Al-Walid kemudian digantikan oleh Sulaiman bin Abdul Malik pada tahun 96/715. Yang terakhir ini memerintah selama kurang lebih tiga tahun. Keputusan Sulaiman berkenaan dengan khalifah berikutnya ikut dipengaruhi oleh wazirnya, Raja’ bin Haywah al-Kindi, yang menasihatinya agar memilih seorang pria yang lurus (rajulun shalih) sebagai penggantinya.
Menjadi Khalifah
Maka Sulaiman kemudian menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah. Agar keputusan itu tidak ditentang oleh keturunan Abdul Malik yang lain, Sulaiman menetapkan Yazid bin Abdul Malik sebagai khalifah pasca kepemimpinan Umar (al-Tabari, 1989: 24/70). Raja’ sendiri yang nantinya wafat pada tahun 112/721 disebut oleh Ibn Kathir sebagai seorang yang terpercaya, adil, serta wazir Bani Umayyah yang jujur.
Umar pun diangkat menjadi khalifah pada tahun 99/717. Ia memerintah dengan adil selama dua tahun lima bulan masa kepemimpinannya. Keadilannya diakui oleh para ulama dan para sejarawan sehingga ia dimasukkan sebagai bagian dari Khulafa’ al-Rasyidin, walaupun memerintah di era Umayyah. Ia bukan hanya seorang pemimpin yang baik terhadap rakyatnya, tetapi juga seorang yang sangat menjaga diri di hadapan Tuhannya. Ia mengingatkan sekretarisnya agar menggunakan alat tulis secara efisien agar tidak terjadi pemborosan (al-Tabari, 1989: 24/99). Saat pampasan perang dalam bentuk wewangian dibawa kepadanya, ia menutup hidungnya karena takut menghidu apa yang bukan menjadi haknya (al-Qushayri, 2007: 132).
Raja’ bin Haywah pernah menyaksikan bahwa Umar bin Abdul Aziz pernah berdiri di mimbar saat menjadi khalifah dan apa yang dikenakannya ketika itu tidak lebih dari 12 dirham (Ibn Khallikan, 1843: 1/527). Ia bukan tak mampu untuk membeli dan menggunakan pakaian yang mahal dari harta pribadinya yang halal, tetapi ia tahu bahwa bukan pakaian itu yang akan mengangkat derajatnya di sisi Tuhan-nya, dan bukan pakaian itu pula yang membuat ia dicintai dan dihormati oleh rakyatnya.
Kesadaran akan hal ini sudah dimilikinya sebelum ia menjadi khalifah. Pernah suatu ketika Salim bin Abdullah bin Umar yang merupakan seorang ulama sekaligus sanak keluarga Umar bin Abdul Aziz diundang ke istana oleh Khalifah Sulaiman. Seseorang yang hadir di situ berkata pada Umar mengkritisi pakaian Salim yang sederhana. Maka Umar berkata kepada orang itu, “Saya tidak melihat pakaian yang dikenakannya menjatuhkan dirinya ke derajatmu, dan saya juga tidak melihat pakaian yang engkau kenakan mengangkat dirimu ke derajatnya.”
Dalam satu kesempatan lain, Raj’a menemani Umar bekerja pada malam hari dan tiba-tiba lilin yang sedang digunakan mati. Raja’ hendak bangkit untuk menyalakan lilin, tetapi dihalangi oleh Umar bin Abdul Aziz, sehingga beliau sendiri yang mengurus lilin. Saat Raja’ menanyakan mengapa Khalifah mengerjakan sendiri hal itu, Umar menjawab bahwa ia melakukan itu sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai khalifah (Ibn Khallikan, 1843: 1/525-527). Seolah ia hendak mengatakan bahwa walaupun dirinya adalah seorang khalifah, pada saat yang sama ia juga merupakan seorang manusia biasa yang tak selalu harus dilayani.
Sifat adil memang sebetulnya bermula pada diri sendiri. Ia bukan hanya berkenaan dengan hubungan antar personal atau antara penguasa dan rakyat, tetapi lebih penting lagi hal itu adalah berkenaan dengan diri sendiri. Maka benarlah jika dikatakan bahwa “justice and injustice indeed begins with the self” (al-Attas, 1993: 77).
Keadilan adalah sumber keamanan, sementara kezaliman pemerintah atas rakyat hanya akan menimbulkan rasa ketidakpuasan serta gejolak yang dapat berujung pada kekacauan sosial. Saat keadilan ditegakkan di tengah pemerintahan, maka masyarakat akan hidup dengan rasa puas dan damai. Karenanya tidak diperlukan anggaran untuk mengelabui masyarakat, atau untuk menakut-nakuti mereka, atau untuk menebus dampak kerusakan yang timbul jika terjadi kemarahan dan perlawanan masyarakat. Itulah sebabnya ketika salah seorang gubernurnya meminta izin untuk membuat benteng di kotanya, Umar bin Abdul Aziz memberikan jawaban yang sederhana, “Bentengi kotamu dengan keadilan dan bersihkan jalan-jalannya dari kezaliman” (Ibn Abdu Rabbih, 1983: 1/30).
