Hari itu, tanggal 16 April 1799, pasukan Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte telah sampai ke Ramalah, 25 batu jaraknya dari kota al-Quds, Palestin. Setahun sebelumnya, Perancis baru saja menyerang Mesir dan menaklukkannya dengan mudah.
Mesir dan Syam ketika itu masih berada di bawah kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmani. Hanya saja, menurut Dr Muhsin Muhammad Shaleh dalam bukunya Palestin, Sejarah, Perkembangan, dan Konspirasi, Kekhalifahan Turki Utsmani sudah sangat lemah. Keadaan inilah yang dimanfaatkan Perancis dan Inggeris untuk merebut al-Quds.
Perancis, khususnya sang komandan perang, Napoleon Bonaparte, punya kepentingan atas al-Quds (Baitul Maqdis) atau Jerusalem. Setidaknya ini terlihat dari pernyataan Naopelon saat hampir memasuki al-Quds, tepatnya pada 20 April 1799, atau empat hari setelah mereka memasuki Ramalah, di tengah pengepongan Kota Akka.
Ketika itu Napoleon berkata kepada orang-orang Yahudi bahawa kini saatnya mereka merealisasikan angan-angan untuk mendirikan sebuah negara di Palestin. Ia juga berjanji akan membangun kembali kota Jerusalem kuno tersebut setelah berhasil mereka kuasai.
Agar cita-cita menaklukkan al-Quds atau Jerusalem bisa terwujud, Napoleon tinggal menaklukkan satu kota lagi, yakni Akka, atau biasa juga disebut Acre. Jika kota ini bisa ditaklukkan maka al-Quds bisa dikuasai dengan mudah.
Namun, kali ini, dugaan Napoleon meleset. Mereka nyatanya tak pernah berhasil menguasai kota Akka. Bahkan sebaliknya, mereka dipukul mundur oleh pasukan Ahmet Jazzar Pasha dari kekhalifahan Turki Utsmani.
Meskipun Perancis gagal menguasai al-Quds, namun Napoleon mencatatkan dirinya sebagai tokoh Eropah pertama yang menyerukan secara rasmi dukungan kepada Yahudi untuk mendirikan sebuah negara di Palestin. Rencana Perancis menguasai Palestin ini diteruskan oleh sekutunya, Inggeris, yang menjadi negara super power pertama di dunia ketika Perang Dunia Pertama meletus.
Bangsa Yahudi rupanya faham kepada siapa harus mendekat. Mereka terus melobi Inggeris agar mahu mendukung rencana mereka mendirikan negara Yahudi. Mereka sudah lama mengimpikan pulang ke tanah Zion yang mereka klaim sebagai “tanah yang dijanjikan Tuhan.” Saat itu mereka masih tersebar di Eropah Tengah dan Eropah Timur.
Lobi pemuka Yahudi kepada pemerintah Inggeris berhasil. Inggeris berjanji akan melindungi bangsa Yahudi yang telah bermigrasi ke Palestin. Bahkan, pada tahun 1838, Inggeris membuka konsulatnya di kota al-Quds. Tujuannya, apalagi kalau bukan melindungi bangsa Yahudi yang telah bermigrasi di sana.
Sementara itu, gelombang migrasi bangsa Yahudi ke Palestia semakin lama semakin banyak. Penduduk Palestin mulai merasa khuatir. Pada tahun 1891, mereka mengirim surat kepada khalifah Abdul Hamid II dari Turki Utsmani agar melarang imigrasi tersebut. Sayangnya saat itu Khilafah Utsmani sudah sangat lemah dan tak bisa berbuat banyak.
Tahun 1896, Theodore Herzl merampungkan sebuah doktrin baru bernama Zionisme sebagai upaya mendirikan negara Yahudi ‘Israel’ di Palestin. Setahun kemudian, yakni 1897, Theodore Herzl menggelar kongres Zionis dunia pertama di Basel, Swiss. Kongres tersebut menelurkan sebuah resolusi bahwa masyarakat Yahudi bukanlah sekadar umat beragama, namun bangsa yang memiliki tekad bulat untuk hidup berbangsa dan bernegara.
Di kongres itu, Herzl menyebut bahwa Zionisme adalah jawaban bagi diskriminasi dan penindasan atas kaum Yahudi yang telah berlangsung ratusan tahun. Di depan kongres, Herzl berkata, “Dalam 50 tahun yang akan datang, negara Yahudi telah berdiri!”
Sementara itu, pada Mei 1916, berlangsung perjanjian rahasia Sykes-Picot antara Inggeris dan Perancis saat Perang Dunia Pertama sedang berkecamuk. Dalam perjanjian itu mereka membahagi akses kepada wilayah jajahan. Inggeris mendapat akses kepada Palestin, sedang Perancis mendapat akses ke Lebanon dan Syria.
Pada tahun 1917, Menteri Luar Negeri Inggris yang keturunan Yahudi, Arthur James Balfour, menghubungi pemimpin Zionis Inggeris, Lord Rothschild, meminta agar orang-orang Yahudi membantu mereka memerangi Jerman. Sebagai imbal balik, Inggeris mengeluarkan Deklarasi Balfour pada 2 November 1917. Isinya, menjanjikan tanah Palestin kepada kaum Yahudi sehingga mereka bisa membentuk negara sendiri, yakni negara ‘Israel’.
Satu bulan kemudian, tepatnya pada Disember 1917, Inggeris benar-benar menguasai wilayah Palestin bagian selatan dan tengah, termasuk al-Quds. Panglima perang Inggeris, Allenby, sebagaimana dikutip oleh Emil al-Ghuri dalam Filistin Ibra Sittin Aaman, berpidato di tengah perayaan kemenangan mereka. “Sekarang peperangan Salib sudah usai.” Isi pidato ini seakan-akan menyatakan bahawa tujuan akhir dari Perang Salib adalah merebut al-Quds.
Sejak saat itu Inggeris membuka projek Yahudisasi secara terorganisir di Palestin. Terjadilah migrasi besar-besaran bangsa Yahudi dari Eropa Timur ke Palestin. Jumlahnya mencapai 40 ribu orang sepanjang kurun 1918 hingga 1923.
Inggeris terus memantapkan kekuasaannya atas Palestin dengan melobi Perserikatan Bangsa Bangsa, yang kala itu masih bernama Liga Bangsa Bangsa, agar melegalkan kekuasaan mereka di tanah Kan’an itu. Pada 24 Julai 1922 keluarlah resolusi PBB. Dengan demikian, kekuasaan Inggeris atas Palestin sudah sah dengan batas waktu hingga 15 Mei 1948.
Setelah itu, gelombang migrasi Yahudi ke Palestin terus menerus terjadi, hingga pada 14 Mei 1948, atau sehari sebelum habisnya masa penguasaan Inggeris atas Palestin, para pemukim Yahudi memproklamirkan secara sepihak kemerdekaan negara ‘Israel’ (Yom Ha’atzmaut). Proklamasi ini sejalan dengan pernyataan Theodore Herzl pada 1896 bahwa dalam 50 tahun mendatang, negara Yahudi telah berdiri! Ini semua tak bisa dilepas dari andil Inggeris dan Perancis.*
Sumber: https://www.hidayatullah.com/
Recent Comments