Hai, sudah lama ya saya hilang dari dunia kepenulisan. Huh, lelah sekali kawan-kawan saya melewati ini semua. Professor Kautsar Azhari Noer, penyebab saya menulis lagi, karena jujur saja saya sudah lama tidak menulis. Penyebab saya tidak menulis banyak sekali, salah satunya tugas yang luar biasa berlimpah dan belum selesai dengan masa lalu saya. Cukup curhatnya, mari kita kembali ke topik.
Inspirasi tulisan saya kali ini dari perkuliahan saya. Ketika kelas Professor Kautsar Azhari Noer. Beliau merupakan guru dari guru kami mahasiswa UIN Jakarta (Guru Besar). Ia juga merupakan dosen yang paling saya tunggu, karena walaupun tingkatan ilmunya sudah tinggi, tapi ia tetap menggunakan bahasa yang sederhana dalam menjelaskan kepada mahasiswanya. Bahkan sering sekali menggunakan bahasa “analogi” untuk membuat pendengar agar lebih paham.
Kebetulan pemakalah saat itu ialah kawan saya berjumlah dua orang. Pada saat itu sebenarnya materinya menarik, tetapi penyampaian yang tidak menarik. Terlebih lagi, referensinya hanya dari satu buku saja, yaitu karya Karen Armstrong, Twelve Steps to a Compassionate Life, terbitan New York-Toronto: Alfred A. Knopf, tahun 2011.
Saya mulai dari definisi terlebih dahulu. Belas kasih dalam bahasa Inggris disebut compassion secara etimologi berasal dari bahasa Yunani “pathein” dan bahasa Latin “patiri” yang berarti menderita atau mengalami atau pengalaman. Compassion bisa disebut juga “consistent altruism” dan “attitude of principled”.
Penyebutan makna lain kata Karen Amstrong, compassion juga dapat ditemukan dalam bahasa Semitic; bahasa Ibrani pasca-alkitab: rahamanut, dan Bahasa Arab: rahman. Secara etimologis, berkaitan dengan rehem/RHM (“rahim“). Apabila diartikan dalam bahasa Indonesia, compassion memuat makna yang luas. Compassion berarti gabungan dari kasih sayang, rasa kasihan, empati, dan bahkan penekanan ego.
Welas asih atau belas kasih dalam definisi Sznaider adalah kepedulian terhadap penderitaan orang lain, disertai dengan dorongan untuk membantu. Ini ‘melibatkan moral aktif’ tuntutan untuk mengatasi penderitaan orang lain (Sznaider 1998: 117).
Di paragraph sebelumnya saya menyebutkan dua istilah, yaitu “consistent altruism” dan “attitude of principled”. Saya memberikan penjelasan yang lebih mendalam mengenai kedua istilah tersebut.
Altruisme yang konsisten
Consisten Altruism, jika di Indonesiakan berbunyi “Altruisme yang Konsisten”. Altruisme secara definitif adalah belas kasih atau perhatian untuk atau terhadap kesejahteraan atau kebahagiaan atau kesenangan orang lain tanpa memperdulikan diri sendiri. Definisi yang sangat menyeramkan bukan? Bagaimana dengan altruisme yang konsisten?
Ini sering terjadi sebenarnya dalam kehidupan sehari – hari, termasuk dalam kehidupan saya pribadi. Saya seringkali mengutamakan orang lain dibandingkan saya sendiri. Saya baru menyadari ini. Ketika saya sudah berumur 20 tahun artinya saya sudah se-konsisten itu dalam altruisme, entah ini adalah sesuatu yang menyedihkan atau memprihatinkan.
Saya mencoba membuat bandingan ini dengan berpihak pada filsafat. Pada dasarnya dalam buku Karen Amstrong yang pernah saya bahas sebelumnya, compassion lebih banyak dihubungkan dengan psikologi.
Dalam jurnal sosiologi ‘Masyarakat’ vol 18, yang berjudul “Altruisme, Solidaritas, dan Kebijakan Sosial, ” kawan saya Robertus Robert, menganggap altruism lebih mengarah pada kajian psikologis, walaupun Robert sendiri mengakui bahwa asal istilah ini dari Auguste Comte.
Auguste Comte, merupakan filsuf dan pemikir besar filsafat sebenarnya. Ia pemikir abad ke-19, yang memperkenalkan aliran positivisme. Itu filsafat juga mas Robert, dan semua ilmu pengetahuan pusatnya ya filsafat mas. Filsafat adalah ibu dari segala ilmu.
Walaupun kerangka-kerangka yang pasti dalam altruisme ialah psikologi yang merupakan induk dari filsafat.
Mas Robert juga mengakui bahwa dalam pembahasan filosofis mengenai altruisme, sejauh ini memang “hanya” beberapa tokoh besar yang sering disebut memberikan dasar bagi pembahasan lebih lanjut, yakni Aristoteles, Cicero dan Kant. Artinya filsafat memulai terlebih dahulu mengenai altruisme, entah beda pengistilahan yaitu hal biasa saja.
Sampai detik ini, perdebatan mengenai “altruisme” masih rumit. Ketika altruisme sudah disudutkan dengan inti pertanyaan, apakah merupakan sesuatu yang baik atau buruk. Jawaban yang sebenernya sangat sulit.
Misalnya ketika aliran filsafat objektivisme menganggap ini adalah suatu keburukan dalam realitas hidup. Sedangkan dalam beberapa budaya dan agama, altruisme dianggap penting dan sering dianak-emaskan.
Menurut Walstern, dan Piliavin perilaku altruistic ini merugikan pelaku. Karena secara tidak langsung meminta pengorbanan waktu, usaha, uang dan tidak ada imbalan atau pun reward dari semua pengorbanan. Walaupun dampak ini sering tidak terlihat secara kesat mata.
Sikap berprinsip
Compassion menjadi prinsip tindakan untuk menghadapi orang lain. Sebagai bentuk altruisme, compassion dipraktikkan dengan tujuan menghadirkan kepuasan dan ketenangan batin. Ada sebuah tuntutan yang pada dasarnya berada dalam diri setiap manusia, yang tidak dapat digambarkan atau dikatakan, dan dapat dipenuhi dengan mempraktikkan compassion tersebut.
Praktik-praktik compassion tersebut dapat dimulai dengan menekan ego diri sendiri dalam menghadapi orang lain yang mungkin berbeda dengan diri kita. Dengan adanya praktik, secara langsung dapat dikatakan belas kasih atau compassion dapat disebut sikap yang berprinsip.
Sikap ini, berarti perlu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari atau justru harus dihilangkan dari kehidupan.
Sumber: Dedi Irawan, https://www.qureta.com/
Recent Comments