Profoser Dr Samsul Nizar menulis:
Sungguh hebat hewan yang bernama gajah, tungau dan semut.
Gajah memiliki jasmani yang besar, kuat, kokoh, lapisan kulit bagai tank baja, dan gading indah memukau nan bernilai jual tinggi.
Adapun tungau adalah serangga berukuran sangat kecil dan gigitannya sering kali tidak disedari menimbulkan kulit merasa gatal.
Sedangkan semut dikenal sebagai serangga sosial dengan koloni terorganisir secara baik (super organisme) dan memiliki kasta dalam membangun bilik-bilik pada sarang yang teratur.
Bukan hanya melihat ketiga hewan di atas pada kelebihan sisi zahirnya saja, tapi juga pada kelebihan sisi filosofi dari sifat ketiganya yang mampu menjadi “guru” dan cermin dalam kehidupan manusia.
Meski masih banyak haiwan lainnya juga dapat menjadi “guru” untuk melihat sisi yang dimiliki. Tak heran bila pepatah petua nenek moyang menggunakan haiwan gajah, tungau, dan semut sebagai pilhan kosa kata menyusun petua serta cerita yang mengandung nilai filosofis bagi pelajaran (i’tibar) anak cucunya.
Begitu hebat para leluhur dalam memilih kata nasihat dan seakan mampu “meramal” masa depan sifat generasi sesudahnya. Atau mungkin apa yang dikatakan dalam pepatah tersebut merupakan tampilan sifat dan karakter manusia sejak dahulu kala yang tak pernah terselesaikan sampai kini.
Di antara petua dan cerita yang diwariskan nenek moyang adalah : Pertama, pepatah “Gajah dipelupuk mata tak terlihat, tapi tungau di seberang lautan begitu jelas terlihat“. Banyak kesalahan diri dan sekitar diri tidak terlihat, tidak ingin dilihat, atau sengaja ditutupi agar tak terlihat, apalagi kalau menyangkut “harapan pemilik gajah” agar mengaburkan dan menguburkannya.
Namun, kesalahan kecil di luar nan jauh justeru terlihat jelas. Apalagi kalau penglihatan kesalahan dilakukan karena adanya “titipan” agar bisa terlihat. Sungguh, terkadang “penilai” lebih mudah melihat kesalahan di luar sana.
Dengan teropong “merasa suci” mampu menjelajah pori-pori benang seseorang guna menemukan setitik noda (kesalahan) pada hamparan samudera kesucian (kebaikan dan prestasi).
Namun, mata helangnya tak mampu melihat kesalahan yang ada di sekitar diri akibat terdinding “keangkuhan dunia dan kepentingan” yang menutupi alam semesta kebenaran. Mungkin yang tersisa hanya teriakan batin, namun sayup-sayup sampai. Atau tak ada lagi “organ batin” sehingga tak ada lagi teriakan sama sekali akibat kebisuan yang membungkam (Q.S. al-Baqarah : 7-8).
Padahal Allah SWT berpesan melalui hadis qudsi bahwa “Tidaklah seseorang menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.” [Shahih Muslim]
Terkadang manusia lupa pepatah leluhur bahwa “tumpukan bangkai tak mampu ditutupi dengan selembar daun kelor”. Baunya pasti akan tercium. Meski diri menutupi kesalahan, namun jangan lupa orang lain boleh tahu akan kesalahan yang ditutupi.
Hanya karena taring dan belangnya, harimau ditakuti (bukan disegani). Namun, tatkala taring dan belang telah hilang, hancurlah diri kerana tak boleh diingatkan lagi. Harimau yang telah patah taring dan hilang belangnya hanya akan menjadi permainan dan objek cibiran belaka. Jadilah seperti burung garuda, terbang mengangkasa menembus tumpukan awan, namun tak pernah lupa turun ke bumi tempat asal dan ranting tempat bertengger.
Kedua, untaian cerita perseteruan gajah dan semut yang begitu seru. Kepongahan gajah dengan pisiknya yang besar dan kokoh justeru dikalahkan oleh seekor semut yang masuk ke telinga gajah.
Gajah yang besar lagi kokoh ternyata boleh dikalahkan oleh seekor semut yang kecil. Gajah lupa dirinya tak sempurna. Merasa hebat tanpa cela nista (kelemahan). Padahal, tak ada ciptaan Allah SWT yang sempurna, pasti ada cacat dan cela.
Kelalaian gajah berakibat pada kekalahan, bahkan kematian. Gajah pongah karena pisik dan kekuatan yang dimiliki. Namun, tatkala gajah tak lagi memiliki kekuatan diri dan hidup pada komuniti haiwan yang lemah, ternyata diri tak lagi dihormati.
Bahkan terkadang perilakunya melebihi apa yang dilakukan oleh kaum lemah yang selama ini diinjak-injaknya. Ingin rasanya mulut ini tertawa melihat fenomena gajah dan semut. Tapi tertawa dikhawatirkan terjangkit oleh “virus corona”.
Ketiga, tabiat gajah, tungau, dan semut (tentu hewan lainnya) begitu bersatu tatkala ada musuh untuk menjaga keamanan dan habitatnya. Namun, bila kondisi normal dan mereka berada pada komunitinya, maka terjadi konflik internal (bahkan saling membunuh) agar dapat menguasai (berkuasa) komunitinya. Mulai muncul pengelompokan (sekte dan kasta). Pengelompokan atas dasar bantuan dan kepentingan, bukan kualitas atas kemampuan.
Keempat, gajah yang bijak dan membangun kebajikan akan meninggalkan gading yang indah dan bernilai tinggi.
Kelima, tungau dan semut tak menjadi pongah, tapi sedar atas potensi yang dimiliki. Tak pernah ada keinginannya menjadi seekor gajah atau melebihi lagi agar boleh balas dendam atas apa yang terjadi. Tungau dan semut sadar posisi dan potensi yang dimiliki tanpa harus mejadi seperti gajah.
Sumber: www.riaupos.jawapos.com > Opini – Gajah, Tungau dan Semut – Samsul Nizar (Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis)
Recent Comments