Umar bukan hanya berkata-kata dan pandai memberikan nasihat tentang keadilan. Ia berusaha menjalankan hal itu di sepanjang pemerintahannya. Sebagai contoh, ada kecenderungan para gubernur di pemerintahan sebelum dan setelahnya bersikap diskriminatif terhadap masyarakat non-Arab, walaupun mereka Muslim. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, masyarakat Muslim non-Arab diperlakukan setara dengan saudara mereka dari kalangan Arab. Orang-orang yang masuk Islam dari kalangan non Arab juga dibebaskan dari membayar jizyah.
Ia menunjuk langsung para gubernurnya dan memastikan dari waktu ke waktu bahwa mereka menjalankan kebijakannya dengan baik. Umar bin Abdul Aziz menghentikan laju ekspansi peradaban Islam ketika itu dan lebih memfokuskan diri pada upaya menjalankan pemerintahan dengan baik serta menyebarkan dakwah Islam ke tengah masyarakat, terutama kepada rakyatnya yang non-Muslim atau yang baru masuk Islam. Ia misalnya mengirim sepuluh orang ulama tabi’in ke Afrika Utara untuk mengajarkan agama di tengah masyarakat di sana. Pada era pemerintahannya, hampir seluruh masyarakat Berber di Afrika Utara masuk Islam (Ṭāha, 1990: 198).
Selain itu, Umar bin Abdul Aziz juga melakukan korespondensi dengan beberapa raja di perbatasan, mengajak mereka pada Islam, sehingga sebagian dari mereka ada yang tertarik untuk belajar dan bahkan kemudian masuk Islam. Di antara contoh surat menyurat ini adalah dengan seorang Raja Hind yang oleh QS Fatimi diduga sebagai salah satu Raja Sriwijaya. (Baca: Bersila di Negeri Kafur Kehadiran Pedagang Muslim di Nusantara sebelum Abad ke-10 Masehi)
Ketika masyarakat Samarqand mengirim utusan pada Umar bin Abdul Aziz memprotes tentang tanah mereka yang diambil oleh pasukan Muslim tanpa proses yang semestinya, beliau menunjuk seorang hakim untuk mengadili perkara itu. Hakim itu kemudian memberi keputusan yang memenangkan penduduk setempat, sehingga tanah mereka akhirnya dikembalikan (al-Tabari, 24/94-95).
Umar bin Abdul Aziz mengarahkan dibangunnya fasilitas umum yang bisa membantu orang-orang yang tengah melakukan perjalanan. Ia, misalnya, memerintahkan salah seorang gubernurnya di kawasan timur, Sulaiman bin Abi al-Sari, untuk membangun rumah-rumah penginapan di wilayah pemerintahannya. Setiap Muslim yang sedang dalam perjalanan dapat menginap di tempat itu sehari semalam dan kendaraannya juga akan diurus. Jika pelancong ini sakit, maka mereka boleh menginap dua malam. Jika mereka kehabisan bekal, maka mereka akan diberi bekal yang mencukupi hingga mereka bisa sampai di kampung halamannya dengan selamat (al-Tabari, 1989: 24/94).
Umar bin Abdul Aziz memerintah dalam waktu yang relatif singkat, tetapi pemerintahannya memberi dampak yang luas dan positif kepada rakyatnya. Sehingga pernah dalam satu kesempatan datang satu kumpulan delegasi Arab Badui kepadanya. Yang menjadi juru bicaranya adalah seorang yang masih sangat belia, sementara di belakangnya ada orang-orang yang lebih senior, sehingga Khalifah meminta agar yang lebih tua maju mewakili. Anak muda itu menjawab bahwa jika perkara itu (kepemimpinan atau perwakilan) ditentukan oleh kadar usia, maka demikian pula ada banyak orang yang lebih tua daripada Umar bin Abdul Aziz. Maka Umar mempersilahkannya bicara.
“Kami bukan delegasi keinginan dan bukan pula delegasi takut,” ujar pemuda itu. “Adapun keinginan, maka kedermawananmu telah memenuhinya. Dan rasa takut, maka keadilanmu telah melindungi kami darinya.”
“Kalau begitu kalian delegasi apa?” Umar bertanya heran.
“Kami adalah delegasi syukur, kami datang ke sini untuk berterima kasih kepadamu dan kemudian pergi” (al-Qushayri, 2007: 192).
Dalam kesempatan yang lain, seorang penyair memberikan pujian kepada Umar bin Abdul Aziz:
Katakan padaku, Abu Hafs. Apakah engkau berjumpa Muhammad
di telaganya, memberikan kabar gembira kepada sesiapa yang di belakangmu?
Engkau adalah seorang lelaki yang kedua tangannya bermanfaat
Tangan kirimu lebih bermanfaat daripada tangan kanan orang lain (al-Tabari, 1989: 24/92)
Umar bin Abdul Aziz wafat pada tanggal 25 Rajab 101/10 Februari 720 dan dimakamkan di Dayr Sim’an, Suriah (al-Tabari, 1989: 24/91-92). Semoga Allah merahmati Umar bin Abdul Aziz. Semoga pula Allah menganugerahkan kepada kita pemimpin yang adil serta jiwa yang senantiasa bersyukur.*Oleh: Alwi Alatasah pada International Islamic University Malaysia (IIUM)
Oleh Alawi Al Attas (Dosen Sejarah pada International Islamic University Malaysia (IIUM)
Sumber : hidayatullah.com
Recent Comments