Soal kehilangan tidak akan ada yang bisa baik-baik saja, normalnya sebagai manusia yang memiliki perasaan, kita akan mengungkapkannya lewat perasaan sedih, salah satunya dengan menangis, karena kehilangan  akan selalu menyisakan satu lubang besar di hati, yang tidak bisa sembuh dengan waktu yang sebentar, bahkan ada yang tidak bisa sembuh seutuhnya, apalagi kehilangan orang-orang tersayang.

Orang tua, anak, pasangan, keluarga dan harta benda, semuanya sementara jika waktunya habis kita dipaksa untuk bisa megikhlaskan dan merelakan, walau mungkin tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi seperti yang sudah tertulis di awal tadi, kita memang tidak pernah benar – benar memiliki, bahkan pada diri kita sendiri. Ya, semuanya akan kembali karena memang dunia ini hanya tempat singgah, ada yang lebih kekal dan abadi iaitu akhirat.

Memaknai kehilangan memang butuh waktu yang sangat lama untuk benar- benar paham, kita sebagai manusia biasa tidak paham akan maksud dari segala sesuatu yang sudah digariskan. Terkadang kita marah, kesal, sedih dan kecewa, bertanya kepada semesta “Kenapa harus aku yang merasakan semua ini?” mengutuk langit dan menyalahi takdir.

Kita sebagai manusia hanya memiliki ilmu seujung kuku untuk memahami takdir yang sudah tergariskan, tidak mudah untuk kita untuk memahami maksud dan tujuan sebenarnya, tapi kita harus selalu yakin dan percaya bahwa apapun yang ditakdirkan untuk kita adalah yang paling baik, seperti yang tertulis di dalam al-Qur’an.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-Baqarah; 216).

Salah satu cara paling ampuh untuk membuat hati lapang menerima segala ketentuannya, salah satunya kehilangan adalah percaya bahwa AllahSWT lebih tahu apa yang paling baik untuk hamba-Nya, dan kita sebagai hamba-Nya juga harus yakin bahwa Allah SWT sebaik-baiknya perencana yang tidak akan membebani hamba-Nya sesuai dengan batas kemampuannya.

Allah berfirman dalam  Surah Al-Baqarah ayat 286 yang artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan)yang dikerjakannya”. (QS. Al-Baqarah ; 286).

Tidak mengapa jika sekali- kali kamu merasa sedih tersebab kehilangan yang amat pedih, tidak apa-apa jika suatu hari kamu merasa lemah, merasa sangat rindu dengan apa yang sudah Allah SWT ambil kembali. Menangislah, luapkan segala sesak didadamu dan gundah dihatimu, tapi jangan lupa untuk bangkit kembali, untuk tersenyum kembali.

Dalam lirik lagu milik Fiersa Besari dengan judul Pelikku untuk Pelikmu, tertulis dengan indah “kadang kala tak mengapa, untuk tak baik-baik saja, kita hanyalah manusia, wajar jika tak sempurna”.

Hakikat yang sebenarnya dari dunia yang fana ini adalah, pulang. Kita akan pulang ke tempat pertama kali kita bermula, selagi masih ada waktu, semoga bisa kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kelak, semoga Allah SWT  kumpulkan kita kembali di syurga-Nya, Aamiin.

Selamat memaknai kehilangan, untuk mencapai puncak keikhlasan dan merelakan yang sesungguhnya. Selamat berdamai dengan takdir yang sudah tergariskan, selamat berdamai dengan dirimu sendiri, semoga Allah jaga kita selalu, raganya juga hatinya, dikuatkan untuk menerima segala ketentuannya.

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip tulisan indah dari Tere Liye, untuk memperlengkap dan menguatkan kita untuk lebih memaknai kehilangan, keikhlasan dan merelakan.

kau tau, hampir semua orang pernah kehilangan sesuatu yang berharga milliknya, amat berharga malah. Ada yang kehilangan sebagian tubuh mereka, cacat, kehilangan pekerjaan, kehilangan anak, orang tua, benda- benda berharga, kekasih, kesempatan, kepercayaan, nama baik, dan sebagainya. Dalam ukuran tertentu, kehilangan yang kau alami mungkin jauh lebih menyakitkan. Tetapi kita tidak sedang membicarakan ukuran relatif lebih atau kurang. Semua kehilangan itu menyakitkan, apapun bentuk kehilangan itu, ketahuilah, cara terbaik untuk memahaminya selalu dari sisi yang pergi, bukan dari sisi yang ditinggalkan, kalau kau memaksakan diri memahaminya dari sisimu, maka kau akan mengutuk Tuhan, hanya mengembalikan masa-masa gelap itu. Bertanya apakah belum cukup penderitaan yang kau alami. Bertanya mengapa  Tuhan tega mengambil kebahagiaan orang-orang baik, dan sebaliknya memudahkan jalan bagi orang-orang jahat. Kau tidak akan pernah menemukan jawabannya, karena kau dari sisi yang ditinggalkan”. –Darwis dalam Tere Liye, Rembulan Tenggelam Di wajahmu.

sumber: Sri Wahyuni, https://www.qureta.com/