SAAT ini kebanyakan umat Islam telah mengalami penyimpangan orientasi hidup dari apa yang dicita-citakan generasi terdahulu. Umat Islam telah menjadikan harta sebagai ukuran kebahagiaan Muslim. Cukup jelas buktinya dengan melihat kecenderungannya yang sangat tinggi pada dunia. Dengan berbagai alasan yang seakan-akan kebaikan, dia memilih orientasi hidup dengan mengejar dunia.

Kalau saya kaya, saya boleh beribadah dengan tenang dan boleh menunaikan ibadah haji sebagai rukun Islam. Saya boleh membahagiakan orang tua dan boleh banyak bersedekah,” begitulah kira-kira kalimat khayalan yang kerap memenuhi benak kebanyakan umat Islam saat ini.

Padahal sudah banyak sekali contoh bahawa hal tersebut adalah amal angan-angan yang belum tentu dia lakukan pada saat kaya nanti.

Cobalah semak kisah Tsa’labah bin Haathib yang bercita-cita ingin kaya lalu minta didoakan oleh Rasulullah SAW. Di dalam fikirannya, “Ketika kaya nanti ingin lebih rajin beribadah.”

Namun, ketika keinginan kaya itu menjadi kenyataan Tsa’labah bukanlah tambah taat, tapi justeru lupa ibadah kepada Allah karena sibuk mengurusi kambing yang semakin banyak.

Zaman sekarang, kejadian ini juga banyak dijumpai dengan berbagai macam fakta yang berbeda tapi pada intinya sama,  yakni menjadikan dunia sebagai tujuan dan ukuran kebahagiaan. Sedar ataupun tidak banyak para orang tua dari kaum Muslimin yang mengarahkan anak-anaknya sejak kecil untuk bercita-cita menjadi jadi pilot, dokter, guru,  dan lain sebagainya.

Menjadi pilot, dokter ataupun guru sama sekali tidak ada nilai di sisi Allah SWT kalau tidak ada niat karena Allah atau untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslimin. Kerjaya tersebut hanyalah aktiviti dunia belaka, tidak ubahnya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bukan Muslim.

Orientasi Hidup Menjadi Mukmin Mulia

Kemuliaan seorang Muslim dinilai dari takwanya (keterikatannya terhadap hukum syara’) bukan yang lain. Sehingga siapapun boleh jadi mulia tanpa memandang kaya-miskin, tanpa memandang pangkat (kedudukan) dan tanpa memandang nasab asalkan dia terikat dalam setiap tindakannya terhadap hukum syara’ (melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan). Si miskin dia boleh sabar dan taat dengan kemiskinannya, sedangkan si kaya dia boleh bersyukur dan taat dengan kekayaannya. Semuanya bernilai pahala di sisi Allah SWT. Kadar ketaqwaannyalah yang membezakan di antara keduanya.

Sebanyak apapun prestasi yang diraih jika tidak berdasarkan iman, melanggar syara’ dan tujuannya salah, maka di sisi Allah SWT tiada nilai. Setinggi apapun prestasi orang non Muslim, maka tiada nilai di sisi Allah SWT. Setinggi apapun prestasi Muslim jika melanggar syara’ dan salah tujuan, maka juga tidak mempunyai nilai di sisi Allah SWT.

Sehingga hari-hari kaum Muslimin senantiasa dikelilingi kemuliaan saat dia terikat dengan hukum syara’. Mulai dari hal kecil hingga yang besar. Dia Makan tidak hanya sekadar makan, tetapi untuk menguatkan ibadah, menguatkan shalat, belajar, membantu orang tua dan bekerja untuk menafkahi isteri. Membeli baju, tidak untuk gaya-gayaan atau pamer karena sama sekali tidak ada nilai di sisi Allah SWT, tetapi untuk menutupi auratnya sehingga tiada kerugiaan dia bekerja dan membelanjakan hartanya karena semua demi tunduk kepada Allah SWT.

Menuntut ilmu dalam rangka memenuhi perintah Allah SWT adalah ketika dilakukan dengan penuh keikhlasan, mengharap redha Allah, mensyukuri terhadap nikmat akal, mencari kebahagiaan di akhirat, menghidupkan agama, menghilangkan kebodohan, dan melestarikan Islam. Sehingga aktiviti menuntut ilmunya bernilai pahala di sisi Allah SWT. Keluarnya keringat dan lelahnya dinilai pahala di sisi Allah SWT dan termasuk orang yang dimudahkan jalannya ke surga oleh Allah SWT.

Boleh menuntut ilmu dengan tujuan untuk mendapatkan kedudukan di masyarakat yang dengannya digunakan dalam rangka amar makruf nahi munkar, menjalankan kebenaran dan menegakkan agama Allah SWT. Begitupun juga orang bekerja, jika hanya untuk menumpuk-numpuk kekayaan tiada nilai di sisi Allah SWT. Hanya mendapatkan rasa penat dan tumpukan uang.

Di zaman tabi’in Khalifah Umar bin Abdul Aziz sibuk membukukan hadits demi menjaga dari kepentingan dari pemalsuan hadits. Semangat ini tidak akan diperoleh bagi yang tujuan hidupnya hanya berorientasi kepada dunia dan ukuran kebahagiaannya ketika mendapatkan kesenangan-kesenangan dunia.

Boleh dipastikan orang yang mempunyai tujuan dunia tersebut jika hidup di zaman para sahabat maka akan menjadi orang munafik yang takut berjuang untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslimin. Dunia yakni harta, tahta, dan keluarga mereka tinggalkan ketika ada perintah hijrah dari Allah SWT. Karena bagi mereka dunia diletakkan di tangan tidak sampai masuk ke hati.

Tentu saat ini, perjuangan untuk kemuliaan Islam boleh saja berbeza dengan generasi terdahulu. Karena kebanyakan negeri-negeri kaum Muslimin mengalami kemunduran berfikir yang sangat jauh dari Islam. Mereka diserang pemikirannya agar jauh dari Islam, bahkan kaum Muslimin sendiri tanpa sadar sudah menyerang agamanya sendiri. Mereka diserang pemikiran dengan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) kapitalisme.

Sehingga tolak ukurnya, kesenangan dan kesuksesannya mendapatkan tumpukan kebendaan tanpa peduli agama membolehkan atau melarangnya. Inilah yang terjadi juga pada kaum Muslimin dulu pada saat perang Uhud. Mereka tidak tunduk kepada perintah Rasulullah SWT dan menginginkan dunia (harta) yakni rampasan perang.

Sepatutnya bagi umat Islam untuk mengokohkan keimanan dan menjadikan akhirat sebagai orientasi hidup di atas segala-galanya. Dunia yang sementara jangan sampai menjadi penyakit dirinya. Sehingga apapun kerjayanya,  umat bisa melakukan perang pemikiran terhadap para musuh-musuh kaum Muslimin demi kemuliaan Islam dan kaum Muslimin.

Kesimpulannya, orang beriman yang berjuang (memiliki cita-cita) untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslimin dalam kehidupannya di dunia, tapi tidak terikat dengan hukum syara’ melaksanakan perintah Allah SWT dan rasul-Nya (takwa) dalam segala tindakannya serta cinta dunia, maka tak ubahnya hanya mengulang kegagalan-kegagalan pada perang Uhud di masa moden.

Sumber: Herman Anas, https://www.hidayatullah.com/kajian/gaya-hidup-muslim/read/2021/06/10/21430/sudah-luruskah-orientasi-hidup-kita.html

Translate »