar menyatakan bahwa tujuan Perang Suci adalah untuk merebut kota suci Yerusalem. Padahal, tujuan utamanya bukan itu. Kaisar sebetulnya ingin mendapatkan tambahan kekuatan dari masyarakat Kristen untuk memerangi pasukan Turki Seljuk dari Anatolia. Inilah sebenarnya tujuan awal dari seruan Perang Suci ini.
Maka, pada 27 November 1095, pada awal musim panas, Paus secara resmi mengumumkan seruan kepada seluruh kaum Kristen di Eropa agar ikut serta dalam “Perang Suci” ini. Bagi siapa pun yang ikut serta, Paus menjanjikan pengampunan, apapun dosanya. Seruan ini sekaligus menandai dimulainya Perang Salib I.
Ribuan umat Kristiani menyambut seruan Paus Urban II. Para petani, kesatria (knight), dan penduduk biasa dari berbagai tempat di Eropa Barat berjalan kaki lewat darat dan berlayar lewat laut menuju Konstantinopel, tempat persinggahan sebelum menuju Yerusalem (Baitul Maqdis).
Uniknya, korban pertama dari seruan Perang Suci tersebut bukanlah kaum Muslim yang menguasai Yerusalem, tapi orang-orang Yahudi. Ada dugaan ini karena dendam lama di mana orang-orang Yahudi pernah hendak membunuh dan menyalib Nabi Isa AS.
Adalah komunitas Yahudi di Rhine, yakni di kota Speyer, Worms, Mainz, dan Cologne, yang menjadi sasaran pertama pembantaian pasukan Salib. Peristiwa ini dikenal dengan nama “Pembantaian Rhineland”. Nasib yang sama dialami juga oleh komunitas Yahudi di wilayah Danube. Mereka tewas dalam jumlah ribuan.
Gelombang pasukan yang tiba di Konstantinopel untuk menyerang al-Quds sebetulnya ada tiga. Kelompok besar pertama tiba di pinggiran Konstantinopel. Kelompok besar ini sulit dikendalikan, tidak disiplin, dan tidak memiliki perlengkapan layaknya pasukan militer.
Kelompok pertama ini sering disebut Perang Salib Petani, dipimpin oleh Peter Sang Pertapa dan Gautier Sans-Avoir. Mereka sama sekali tidak mempedulikan keinginan Kaisar Bizantium, Alexios I Komnenos. Mereka bergerak dengan kehendak sendiri.
Gelombang kedua juga tidak berada di bawah komando Kaisar. Mereka terdiri dari sejumlah pasukan dengan para komandan masing-masing. Di dalamnya terdapat Hugues I, Comte Vermandois (saudara Raja Philippe I dari Prancis), Raymond IV, Comte Toulouse.
Jika kelompok pertama dan kedua ini digabung, menurut Geoffrey Hindley dalam The Crusades: Islam and Christianity in the Struggle for World Supremacy, jumlahnya diperkirakan 60 ribu orang. Mereka bergerak melintasi Asia Kecil, dan sempat berhadapan dengan pasukan Seljuk di Dorylaeum. Kali ini, pasukan Seljuk kalah. Daerah Antiokhia di utara Syam berhasil mereka rebut pada tahun 1098. Mereka juga merebut Edessa, lalu bergerak menuju al-Quds.
Pasukan Salib mengepung al-Quds selama satu bulan. Pada tanggal 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut al-Quds atau Yerusalem. Menurut Mansyur Abdul Hakim dalam bukunya Bangsa Romawi dan Perang Akhir Zaman, saat perebutan ini, Pasukan Salib melakukan pembantaian besar-besaran kepada penduduk al-Quds, baik pria, wanita, anak-anak, dan lanjut usia. Di pelataran Masjid al-Aqsha saja, jumlah kaum Muslim yang mereka bantai mencapai 70 ribu orang.
Dari perebutan ini, tentara Salib memiliki empat kerajaan di Syam. Pertama, Kerajaan Edessa, meliputi dataran tinggi Sungai Tigris dan Eufrat. Ibu kotanya juga bernama Edessa atau biasa disebut juga Idrissa. Di daerah barat daya, Kerajaan Edessa berbatasan dengan Aleppo.
Kedua, Kerajaan Antioka (Antioch) di wilayah utara yang terletak di barat daya Edessa. Ketiga, Kerajaan Tripoli di daerah selatan yang terletak di jalur sempit pesisir. Kerajaan Tripoli ini merupakan kerajaan terkecil dari semua kerajaan Romawi yang lain.
Keempat, Kerajaan al-Quds atau Yerusalem. Kerajaan ini membentang dari daerah dekat Beirut saat ini, sampai ke Sungai Yordan. Di Sungai Yordan ini, wilayahnya sedikit meluas. Sedang di sebelah selatan, mengarah ke Teluk Aqaba. Ibu kota kerajaan ini adalah al-Quds sendiri.
Inilah prahara yang melanda kaum Muslim pada Perang Salib 1. Kota yang dulu diserahkan kepada mereka dengan damai, kini direbut kembali oleh pasukan Salib dengan darah.*/ Mahladi Murni
Sumber: Mahladi Murni , https://www.hidayatullah.com/
Recent Comments