Dia adalah Abu Abdillah, Iz Ad-Din, Muhammad bin Ibrahim bin Ali bin Al-Murtadha bin Al-Mansur, yang terkenal dengan Ibnu Al-Wazir (775-840 H/1373 – 1436 M). Dia berasal dari keluarga Al-Wazir, keluarga intelektual yang paling terkenal di Yaman. Nasabnya bersambung kepada Imam Al-Hadi ila al-Haq Yahya bin Hasan (245-298 H/859 – 911 M), pendiri negara Zaidiyah di Yaman. Dia dilahirkan di kota Hijrat Adh-Dhahran Yaman pada bulan Rajab tahun 775 H, yang bertepatan dengan bulan Disember tahun 1373 M.
Dia tumbuh dalam lingkungan ilmu, saat Yaman menonjol dengan banyaknya ulama dan tokoh. Bapaknya, Sarim Ad-Din, Ibrahim bin Ali (782 H/1280 M) adalah seorang pembesar ulama mazhab Zaidiyah. Begitu juga saudara laki-lakinya yang bertanggungjawab atas pengajarannya, al-Hadi bin Ibrahim (882 H/1477 M).
Para ulama yang semasa dengannya antara lain, Al-Hadi bin Yahya, An-Nasir bin Ahmad bin Al-Mutahhar, Nafis Ad-Din bin Sulaiman AL-Alawi, As-Sayyid Al-Wazir bin Al-Murtadha dan Muhammad Bin ali. Dia juga sezaman dengan pemuka ulama Yaman dan ahli fiqih, Imam Ahmad bin Yahya bin Al-Murtadha (763-840 H/1362-1437 M).
Pada masa mencari ilmu dan pembentukan pemikirannya, Ibnu al-Wazir memperoleh kesempatan untuk mempertajam arah pandangan, mazhab dan orientasi pemikirannya, iaitu belajar kepada banyak tokoh ulama dengan aliran mazhab yang berbeda. Dia tidak hanya belajar kepada ulama mazhab Zaidiyah dan Yaman saja, tetapi juga belajar di Makkah kepada Qadi Al-Qudat Mazhab Syafi’I, Muhammad bin Abdullah bin Abi Dhahirah, Muhammad bin Ahmad, Ath-Thabari, Syaikh Abul Yaman, Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim Asy-Syafi’I, Syaikh Ibnu Mas’ud Al-Ansari Al-Maliki dan lain-lain. Dia belajar kepada mereka ilmu bahasa Arab, fiqih, hadits, ilmu kalam, dan ilmu-ilmu lainnya.
Sejak awal kehidupan ilmiahnya, dia lebih menonjol pada kemerdekaan berpikir dan bebas dari beriltizam dengan satu mazhab tertentu. Ia cenderung pada ijtihad dan pembaharuan, serta menolak jumud dan taklid. Ketika ustaznya, Muhammad bin Abdullah bin Abi Dhahirah, Qadi Al-Qudat Mazhab Syafi’I di Makkah mengusulkan padanya untuk bertaklid pada mazhab Imam Syafi’I (150-204 H/767-820 M), ia berkata, “Jika boleh bagiku untuk bertaklid maka saya tidak akan pindah bertaklid kepada kedua kakekku : Al-Hadi Yahya bin Al-Husein dan Al-Qasim Ar-Rassi, kerana keduanya lebih utama untuk ditaklidi daripada selainnya.”
Pada saat kecenderungan para ulama Zaidiyah berkisar antara iltizam (berketetapan) dengan mazhab Zaidiyah, atau mencampur antara fiqih Zaidiyah dengan ushul Muktazilah yang lima maka Ibnu Al-Wazir merepresentasikan langkah berbeza dan baru dalam pandngan tersebut, kerana ia terbuka bagi ulama Ahlusunnah dan mazhab-mazhabnya, terutama ulama ahli salaf dan rijalul hadirs. Namun, hal tersebut tidak menghilangkan garis-garis umum mazhab Zaidiyah. Dia seakan-akan menggambarkan untuk keluar dari mazhab yang sempit dan mengambil yangbenar dari mazhab apa saja, bila ia benar. Judul bukunya yang istimewa adalah Itsarul Haq ‘alal Khalq fi Raddil Khilafat ilal Mazhab Al-Haq fi Ushulit Tauhid (Mengutamakan Kebenaran Atas Makhluk dalam Mengembalikan Perselisihan kepada Mazhab yang benar dalam Prinsip-prinsip Tauhid). Sebagaimana judulnya, isi buku itu merupakan perwujudan dari kecenderungan yang penting dan baru.
Walaupun Ibnu Al-Wazir tidak menyendirikan pemikiran politik pada tempat yang khusus di antara karya-karyanya, tetapi kita temukan di antara karya-karyanya tersebut, satu kitab yang mengkritik kerangka berpikir Yunani dalam mencapai kebenaran dan membandingkan kerangka dan cara-cara Yunani tersebut dengan kerangka dan cara-cara al-Quran dalam berdalil dan berhujjah. Kitab tersebut adalah Tarjih Asalib Al-Quran li Ahl Al-Imam ‘ala Asalib Al-Yunan fi Ushul Al-Adyan (Kelebihan Cara-cara Al-Quran bagi Ahli Iman Atas Cara-cara Yunani dalam Dasar-dasar Agama). Dalam kitab ini- Yang ditambahkan dengan penyempurnaan- kita mendapati karya pemikiran yang menyerupai kritikan atas proyek pemikiran Yunani dan mempersembahkan alternative qurani. Kitab tersebut meruoakan salah satu rambu dalam filsafat peradaban dan pembebasan logika Muslim dari cengkaman pemikiran Yunani yang layak untuk memperoleh perhatian cukup.
Ibnu Al-Wazir telah melahirkan karya-karya pemikiran yang mempunyai karakteristik tertentu serta mat jelas dalam ijtihad dan pembaharuan. Dia meninggalkan bagi kita warisan penting dalam ilmu kalam, musthalah hadits, sejarah, kritik satera, tafsir, sebagaimana dia adalah penyair dan sasterawan yang syairnya dikumpulkan dalam diwan (buku). Di samping itu, dia juga menulis tasawuf, di mana dia mempunyai pengalaman dalam bidang itu (tasawuf) di masa akhir hidupnya.
Dia telah menolak ajakan ustaznya Qadi Al-Qudat Mazahab Syafi’I di Makkah, Muhammad bin Abdullah bin Abi Dhahirah, untuk mengikuti mazhab Imam Syafi’I, juga membantah Syaikhnya yang bermazhab Zaidiyah, As-Sayyid Ali bin Muhammad bin Abi Al-Qasim, yang digelari dengan Jamaluddin, ketika dia bertindak dan bersangka tidak adil terhadap Ahlusunnah. Dia membantahnya dengan sebuah kitab yang termsuk salah satu kitab terpentingnya, iaitu Al’ Awasim wa Al-Qawasim fi Adz-Dzib ‘an Sunnat Abi Al-Qasim. Dengan demikian, dia merupakan contoh teladan bagi orang yang ingin mencermati permasalahan secara mendetail dan bertindak adil.
Dia meninggal dunia pada hari Selasa, 24 Muharam 840 H bertepatan dengan bulan Agustus 1436 M.
Catatan Ibnu Hatim
Recent Comments