Dia adalah As-Sahib bin Abbad (326-385 H/938-995 M), Abdul Qasim, At-Taliqani, Ismail bin Abbad bin Al-Abbas. Nama Attaliqani dinisbahkan ke daerah Taliqan, tempat ia dilahirkan pada bulan Dzulqa’dah tahun 326 H yang bertepatan dengan bulan September 928 M.
Ayahnya adalah seorang menteri di daulah bani Buwaih (320-447 H/932-1055 M) yang bermazhab Syiah dan bersikap tengah dalam kesyiahannya. Kesyiahan mereka mendekati kesyiahan Zaidiyah. Ayahnya menjadi wazir (menteri) dari pemimpinnya Ruknud Daulah.
Ia tumbuh dan berkembang bersama pemimpin Buwaih, Muayyid Ad-Daulah. Dari pertemanan tersebut, ia terkenal dengan gelar As-Sahib (kawan) di mana gelar tersebut bahkan para menteri setelahnya juga digelari dengan gelar yang sama.
As-Sahib bin Abbad adalah satu sastrawan dan ahli balaghah ternama pada masanya, sebagaimana ia juga mempunyai pengetahuan dalam ilmu kalam, khususnya mazhab Ahl Al-‘Adl wa At-Tauhid. Dia belajar ilmu satera dan bahasa dari Abul Husein Ahmad bin Faris Al-Lughawi, pengarang Al-Mujmal fi Al-Lughah. Ia juga belajar dari Abul Fadhl bin Al-Amid serta kepada para imam sastera dan bahasa lainnya. Dia juga berkumpul dengan imam MUktazilah, Qadi Abdul Jabbar bin Ahmad Al-Hamdani (415 H/1024 M) di mana pada masa itu ia menjabat sebagai Qadi Al-Qudhat (Penghulu Para Qadi) atau pada saat ini dikenal dengan Ketua Mahkamah Agung atau Menteri Kehakiman.
Ia juga terkenal dalam sastera dan ilmu, serta dikenal sebagai salah seorang tokoh menonjol yang memangku jabatan kementerian . ia memangku jabatan sebagai menteri pada masa Amir Muayyid Ad-Daulah bin Buwaih Ad-Dailani (376-373 H/976-983 M). Ketika amir tersebut meninggal dan digantikan oleh saudaranya, Fakhr Ad-Daulah (373-378 H/983-988 M), As-Sahib bin Abbad meminta mundur dari jabatan menteri, tetapi Fakhr Ad-Daulah tidak menerima permintaan mundurnya, sambil berkata, “Sesungguhnya engkau memiliki hak warisan dalam kementerian sebagaimana hak kami dalam mewarisi kepemimpinan (kerajaan), sehingga kalan masing-masing kita adalah menjaga haknya.”
Pengaturan administrasi yang dia terapkan dalam urusan negara membuat para raja di masanya kagum. Raja Khurasan dan daerah di belakang Sungai Eufrat, Nuh bin Mansur menawarkan kepadanya untuk menjadi wazir, tetapi dia meminta maaf dengan sopan, tidak dapat memenuhi keinginannya. Dengan uzur (alasan) tidak bisanya ia pindah dari kota Rai, kerana perpustakaannya membutuhkan 400 unta untuk membawa buku-bukunya, di samping banyaknya kebutuhan dan pengikut.
As-Sahib bin Abbad sangat dihormati dan berwibawa di hadapan para amir dan raja di mana ia menjadi wazirnya. Suatu hari, ia meminta izin untuk menemui Amir Fakhr Ad-Daulah. Pada saat itu, sang Amir sedang bersantai. Sang Amir pun kemudian menemuinya di dalam majlis yang serius. Pada suatu hari, Fakhr Ad-Daulah mencadainya, As-Sahib bin Abbad marah dan berkata kepadanya, “Kami dalam kesungguhan di mana tidak ada waktu senggang untuk bersenda gurau.” Ia kemudian bangkit dan meninggalkan tempat. Fahr Ad-Daulah lantas mengirim surat kepadanya untuk meminta keredhaannya sampai suasana yang jernih terjalin kembali di antara keduanya.
Pada tahun 377 H/987-988M, As-Sahib bin Abbad memimpin pasukan perang ke daerah Tabaristan, sehingga ia menguasai wilayah tersebut dang menggabungkannya dalam wilayah negara bumi Buwaih serta mengatur urusannya.
Kedermawanan dan kemuliannya yang terkenal, tidak kalah dari kemasyurannya dalam sastera dan kementerian. Majlis sastera dan pemberiannya yang dihikayatkan pada masanya sepadan dengan majlis Harun Ar-Rasyid (170-193 H/786-809 M).
Di antara warisan As-Sahib bin Abbad dalam bidang bahasa dan sastera adalah kitab Al-Muhith dalam bahasa yang dia tulis berdasar huruf Mu’jam dan terdiri dari tujuh jilid. Ia juga mempunyai kitab Al-KAfi, Al-A’yad wa Fadhail An-Nayruz, Al-Kasyf’an Masawi Syi’r Al-Mutanabbi, dan Al-Iqna’fi Al-A’rudz wa Takhrij Al-Qawafi. Ia juga mempunyai risalah ‘Unwan Al-Ma’arif wa Dzkir Al-Khalaif. Beberapa risalahnya dikumpulkan dalam kitab Al-Mukhtar min Rasail Al-Wazir Ibnu ‘Abbad, sebagaimana ia mempunyai syair lembut yang dikumpulkan dalam diwan.
Dalam bidang politik, karya ilmiahnya adalah kitab Al-Wuzara’ dan Al-Imamah. Sedangkan dalam ilmu kalam, ia mempunyai kitab Al-Ibanah ‘an Mazhab Ahl Al-‘Adl, dan Asma Allah Ta’ala wa Sifatuh.
As-Sahib bin Abbad meninggal dunia di kota Rai pada bukan Safar tahun 385 H bertepatan dengan bulan Maret 995 M. jenazahnya dibawa ke kota Asfahan dan dikuburkan di tempat yang dikenal dengan nama Bab Duraih.
Catatan Ibnu Hatim
Recent Comments